Di sisi lain, Isa--kakak tiri Emmy--tengah berlari menyusuri koridor hotel.
Dia berusaha mengejar Keenan yang mendadak pergi setelah berhasil diberikan obat perangsang olehnya.
“Sial.” Dia menghentakkan kakinya kesal. “Ke mana dia pergi? Cepat sekali langkahnya!”
Membayangkan rencananya gagal, Isa meradang.
Gadis itu sudah menyiapkan wartawan untuk menjebak dirinya 'bermain gila' dengan Keenan!
Demikian, proses pernikahan akan dipercepat.
Tapi, mengapa Keenan malah tak bisa ia temukan? Apakah Isa harus pulang dengan tangan kosong?****
"Akh!"
Emmy memijit kepalanya pening keesokan harinya.
Dia tidak ingat banyak hal setelah dia minum di ruang karaoke. Hanya saja, sekitar selangkangannya nyeri luar biasa.
Segera gadis itu memerhatikan sekeliling.
Deg!
Wajah Keenan membangkitkan kembali ingatan Emmy.
Pria itu memperkosanya berkali-kali.
Padahal, Keenan adalah pria yang dijodohkan dengan kakak tirinya.
Parahnya lagi, hubungan antara Emmy dan keluarga tirinya tidak begitu akur. Emmy yang unggul dalam segala hal justru menimbulkan iri hati pada Isa. Dan sekarang Emmy tidur dengan pria yang dicintai Isa. Jika Isa mengetahuinya, maka tamatlah riwayatnya.Bugh!
Emmy memutuskan untuk segera bangkit. Dia memungut pakaiannya, mengenakan seadanya.
Sayangnya, pergerakan Emmy justru membuat tidur Keenan terganggu.
Pria itu meregangkan tubuh dan langsung terjaga ketika melihat seseorang berdiri di sisi ranjang.
“Siapa kamu?” Keenan tersentak kaget, mengetahui Emmy berdiri kaku dan belum menggunakan pakaiannya dengan benar.
“Kamu sedang apa di sini?”
Keenan memegang kepalanya yang masih berdenyut sakit. Ia seolah lupa apa yang terjadi semalam.
Emmy sontak menengang, terlebih kala mendengar ucapan Keenan selanjutnya. “Kamu belum boleh pergi.”
“Tunggu di sini,” ucapnya lagi dengan dingin.
Keenan melenggang dengan santai di hadapan Emmy tanpa mengenakan sehelai pakaian pun.
Setelah 'rapi', keduanya duduk berhadapan setelah memakai pakaian masing-masing.Emmy duduk dengan gusar, jemarinya bertaut pertanda cemas. Emmy tak pernah mengenal dunia luar selain keluarganya sendiri.
Sesekali, jika dia diajak keluar oleh ayahnya, barulah dia ikut.
Dan inilah alasan kenapa Keenan tak mengenalinya sebagai adik tiri Isa.
“Sebutkan angkamu.” Keenan menegakkan punggung. Wajahnya berubah dingin, sedingin yang biasa dilihat Emmy di layar televisi.
Kening Emmy mengerut. “Maksudmu?”
“Kamu tidak berharap aku menikahimu karena kejadian tadi malam bukan?” Keenan menyeringai.
Senyum itu jahat, dan Emmy tersinggung olehnya.
“Aku akui, aku yang salah. Aku cukup ceroboh untuk masuk ke dalam kamar ini dan berakhir dengan menidurimu.”
Meniduriku? Bukankah kejadian tadi malam lebih tepat disebut pemerkosaan dan pelecehan?
“Seharusnya kamu menolak, tapi kamu mengenaliku, bukan?”
Emmy menganga tak percaya.
“Kamu menyalahkanku atas hasrat liarmu?”
Air mata Emmy mulai menetas, namun Keenan tidak berencana melunak. “Tidak. hanya menegaskan pendapatku. Kamu mengetahui siapa aku dan kamu berniat mengambil keuntungan dari kecerobohanku semalam.”
Keenan merasa Emmy mempermainkannya.
Seharusnya Emmy menolak Keenan saat tahu pria itu di bawah pengaruh obat.
Dalam keadaan sadar, gadis baik-baik seharusnya kabur agar malam liar itu tidak terjadi.
Jadi, Keenan menolak mempermudah situasi Emmy tanpa menyadari jika Emmy pun dibawah pengaruh obat bius semalam.
Pria itu melihat gerakan naik turun di leher Emmy ketika gadis itu berusaha menelan ludahnya. “Aku dibius, jadi aku tidak bisa bergerak.”
“Kamu mau aku mempercayaimu? Ada banyak gadis di luar sana sepertimu, yang menggunakan segala cara untuk menjebakku. Kamu seharusnya lebih pintar dari mereka.”
Emmy terhuyung mundur seolah Keenan baru saja menamparnya. “Itu omong kosong. Aku tidak tertarik padamu.”
“Tidak tertarik katamu?” Keenan tertawa kencang. “Pewaris The Achilles, pria muda dengan harta kuadraliun, tampan dan sempurna. Dan kamu mengatakan tidak tertarik? Bukankah kamu terlalu naif? Sebutkan saja hargamu.”
Emmy tampak kehilangan kata-kata. Wajahnya berubah pucat menahan amarah dan kekesalan yang membuat dadanya terasa sesak. “Aku tidak butuh uangmu,” seru Emmy.
“Berhentilah berpura-pura. Kamu ingin aku yang memohon padamu?” bentak Keenan, suaranya menggelegar dalam kamar itu. “Sejak awal kamu mengenaliku, mengetahui identitasku. Kamu hanya pura-pura tidak tahu supaya kamu bisa mendapatkanku dan aku jatuh ke dalam perangkapmu.” Keenan melangkah, merapatkan jarak diantara mereka hingga Emmy menempel ke tembok.
Emmy ingin segera pergi, tapi Keenan memosisikan tangan di kedua sisi gadis itu, mengurung Emmy di antara kedua lengannya. “Katakan berapa yang kamu minta,” kata Keenan dingin sambil menggertakkan giginya. “Atau aku tidak akan melepasmu.”
Wajah Emmy semakin pucat. “Aku benar-benar tidak membutuhkannya.”
“Oh, atau kamu ingin menyusun rencana yang lebih hebat lagi?”
“Maksudmu?”
“Kamu mau menunggu apakah nanti kamu akan mengandung anakku atau tidak. Pada saat itu kamu akan datang dan tentu saja aku tidak akan bisa kabur, begitu rencanamu?”
Harga diri Emmy seakan sudah tergerus habis. Dia mengatupkan bibir, menatap wajah Keenan yang kejam. “Enyahlah!”
Kalimat itu agak menohok, membuat harga diri Keenan terluka. “Apa katamu?”
“Kamu tidak mengenaliku, bukan?” Kali ini Emmy balik bertanya.
Keenan melepas tangannya dari tembok. “Apa maksudmu?” Alis pria itu bertaut.
“Aku Emmely Isla, adik wanita yang dijodohkan denganmu, Isloisa Matilda.”
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany