Keenan terdiam.
'Gadis ini gadis pungut keluarga Matilda? Apa yang terjadi? Kenapa kebetulan ini terlalu kebetulan? Dia pasti benar-benar sudah merencanakannya.'
Tiba-tiba pria itu tertawa memikirkannya.
Tawa itu perlahan berubah menjadi lebih mengerikan disertai dengan lirikan liarnya. “Jadi ini rencanamu yang sesungguhnya?”
“Apa?” tanya Emmy tak mengerti.
“Jadi selama ini kamu sudah menargetkanku? Kamu menyukaiku, namun kamu tidak bisa melakukan apapun karena aku dijodohkan pada kakakmu sehingga kamu menjebakku. Kamu yang meminta seseorang untuk memasukkan sesuatu pada minumanku, kan?”
Keenan agak puas melihat kepanikan Emmy. Dia meneruskan gertakannya. “Ayo. Sekarang juga kita ke rumahmu, bicara pada orang tuamu sehingga kamu mengakui semuanya adalah keinginanmu.”
“Tidak.” Air mata semakin membanjiri pipi Emmy. Keluarganya tidak bisa mengetahuinya. Ibunya akan menghajarnya, begitu pula Isa.
Dia akan berakhir di pemakaman, atau kalau dia masih cukup beruntung, dia akan berakhir di brankar rumah sakit.
“Kenapa? Kamu takut?”
“Padamu?” Emmy menggeleng. “Tidak. Aku tidak salah, justru kamu yang salah. Akulah korban dalam hal ini. Kamu melecehkanku, memperkosaku berkali-kali. Ingat?”
“Korban katamu?” Keenan menganga. “Aku melecehkanmu?”
Komentar Emmy membuat Keenan berang. Dia perlu memukul sesuatu sebagai penyaluran emosinya. Rasa frustasi melilitnya. Keenan tidak tahu bagaimana dia berakhir tidur dengan Emmy. Satu-satunya penjelasan atas kejadian itu adalah Emmy memang menjebaknya.
Tapi gadis ini terus bersikukuh pada prinsipnya, mengatakan dia tidak melakukan apapun. Dan sekarang dia mengatakan dia korban? Aku melecehkannya?
“Sekarang kamu berpura-pura sebagai korban?” Keenan berteriak kasar, meninju dinding dengan kencang.
Emmy panik. Dia menghindar sambil menutupi kepalanya karena dia takut dirinya bakal menjadi sasaran kemarahan Keenan selanjutnya. Namun Keenan tidak maju, melainkan hanya mengibaskan rasa sakit di tangannya.
Kaki Emmy gemetar, dinding hotel yang dibuat dari gipsum terlihat berlubang. “Sebaiknya kamu pergi dan anggap saja hal ini tidak terjadi,” kata Emmy dengan berlinang air mata. “Sekarang!”
“Kamu mengusir...”
“Sebelum aku memanggil polisi dan media!” Emmy memotong cepat. “Sekarang!”
Keenan mengernyit, tersenyum menyeringai. “Memanggil polisi? Bagus! Lakukan saja. Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku harus ditangkap. Kamulah yang menipuku! Kamu menjebakku, menaruh sesuatu pada minumanku dan...”
“Kamu punya bukti?” tantang Emmy.
“Well, aku bisa menemukan buktinya secepat mungkin. Tidakkah kamu sadar kamu menantang seorang Achilles?”
“Baguslah. Aku juga ingin tahu bukti itu akan menunjukkan kesalahan siapa.”
“Kamu bernyali juga rupanya?” Keenan kembali menutup jarak diantara mereka lalu menunduk untuk melihat wajah Emmy yang ketakutan. “Aku akan melakukan apapun demi mengungkap kebenarannya. Jangan pernah berpikir jika kamu bisa menghancurkan hidupku dengan trik murahan seperti ini.”
Trik murahan? Menghancurkan hidupnya? Bukannya malah sebaliknya?
Emmy menghela nafas. Dia mendorong sedikit tubuh Keenan lalu meraih tasnya yang berserak di lantai. “Baiklah, kamu menang.” Gadis itu berdiri menghadap Keenan. “Sekarang apa maumu?”
“Mauku?” Keenan nyaris tertawa, namun kemudian tawanya menguap saat seseorang mengetuk pintu kamar. “Jangan bicara apa pun,” ancam Keenan.
Dia bergegas membuka pintu dan seseorang menggunakan seragam berdiri di sana. “Tuan Keenan Achilles?” Petugas hotel itu menutup mulut tak percaya. “Andakah yang menginap di kamar ini? Kenapa tidak memberitahu kami sebelumnya? Kami bisa menyediakan kamar terbaik untuk Anda!”
“Kamu siapa?” tanya Keenan dingin.
“Saya Lukas Arnold, manajer hotel di sini. Dengar, mungkin ada kesalahpahaman, tapi beberapa tamu melaporkan jika terjadi keributan di sini. Semuanya baik-baik saja, Tuan?”
“Tidak.” Emmy muncul sebelum Keenan menjawab.
Terlihat ekspresi terkejut di wajah manajer hotel, namun dia berusaha menjaga sikap.
“Semuanya tidak baik-baik saja. Bisa panggilkan polisi?”
“Po-polisi?” Si manajer hotel shock.
“Situasinya tidak seperti yang kamu bayangkan.” Keenan tersenyum. “Kami tidak bertengkar dan aku tidak menyakitinya. Hanya perdebatan biasa dan...” Keenan berhenti ketika manajer hotel melihat ke arah dinding hotel yang rusak. “Aku akan membayar ganti rugi untuk dindingnya. Asistenku akan menemuimu nanti.”
“Aku justru lebih khawatir pada teman wanitamu, Tuan.” Si manajer hotel menatap Emmy dari balik punggung Keenan. “Nona, anda baik-baik saja?”
“Dia baik, kami baik-baik saja.” Keenan menggantikan Emmy menjawab pertanyaan si manajer. “Katakan padanya aku tidak menyakitimu. Lihat, dia tidak terluka.”
“Nona? Benarkah?” Si manajer hotel memilih mengabaikan Keenan dan ingin mendengar sendiri jawaban dari mulut Emmy.
Emmy membuka mulut. “Aku...”
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany