Happy Reading ….
Degup jantung berdetak tak menentu. Keringat dingin membasahi pelipisnya yang sudah dipolesi bedak tipis. Pagi hari di ruang makan, perasaan Lauretta sudah sangat berantakan. Seluruh keluarga besar berkumpul untuk sarapan pagi bersama. Pagi hari berjalan seperti biasa, mama serta ayah mertua Lauretta— Johanes dan Melva duduk pada ujung meja makan pun kursi utama untuk Johanes sebagai kepala keluarga tertua. Di sebelah kanan, duduk Abramo dan keluarga kecilnya. Sementara di sebelah kiri, ada pria tampan yang baru saja kembali setelah menetap selama tiga tahun di Los Angeles, siapa lagi jika bukan Amor Calbi— pria tampan mempesona berusia tiga puluh tujuh tahun pun masih lajang. Sibuk dengan pekerjaan yang ia kelola, Amor tidak pernah berpikir memiliki keluarga. Pria ini duduk menyender sedikit melorotkan tubuhnya ke bawah. Piring di hadapannya masih kosong dan ia hanya menyesap secangkir Americano. Pandangannya yang tajam terus fokus pada layar tab yang dirinya pegang. Sementara Amor terlihat cuek dan santai, Lauretta justru sebaliknya. Wanita satu ini amat kesal sejak pagi tadi, mungkin sejak bangun tidur, atau malah tak tidur sama sekali. Semuanya karena kejadian tadi malam yang jika diingat kontan membuat suasana hatinya berantakan. “Amor.” Suara bariton nan berat itu menginterupsi. Kontan semua pasang mata yang berada di sana bergerak ke arahnya. Johanes Calbi sosoknya yang tegas serta di segani banyak orang, keluarga, serta kedua putranya. Sosok ayah yang baik dalam memimpin keluarga serta mendidik anak-anaknya. Amor hanya melirik tanpa suara, menunggu kalimat lanjutan dari sang papa. “Aku harap kau kembali dengan membawa kabar baik,” ujar Johanes. “Sí,” jawab Amor singkat. Pun pria paruh baya itu hanya berdeham singkat. Suasana di meja makan kembali dingin pun sepi tanpa percakapan seperti hari-hari biasanya. Ditambah Amor yang membuat atmosfer di dalam ruangan itu semakin kelam. Tidak ada yang pergi setelah selesai makan sebelum Johanes beranjak dari tempat duduknya. Tatapan tajam Amor menilik Lauretta yang sedang memakan sarapannya. Tatapan intens hingga si pusat perhatian merasakannya dan sedikit melirik mengerutkan dahi. Ujung bibir Amor berkedut melihat ekspresi kesal Lauretta. **** “Di mana kau tadi malam?” Lauretta berbalik dari cermin di meja rias, melangkah kaki jenjang yang terbalut higheels menuju Abramo yang sedang melepaskan ikatan dasi di leher. Acuh tak acuh pria itu sama sekali tak memperhatikan pertanyaan istrinya. “Abramo, aku bertanya kepadamu.” Ia menekankan. Abramo menoleh dengan wajah dingin, melirik Lauretta datar. “Itu bukan urusanmu, Lauretta.” Lauretta menahan napasnya kesal. “Tapi bukankah kau tahu jika Amor kembali? Kau tidak mengatakan padaku sebelumnya.” “Aku sama sekali tidak tahu,” ungkap Abramo seraya menggelengkan kepalanya pun menekan nada suara pada Lauretta. Lauretta berdecak. “Kau tahu aku tidak menyukainya, uh?” “Dan itu urusanmu, jangan libatkan aku.” Abramo berbalik tak peduli. “Bawa aku pergi dari sini,” pinta Lauretta sedikit berteriak, kontan menghentikan langkah kaki suaminya yang hampir keluar dari pintu kamar. Abramo sedikit menoleh tanpa menatap Lauretta ia menjawab, “Kau tahu