“Sí, kau tahu aku gila, gila kepadamu.”
Suara pintu terkunci berhasil membuat degup jantung Lauretta berdegup dua kali lipat. Wanita cantik itu melirik Amor yang melangkah kian mendekat pada dirinya. Ia tahu, tahu betul jika pria gila ini tak bisa ia hentikan. “Amor.” Lirikan Lauretta semakin tajam pada pria di hadapannya yang satu langkah lagi mampu meraih dirinya. “Si, Mi amor?” “Ingat, kita sudah selesai.” Ia menegaskan, dan Amor berdecih. Melirik tidak suka lantas ia raih pinggang sintal wanitanya tanpa permisi. Merapatkan tubuh mereka tanpa jarak sedikitpun. “Selesai? Kita tidak akan pernah selesai, Mi amor.” Ia memiringkan wajahnya, maju untuk mengecup leher jenjang nan putih milik Lauretta yang terpampang tanpa penolakan. “Kita tidak akan pernah selesai.” Mata kucing itu mendelik memutar malas. Mendorong dada Amor hingga pelukan pada pinggangnya terlepas. Jemari lentiknya mengibas bahu serta baju seolah pelukan Amor adalah kotoran. Mengambil tissue di atas nakas lalu ia menyeka bekas kecupan di leher. Kepalanya patah ke samping, tatapannya menatap datar namun tetap tajam. Ekspresi wajah yang mencemooh memperlihatkan jika ia begitu membenci pria itu. “Kita selesai semenjak kau memutuskan untuk pergi dari hidupku,” ungkapnya. Ujung bibirnya berkedut singkat. “Aku bukan penginapan yang bisa kau datangi dan tinggal sesuka hatimu.” “Aku tahu kau kecewa—” Kalimat Amor terhenti kala tangannya dihempas oleh Lauretta sebab ia mencoba memegang pipi wanita itu. Tatapan Amor melirik tangannya yang malang, yang terang-terangan ditolak oleh wanita yang dulu bahkan menerima sentuhannya dengan senang. “Jangan pernah menyentuhku lagi. Apa kau sangat tidak tahu malu?” Air pada wajah tampan itu menghilang menjadi pucat. Ekspresi wajahnya kian datar seperti samudra. Hasratnya yang menggebu awal ia bawa untuk menemui kekasih hatinya mendadak musnah sebab penolakan kejam dari sang tercinta. Amor tak pernah perasa seperti ini untuk kata-kata tajam Lauretta. Tapi begitu mendengar ungkapan kekecewaan wanita itu ia menjadi sedikit merasa bersalah. Bersalah? “Pergilah untuk selamanya dari hadapanku, aku tidak pernah berharap kau kembali, Amor.” Amor menelan ludah. Lantas tubuhnya terdiam membatu. Ia tak bersuara selain sorot matanya terus menatap Lauretta dengan datar. Lauretta melempar tissue yang ia pegang ke sembarang lantai. Melangkah kaki jenjang yang terbalut higheels cantik itu menghentak lantai, melewati serta menabrak bahu Amor hingga pria itu bergerak mundur. Ia membuka pintu kamar lebar dan pergi dari sana. Tidak peduli jika pria itu masih berada di dalam kamarnya. Di lorong mansion yang luas Lauretta berpapasan dengan Melva— sang mama mertua yang berkerut heran melihat wajah cantik menantunya tengah menahan kekesalan. “¿Lo que está mal?" (Apa yang salah?) Melva memegang bahu Lauretta serta satu tangannya lagi memegang dagu menantunya. Tatapannya melirik raut wajah cantik itu dengan kerutan halus di dahi. “No, mamá. Estoy bien." (Aku baik-baik saja) Melva menghela lantas ia mengangguk mengerti. “Avísame si necesitas algo.” (Beritahu aku jika kau membutuhkan sesuatu) “Sí, gracias.” ***** Halaman utama mansion dipenuhi pria-pria tampan serta mapan berpakaian jas rapih yang datang khusus untuk menyambut kepulangan teman mereka. Siapa lagi jika bukan Amor Calbi. Pemeran utama yang memang selalu menonjol diantara pria-pria hidung belang itu. Suara-suara tawa pecah memenuhi halaman. Tawa yang terdengar amat rapih pun penuh wibawa bak suara uang ketika didengar, bercampur aduk dengan suara senapan yang tengah mereka mainkan. Melemparkan burung hidup sebagai target kemudian menembaknya hingga tewas. Sementara itu di lantai dua mansion. Kamar yang memiliki jendela tepat mengarah pada halaman utama. Berdiri Lauretta di belakang kaca besar kamarnya, memandang ke bawah pun menatap para pria di bawah sana terutama Amor. Sebelah ujung bibirnya terangkat menatap senyuman tipis pria itu. Leave Jonas merupakan direktur rumah sakit besar nan ternama. Duduk menumpu kakinya di kursi serta sesekali menyesap minuman di dalam gelas. Rambut yang disisir rapih ke belakang serta kaca mata bening menambah ketampanan serta daya tarik pun memperlihatkan kepintarannya. Diantara teman yang lain, dirinya yang paling dekat dengan Amor. “Sí, aku tahu itu,” timpalnya saat Amor berbicara pelan pada Leave. Tatapan tajam Amor terangkat tepat pada kaca jendela kamar Lauretta yang kini sudah tertutup kembali oleh gorden. Tak lagi ia lihat wanita cantik yang sejak tadi berdiri memperhatikan di sana. Galnot Desarte melangkah gagah membawa senapan di tangannya. Ia mengambil satu gelas beer di atas meja lantas melemparkan tatapannya pada Amor. Pria bertubuh besar dipenuhi tato di kedua tangannya ini lantas mendekat pada teman karibnya. “Todo fue bien hasta tu regreso.” Suara bariton yang begitu berat cocok dengan penampilannya yang menyeramkan mampu membuat bulu kuduk merinding. Tak ada yang bisa dibicarakan pria ini pada Amor kecuali bisnis mereka yang memanglah saling terjalin di dunia hitam. “Sí.” Amor menimpali dengan singkat. Kini giliran Leave yang pergi mengambil senapan. Berdiri tegak nan gagah mengeker benda panjang itu di tangannya. Jarinya memberi isyarat pada pria di ujung untuk melemparkan burung kemudian suara tembakan kembali memecah gendang telinga. Burung malang lainnya jatuh terkapar berdarah di atas rerumputan. Tewas menjadi korban di atas kesenangan orang-orang kaya itu. “Leave, apa kabar?” Abramo datang membawa putri kecilnya di gendongan yang kontan bertukar dengan senapan sebab bocah kecil itu langsung pindah ke dalam gendongan paman tampannya. “Tío?” (Paman) “Sí?” “Mama, sakit,” katanya berbisik. Leave mengangkat keningnya mendengar aduan kecil itu. Lantas ia menatap Auretta di sisi. “Sakit?” “Um.” Ia mengangguk. “Mama tidak mau kelual dali kamal.” Auretta vs cadelnya mencoba menjelaskan. Tíonya tersenyum tipis. “Aku akan memeriksanya nanti, oke?” “Um.” Lagi, Auretta mengangguk dengan lucunya. Abramo mengelus lembut puncak kepala putrinya, lantas ia melirik Leave. Tatapannya memberi isyarat jika istrinya baik-baik saja, Leave tidak perlu melakukan pemeriksaan apapun pada Lauretta. “Ah mama!” Jemari kecil Auretta menunjuk ke arah pintu mansion di mana Lauretta baru saja keluar dari sana, melangkah menuju ke arahnya. Wanita itu melangkah dengan anggun. Rambut panjang bergelombang dibiarkan terurai indah. Diterpa angin kala dirinya melangkah memperlihatkan sisi cantik dari wajahnya. Lauretta tersenyum pada putrinya serta menyapa beberapa orang di sana. Sebenarnya ia tak ingin datang. Namun, tidak mungkin ia tak menampakkan diri sama sekali sementara suami serta anaknya berada di sana. “Holla, Leave,” sapanya setelah berdiri tepat di hadapan Leave, di samping Abramo pun merangkul tangan pria itu mesra. “Holla, Lauretta.” Keduanya saling menyapa pun berbincang. Lauretta dan Abramo tak segan memperlihatkan kedekatan mereka serta keharmonisan keluarga kecilnya. Sepasang suami istri ini tertawa tanpa beban, seolah di sana hanya mereka lah pasangan yang paling sempurna. Amor menatap senyum cantik itu dengan tatapan datar. . . . Bersambung ....Melenggang Mara menyusuri lorong mansion Calbi lantai dua seraya membawa beberapa papperbag di tangannya. Cantik pun mendayu suaranya menyanyikan sebuah lagu. Ia merasa hidupnya semakin bahagia pun sempurna semenjak menyandang status sebagai nyonya Calbi.“Oh?”Kaki jenjangnya sesaat terhenti ketika ia mendapati adik iparnya baru saja keluar dari kamarnya bersama Amor. Entah yang Lauretta lakukan di dalam sana nan sangat mencurigakan terlebih lagi Mara tahu jika wanita itu ialah mantan kekasih suaminya.“Holla Mara?” sapa Lauretta. Melangkah dirinya menghampiri Mara yang terdiam dan mencoba untuk santai dan tak mulai mencecarnya.“Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” tanya Mara. Memasang badan namun tetap santai. Tetapi, kekesalan pada raut wajahnya tak bisa ia sembunyikan, dan Lauretta tahu jika wanita itu tengah menahan kesal.Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami dan anak, pantaskah dia masuk ke dalam kamar kakak iparnya sendiri yang kini bahkan telah memiliki seorang
Chihuahua, Mexico. Satu kakinya terangkat ke atas sementara tubuhnya tersentak-sentak seirama dengan desahan halus yang keluar dari bibirnya. Jemari lentik mencengkram kuat tuxedo hingga kusut di bagian kerah. Amor meraih bibir Lauretta lalu ia lumat panas, membelit lidah pun mereka bertukar saliva.Sebuah gedung di Chihuahua Mexico. Tengah di adakan pernikahan yang begitu besar. Mencakup orang-orang penting besar dari kalangan atas pun juga dunia bawah. Penyatuan antara dua klan besar. Yakni, Calbi dan Antonino.Pengantin wanita tengah berdandan seraya bercermin cantik. Mematut tubuhnya yang terbalut gaun pengantin putih nan sakral. Wajahnya dipenuhi binar-binar kebahagiaan serta tak lepas senyum pada bibirnya yang merona.Tinggal menghitung menit sebelum Mara Antonino resmi menjadi istri dari Amor Calbi. Pria yang amat sangat dicintai serta ia damba-dambakan. Status sebagai nyonya Calbi mampu ia dapatkan. Sukses dirinya membuat semua wanita yang menginginkan Amor patah hati.Sement
“Mudah saja bagimu mendapatkan nomorku, benar? Ada apa?”Mengapit ponsel di antara kepala serta bahunya dan berbicara kepada Gabriel yang tiba-tiba menghubungi. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkan nomor ponselnya, yang pasti ia lakukan secara ilegal.Lauretta tengah sibuk berada di dapur. Membuat makan malam sendiri meskipun bisa ia pinta pelayan untuk membuatkannya. Namun, spesial yang satu ini ia tak ingin buatan orang lain.Telah terhidang di atas piring potongan tentakel gurita mentah, satu mangkuk kecil saus serta irisan tipis lemon. Makanan favoritnya yang akan dianggap aneh dan menjijikkan. Saat tinggal di kediaman Fiescho, ia akan diolok-olok sebab memakan makanan tersebut.Duduk di atas kursi meja dapur, Lauretta mulai menyantap makanannya dengan ponsel yang masih ia pegang di depan telinga.‘Aku ingin bertemu denganmu, maukah kau?’“Hanya kita berdua? Tanpa sepengetahuan Maria?” tukas Lauretta berterus terang. Meletakkan chopsticks di samping piringnya lalu ia menegak
“Rivalmu.”Berkedut sudut bibir Lauretta terus menatap lurus ke depan, enggan dirinya untuk menoleh. Tanpa ia lihat sosok di samping, telah ia ketahui dari Elazar yang menyebutkan status orang tersebut. Rival. Ya, musuh Lauretta dari zaman bersekolah dulu, dan itu hanya sebiji.“Holla Elazar.” Sebuah tangan terulur tepat di depan Lauretta. Jemari lentik nan cantik terhias nail art indah serta bertengger jam tangan mahal pada pergelangannya. Uluran itu tak ditujukan kepada Lauretta, melainkan pada Elazar di sisinya.Tangan mereka berjabat tepat di depan wajah Lauretta yang bergeming tak ingin menanggapi. Tak peduli sama sekali jika dirinya yang sebesar ini dilewatkan begitu saja tanpa sapaan. Dan justru dengan sengaja wanita itu lebih memilih untuk menyapa Elazar.Jika Lauretta adalah bara api, maka wanita cantik nan modis di sampingnya ini adalah koreknya.“Kudengar Auretta mengikuti balet, si? Ah ... aku tak sabar melihatnya,” tanya wanita bernama Maria ini. Tatapannya melayang melew
“Ck. Bukankah aku istrimu jika ayahku tak mati hari itu?”Perubahan besar terjadi dalam hidup Lauretta semenjak kematian ayahnya. Seperti ditinggalkan sebatang kara memikul beban yang begitu menumpuk. Seolah semua kesalahan ada padanya sehingga ia yang barus menanggung segalanya.Fiescho diambang kehancuran jika tak ada jabat tangan Calbi beberapa tahun yang lalu. Pernikahannya menyelamatkan seluruh anggota serta merta wilayah kekuasaan yang hampir dirampas dari tangan Fiescho. Lauretta sebagai tumbal yang dijual sekaligus tawanan berat antar dua keluarga. Ikatan mereka terjalin dengan adanya hubungan pernikahan.Manuel dan Johanes hampir menjadi besan. Johanes pemegang kekuasaan penuh Calbi, dan Manuel adalah calon pemegang kekuasaan yang dimilikki Fiescho. Dua keluarga kuat nan kokoh bersanding bersama mempererat suatu wilayah kekuasaan.Kehancuran dimulai dengan serangan tiba-tiba dari pihak musuh. Manuel dibunuh dalam pertempuran dan mati menjelang beberapa hari pernikahan putrin
Melenggang cantik kaki jenjangnya menelusuri area basement rumah sakit menuju mobilnya yang terpakir di sana. Membeliak Lauretta kontan menganga ketika ia mendapati dua pria sialan sedang mengotak-atik mobil miliknya. Satu pria berdiri menyender pada mobil, dan satunya bersimpuh di depan ban.Berjalan ia segera menghampiri mobilnya membuat si pria bersimpuh lantas berdiri. Higheels tinggi nan runcing ia kenakan menendang-nendang ban mobil yang kempes kini. “Apa yang dua sialan ini lakukan pada mobilku?!”“Little snake, mulutnya begitu tajam dan berbisa,” bisik Galnot pada Amor yang kemudian terkekeh menggeleng kepala. Pria bertubuh besar disertai banyak tato pada tangan kanan dan kirinya mundur ke belakang, membiarkan Amor menghadapi ular berbisa yang sedang mengamuk.“My little cat,” timpal Amor, kemudian melangkah menghadap sang tercinta yang sedang marah-marah karena ban mobilnya yang bocor. “Mobilmu rusak, jadi kupinta Galnot memeriksanya.”Bergerak pandangan Lauretta pada Amor se