"Kate! Lepaskan. Mati anak orang!" Chris berusaha memisahkan kedua wanita itu. Dia sama terkejutnya dengan Nasya, hingga persekian menit sempat bengong.
Gadis bernama Kate itu masih belum ingin melepaskan rambut Nasya meski Chris sudah menarik pinggangnya. Perasaan kesal karena lelah mencari keberadaan Chris dia lampiaskan pada Nasya. "Kate!" Bentak Chris lebih kencang sembari mencoba melepas tangan Kate dari rambut Nasya, begitupun dengan Nasya sontak melepaskan remasan pada kemeja Kate. Keduanya berdiri berjauhan dengan Chris ada diantara mereka. "Apa yang kamu lakukan?" Chris terlihat marah pada Kate yang masih menarik napas. Dadanya kembang kempis karena baru saja bergulat dengan Nasya. Sekilas Chris tampak memperhatikan Nasya, takut kalau gadis itu sampai terluka. Wajah menantang yang ditunjuk gadis itu mencerminkan kalau dia baik-baik saja. Gadis malang yang tidak tahu apa-apa itu terlihat tengah mengatur napas. Bulir bening terlihat turun dari sudut matanya. "Dasar wanita gila! Seenaknya menjambak rambut orang. Sakit tahu! Om, jaga dong, peliharaannya, jangan sampe nyerang orang!" umpat Nasya setelah menyadari kalau Chris jelas mengenal Kate. "Apa kamu bilang? Peliharaan? Kamu pikir saya hewan?" bentak Kate berkacak pinggang, satu kaki panjangnya maju ke depan hendak menyerang Nasya lagi. "Cukup!" bentak Chris sembari mengacak rambutnya, pusing dengan perdebatan kedua gadis itu. "Kate, kamu sedang apa di sini?" Manik mata Chris fokus pada gadis yang saat ini sangat ingin dia hindari. Dia pikir dengan pergi dari Singapura akan membuatnya lepas dari bayang Kate. Awalnya Chris memang ingin mencari tahu isu perselingkuhan yang dia dengar dari intelnya, dan setelah mendapatkan kebenaran, dia pun membuang semua perasaan yang tersisa untuk Kate. "Mencarimu. Kenapa kamu gak balas pesanku, telepon juga gak diangkat. Chris, kenapa kamu menghindar? Apa karena gadis ini?" Kate masih dengan berkacak pinggang memutar wajahnya menoleh pada Nasya. Dari ujung kaki hingga rambut memperhatikan rivalnya itu. "Jangan bicara sembarangan! Sebaiknya kamu pulang sekarang!" tegas Chris dengan sikap tidak ramahnya. Sama sekali tidak mengharapkan kalau dia akan bertemu dengan Kate saat ini. Chris memang sengaja menghindari wanita yang sudah dua tahun dia pacari itu. Sakit hati dan kecewa atas sikap Kate yang tidak menghargai hubungan mereka. Belum lagi rumors yang beredar seputar mantan kekasihnya itu membuat Chris tidak mau lagi memberikan kesempatan pada Kate dan memutuskan kembali ke Indonesia, ya salah satu alasannya untuk mengindari gadis cantik itu. "Aku gak mau pulang sebelum kita bicara. Chris, aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku menyesal selama ini menyia-nyiakan cintamu. Aku mau menikah. Ayo, kita menikah." Kate menarik tangan Chris dan membawa ke dadanya. Dia ingin Chris mendengar debar jantungnya yang hanya berdetak untuk Chris. Melihat adegan romantis itu, sudut bibir Nasya naik ke atas, mencibir adegan yang tidak enak dipandang mata dan memilih untuk putar badan dan pulang. Tanpa noda dan dosa, Nasya melewati mereka, terus berjalan meninggalkan keduanya. Sudut mata Chris tertarik mengikuti punggung Nasya yang perlahan menjauh. "Kamu pulang dulu, nanti aku kita bicara lagi!" Chris mempercepat langkahnya menyusul Nasya. Tidak mungkin membiarkan gadis itu pulang sendiri. "Tunggu!" perintahnya, tapi Nasya tidak patuh, justru mempercepat langkahnya. "Hei, partner-" Nasya berhenti, menghentakkan kakinya dan berbalik menghadap Chris. Dia tahu kata yang akan keluar dari bibir pria itu. "Om, bisa gak jadi panggil aku partner lagi? Mau Om apa, sih?" Nasya mulai geram. Rasa kesalnya belum juga hilang pasca mendapat tamparan dari Kate, ditambah sikap Chris yang selalu ingin memancing amarahnya. "Makanya, kalau orang ngomong didengar. Mau kemana?" "Pulang! "Loh, tapi kita belum jadi beli obatnya." "Bodo!" Nasya kembali melanjutkan perjalanannya. Dia ingin segera sampai rumah, dia ingin mengadu pada Dika. Suasana rumah sudah tampak sepi. Nasya tebak kedua mertuanya pasti sudah masuk kamar. Nasya bergegas menaiki anak tangga menuju kamar mereka, jangan sampai Dika juga sudah tidur, bisa gagal rencana Nasya untuk minta jatah. Baru mau buka pintu kamar, tangannya sudah ditarik oleh Chris dan menempelkan tubuhnya di dinding. "Mau kemana buru-buru? Udah pengen masuk kamar aja. Memangnya kamu berani main sama Dika? Menurutmu, dia akan bersikap seperti apa saat tahu bahwa dia bukan pria pertama untuk mu?" Chris memicingkan mata, menatap Nasya dengan sudut bibir tersenyum mengejek. Ya Dewa, begitu puasnya pria ini menggoda Nasya hingga wajah gadis polos itu pucat pasi. Puas mengerjai Nasya, Chris berlalu dari hadapan gadis itu. Tinggallah Nasya dengan seribu ketakutan bersarang di benaknya. Benar juga, dia belum sempat memberitahukan pada Dika soal... Ah, bagaimana ini?! Perlahan, Nasya membuka pintu, setelah lima menit berdiri di depan daun pintu mengumpulkan keberanian. Pupus sudah harapannya memadu kasih dengan Dika. Padahal mereka masih pengantin baru. Dia juga sudah janji akan menceritakan pada Airin betapa syahdunya memadu kasih. Begitu memasuki kamar, Nasya mendapati Dika sudah tidur dengan posisi menyamping. Dia mendekat dan menatap wajah suaminya yang sangat tampan. Dengan menunduk, Nasya memutari setengah ranjang, mengambil tempat di sebelah suaminya. Nasya membaringkan tubuhnya di sebelah Chris, ikut berbaring dengan posisi miring sambil menatap punggung bidang Dika. "Mas, aku mau jujur," cicitnya dengan tatapan nanar ke arah Dika. Dadanya tiba-tiba sesak, ingin menangis tapi takut Dika terbangun. Mungkin terlalu cepat untuk meyakinkan dirinya, tapi Nasya yakin kalau dia sudah jatuh cinta pada Dika. Dia tahu kalau cinta harus didasari kejujuran meski menyakitkan. "Mas, Aku sudah pernah tidur dengan pria lain..."Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s