itu tidak mungkin.” Pintu kamar tertutup dengan rapat setelah Abramo meninggalkan ruangan. Meninggalkan Lauretta sendiri dengan kekesalan. Ia terduduk di tepi ranjang, memikirkan kenapa dirinya berakhir seperti ini, berakhir hidupnya di dalam belenggu hubungan pernikahan yang rumit. Empat tahun lamanya ia tak pernah dicintai oleh pria itu, tak pernah diperhatikan, pun tak pernah di pedulikan. Sekalipun Abramo tak pernah melihat ke arahnya bahkan ketika Lauretta mengandung, melahirkan putri tercinta mereka. Abramo sama sekali tak peduli. Pernikahan tanpa saling menyentuh pun hubungan seks terasa sangat dingin. Auretta adalah kecelakaan Abramo yang tak disengaja. Pulang dalam keadaan mabuk dan tanpa sadar bercinta dengan istri yang tak pernah ia lirik. Itu penyesalan Abramo. Namun kehadiran Auretta tidak termasuk ke dalamnya. Pria itu mencintai putri kecilnya. Satu-satunya yang membuat Abramo luluh hanya Auretta, putri kecil mereka yang kini berusia dua tahun. Pernikahan bisnis antar keluarga memang selalu terjadi seperti itu. Orang bilang cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi, kapan cinta itu tumbuh di antara mereka berdua? Lauretta tak pernah menyesali sikap dingin Abramo pada dirinya. Ia sebenarnya tak terlalu peduli bagaimana pria itu bersikap. Sejujurnya, ia juga tak pernah mencintai Abramo sebagai seorang suami. Lauretta hanya sekedar menghormatinya. Yang ada di antara mereka hanya sebuah hubungan di atas kertas, ikatan palsu yang entah bisa atau tidak menjadi ikatan nyata. Tubuh ramping nan berlekuk di beberapa area sensual terpampang di depan cermin besar. Mata kucingnya menelisik tubuh indahnya sendiri. Itu sempurna sebagai seorang perempuan, dan wajahnya cantik. Tidak tahu kenapa Abramo tidak tertarik. “Dia tidak normal?” gumam Lauretta. Ia membubuhkan bedak pada titik di lehernya. Menyamarkan noda merah bekas gigitan si keparat Amor tadi malam. Hal yang membuat Lauretta sangat kesal karena pria itu menggigit serta menghisap lehernya hingga meninggalkan bekas. Sialan! “Mami! Mami! Mami!” Pintu diketuk dari luar dan terdengar teriakan bocah kecil di sana. Lauretta segera menyelesaikan urusannya dengan bekas kissmark lalu melangkah pun membuka pintu. Di luar, tampak Auretta tersenyum memperlihatkan giginya yang baru tumbuh, lalu di belakang tubuh mungilnya, menjulang tinggi sosok Amor yang agung. “Hello, Mami?” sapa Amor. “Cih.” Pun langsung dibalas jijik oleh Lauretta. Ia menggendong tubuh mungil Auretta. Tersenyum wanita cantik itu amat hangat pada putri kecilnya. “Ada apa, Sayang?” “Te extraño.” (Aku merindukanmu) Tatapan Lauretta melirik Amor tajam. “Aku tidak bertanya padamu, Sial,” ketusnya menggerutu. Pun Amor yang terkekeh kecil. “Mami, aku ingin pergi bermain di taman,” pinta Auretta, bersuara kecil dan imut sedikit tak bisa dimengerti. “Um? Di mana sustermu?” Amor menoleh pada suster Auretta yang ternyata sudah berjaga dua meter dari pintu kamar. Pria ini sengaja meminjam bocah kecil itu agar bisa bertemu wanitanya. Karena jika tidak, Lauretta tentu saja tak akan mau melihat Amor terlebih setelah kejadian tadi malam. Wanita muda berpakaian seragam babysitter lantas mendekat pada Amor. Membawa Auretta dari gendongan maminya lalu membawa bocah kecil itu ke tempat yang dia inginkan. Saat ini Lauretta langsung melirik Amor dengan malas, ia mengerti kenapa putrinya datang dengan pria ini. Cepat-cepat tangannya bergerak hendak menutup pintu, namun sigap Amor menahan. “Mami, Te extraño.” Lagi, Lauretta mendorong pintu hendak menutup. Namun Amor terus menahannya. “Ijinkan aku masuk atau aku akan memelukmu di sini,” ungkap Amor seraya terus mendorong pintu hingga kembali terbuka lebar, mengalahkan Lauretta yang tentu tak mau kalah. “Jangan gila!” “Sí, kau tahu aku gila. Gila kepadamu.” Bersambung .....Melenggang Mara menyusuri lorong mansion Calbi lantai dua seraya membawa beberapa papperbag di tangannya. Cantik pun mendayu suaranya menyanyikan sebuah lagu. Ia merasa hidupnya semakin bahagia pun sempurna semenjak menyandang status sebagai nyonya Calbi.“Oh?”Kaki jenjangnya sesaat terhenti ketika ia mendapati adik iparnya baru saja keluar dari kamarnya bersama Amor. Entah yang Lauretta lakukan di dalam sana nan sangat mencurigakan terlebih lagi Mara tahu jika wanita itu ialah mantan kekasih suaminya.“Holla Mara?” sapa Lauretta. Melangkah dirinya menghampiri Mara yang terdiam dan mencoba untuk santai dan tak mulai mencecarnya.“Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” tanya Mara. Memasang badan namun tetap santai. Tetapi, kekesalan pada raut wajahnya tak bisa ia sembunyikan, dan Lauretta tahu jika wanita itu tengah menahan kesal.Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami dan anak, pantaskah dia masuk ke dalam kamar kakak iparnya sendiri yang kini bahkan telah memiliki seorang
Chihuahua, Mexico. Satu kakinya terangkat ke atas sementara tubuhnya tersentak-sentak seirama dengan desahan halus yang keluar dari bibirnya. Jemari lentik mencengkram kuat tuxedo hingga kusut di bagian kerah. Amor meraih bibir Lauretta lalu ia lumat panas, membelit lidah pun mereka bertukar saliva.Sebuah gedung di Chihuahua Mexico. Tengah di adakan pernikahan yang begitu besar. Mencakup orang-orang penting besar dari kalangan atas pun juga dunia bawah. Penyatuan antara dua klan besar. Yakni, Calbi dan Antonino.Pengantin wanita tengah berdandan seraya bercermin cantik. Mematut tubuhnya yang terbalut gaun pengantin putih nan sakral. Wajahnya dipenuhi binar-binar kebahagiaan serta tak lepas senyum pada bibirnya yang merona.Tinggal menghitung menit sebelum Mara Antonino resmi menjadi istri dari Amor Calbi. Pria yang amat sangat dicintai serta ia damba-dambakan. Status sebagai nyonya Calbi mampu ia dapatkan. Sukses dirinya membuat semua wanita yang menginginkan Amor patah hati.Sement
“Mudah saja bagimu mendapatkan nomorku, benar? Ada apa?”Mengapit ponsel di antara kepala serta bahunya dan berbicara kepada Gabriel yang tiba-tiba menghubungi. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkan nomor ponselnya, yang pasti ia lakukan secara ilegal.Lauretta tengah sibuk berada di dapur. Membuat makan malam sendiri meskipun bisa ia pinta pelayan untuk membuatkannya. Namun, spesial yang satu ini ia tak ingin buatan orang lain.Telah terhidang di atas piring potongan tentakel gurita mentah, satu mangkuk kecil saus serta irisan tipis lemon. Makanan favoritnya yang akan dianggap aneh dan menjijikkan. Saat tinggal di kediaman Fiescho, ia akan diolok-olok sebab memakan makanan tersebut.Duduk di atas kursi meja dapur, Lauretta mulai menyantap makanannya dengan ponsel yang masih ia pegang di depan telinga.‘Aku ingin bertemu denganmu, maukah kau?’“Hanya kita berdua? Tanpa sepengetahuan Maria?” tukas Lauretta berterus terang. Meletakkan chopsticks di samping piringnya lalu ia menegak
“Rivalmu.”Berkedut sudut bibir Lauretta terus menatap lurus ke depan, enggan dirinya untuk menoleh. Tanpa ia lihat sosok di samping, telah ia ketahui dari Elazar yang menyebutkan status orang tersebut. Rival. Ya, musuh Lauretta dari zaman bersekolah dulu, dan itu hanya sebiji.“Holla Elazar.” Sebuah tangan terulur tepat di depan Lauretta. Jemari lentik nan cantik terhias nail art indah serta bertengger jam tangan mahal pada pergelangannya. Uluran itu tak ditujukan kepada Lauretta, melainkan pada Elazar di sisinya.Tangan mereka berjabat tepat di depan wajah Lauretta yang bergeming tak ingin menanggapi. Tak peduli sama sekali jika dirinya yang sebesar ini dilewatkan begitu saja tanpa sapaan. Dan justru dengan sengaja wanita itu lebih memilih untuk menyapa Elazar.Jika Lauretta adalah bara api, maka wanita cantik nan modis di sampingnya ini adalah koreknya.“Kudengar Auretta mengikuti balet, si? Ah ... aku tak sabar melihatnya,” tanya wanita bernama Maria ini. Tatapannya melayang melew
“Ck. Bukankah aku istrimu jika ayahku tak mati hari itu?”Perubahan besar terjadi dalam hidup Lauretta semenjak kematian ayahnya. Seperti ditinggalkan sebatang kara memikul beban yang begitu menumpuk. Seolah semua kesalahan ada padanya sehingga ia yang barus menanggung segalanya.Fiescho diambang kehancuran jika tak ada jabat tangan Calbi beberapa tahun yang lalu. Pernikahannya menyelamatkan seluruh anggota serta merta wilayah kekuasaan yang hampir dirampas dari tangan Fiescho. Lauretta sebagai tumbal yang dijual sekaligus tawanan berat antar dua keluarga. Ikatan mereka terjalin dengan adanya hubungan pernikahan.Manuel dan Johanes hampir menjadi besan. Johanes pemegang kekuasaan penuh Calbi, dan Manuel adalah calon pemegang kekuasaan yang dimilikki Fiescho. Dua keluarga kuat nan kokoh bersanding bersama mempererat suatu wilayah kekuasaan.Kehancuran dimulai dengan serangan tiba-tiba dari pihak musuh. Manuel dibunuh dalam pertempuran dan mati menjelang beberapa hari pernikahan putrin
Melenggang cantik kaki jenjangnya menelusuri area basement rumah sakit menuju mobilnya yang terpakir di sana. Membeliak Lauretta kontan menganga ketika ia mendapati dua pria sialan sedang mengotak-atik mobil miliknya. Satu pria berdiri menyender pada mobil, dan satunya bersimpuh di depan ban.Berjalan ia segera menghampiri mobilnya membuat si pria bersimpuh lantas berdiri. Higheels tinggi nan runcing ia kenakan menendang-nendang ban mobil yang kempes kini. “Apa yang dua sialan ini lakukan pada mobilku?!”“Little snake, mulutnya begitu tajam dan berbisa,” bisik Galnot pada Amor yang kemudian terkekeh menggeleng kepala. Pria bertubuh besar disertai banyak tato pada tangan kanan dan kirinya mundur ke belakang, membiarkan Amor menghadapi ular berbisa yang sedang mengamuk.“My little cat,” timpal Amor, kemudian melangkah menghadap sang tercinta yang sedang marah-marah karena ban mobilnya yang bocor. “Mobilmu rusak, jadi kupinta Galnot memeriksanya.”Bergerak pandangan Lauretta pada Amor se
Duduk berdampingan Lauretta bersama Amor di depan meja kerja dokter Leave yang kini tengah membaca hasil laporan kesehatan keduanya. Mendadak kebetulan sekali mereka berdua mengunjungi Leave dalam waktu yang bersamaan. Dan Lauretta amat sangat tak nyaman bertemu dengannya di tempat selain mansion Calbi.“Apa kalian datang bersama-sama?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan oleh sang dokter.“Tentu saja tidak,” timpal Lauretta cepat. Diliriknya Amor sekilas kemudian kembali pada Leave. “Bagaimana hasil laporanku? Kurasa aku hamil,” imbuhnya benar-benar terang-terangan.Mengeryit dahi Amor mendengar pertanyaan monohok wanita di sampingnya. Pandangannya beralih pada Lauretta yang menatap lurus ke depan. Sementara Leave, di depan pria itu mengulum senyum seraya terus memeriksa hasil laporan.“Anak siapa yang kau kandung?” tanya Amor. Kontan mendapatkan lirikan dari wanita yang ditanyainya. “Sudah berapa bulan?” sambungnya bertanya lagi.Berdecak lidah Lauretta sebelum menjawab, mengalihkan
Satu buket bunga krisan putih Lauretta bawa untuk memperingati hari kematian ayahnya. Manuel merupakan sosok ayah yang tegas pun baik bagi Lauretta. Meskipun beberapa kenangan buruk tentang pria itu tak bisa dihindari. Diletakan buket bunga tersebut di atas makam sang ayah, lantas dirinya beserta Alexandro menunduk hormat. Pria dengan kemeja hitamnya pun berjalan masih dibantu oleh dua tongkat pada sisi kanan serta kirinya sebab luka di kakinya belum sepenuhnya sembuh. Alexandro ditarik Lauretta untuk ikut serta mengunjungi pemakaman meskipun dirinya tak mau. Karena jika tak dalam kondisi sakit, pria ini akan kabur entah ke mana seperti anggota keluarganya yang lain. Sungguh malang nasibmu, Papa. Tidak ada satupun orang yang mengingat hari kematianmu selain diriku. Kau pria yang selalu menjadi kebanggaan Hector serta seluruh pengikutmu. Namun bahkan pada hari kematianmu sama sekali tak ada pertemuan yang diadakan. “Tidak ada yang datang pada hari peringatan kematian si pengkhianat
Membuka mata Lauretta menatap langit-langit kamar. Menghela dirinya mengingat jika tadi malam ia tertidur di kamar Amor sebab pria itu mengobati lukanya. Beranjak dia memegangi perutnya yang telah terbalut kasa. Menyadari jika tubuhnya polos tak berpakaian.Lirikan matanya nan tajam pada Amor yang melangkah mendekatinya. Pria itu mematikan sulutan rokok sebelum mencapai ranjang. “Sudah bangun?”“Kau membuka pakaianku?” sosornya pada Amor.Tenang pun santai Amor terus mendekat. Berdiri dirinya tepat di depan ranjang. Dua tangan ia masukkan pada saku celana serta tatapannya jatuh pada Lauretta yang masih duduk di peraduan. “Si. Aku yang membukanya. Bukan hal aneh untuk melihat tubuhmu tanpa pakaian, kita pernah lebih dari itu,” timpalnya amat santai pun merasa tak berdosa.Lauretta berdecih membuang muka. Segera ia beringsut turun dari ranjang dengan selimut yang membelit di tubuhnya. Sementara Amor hanya diam dan mempehatikan, bahkan tak melarang ketika wanita itu dengan santainya men