Nasya kembali mematut wajahnya di cermin meja rias. Tampilan sudah oke, cantik bak putri raja. Dia sudah siap sejak setengah jam lalu, dan kini menunggu Dika yang tidak selesai juga bersiap-siap sejak sejam lalu.
"Mas, kita mau kemana, sih?" ulang Nasya merasa bosan. Pertanyaan yang sudah dia ajukan enam kali sejak Dika pulang kerja dan memintanya bersiap-siap. Benar sekali, mereka baru menikah beberapa hari, tapi Dika sudah kembali bekerja. Tidak ada ajakan bulan madu, tidak ada momen menghabiskan waktu berdua di tempat romantis. Bayangan Nasya akan menikmati masa-masa romantis bersama suami setelah menikah, hilang sudah. "Mas," ulang Nasya dengan nada menuntut. Dia terus diabaikan, dan Dika masih saja sibuk memadu padankan jam tangan dengan kemejanya. "Apa, sih, Nas. 'Kan aku udah bilang, kita mau ketemu sama teman-teman ku." "Iya, tapi kan hanya makan malam, kenapa penampilannya harus begitu necis, sih?" Nasya membayangkan kalau hanya makan malam bersama teman-teman main Dika, harusnya pakai outfit santai, bukan seperti menghadiri rapat paripurna. "Teman-teman aku orang penting semua, Nasya. Udah, ayo kita jalan," ucap Dika menarik tangan Nasya keluar kamar. Di ruang tengah, keduanya berpapasan dengan Chris yang terlihat berkeringat sehabis berolahraga. Tubuh kekarnya bersimbah keringat hingga baju olahraga terceplak membetuk otot bisep dan perut roti sobeknya. Nasya sempat melirik dan sial, mereka saling bertemu pandang di satu titik yang sama. Buru-buru Nasya berpaling melihat ke arah lain. "Baru olahraga, Om?" sapa Dika sopan. Chris hanya mengangguk. Ekor matanya menangkap tangan Nasya yang dengan mesra menggandeng Dika. "Mau kemana?" tanya Chris datar. Berusaha untuk tidak eyes contact dengan Nasya. "Mau ketemuan sama teman-teman, Om." Chris mengangguk lalu berlalu. Dia kini bisa tenang. Kemarin malam, sengaja menarik tangan Nasya dan mendorong gadis itu ke tembok karena ingin melihat apakah ada bekas luka akibat tamparan Kate. Hanya saja cahaya lampu yang temaram, membuatnya sulit memastikan. Dan saat melihat wajah cantik Nasya tadi, jelas terlihat mulus tanpa ada goresan. *** "Akhirnya kalian sampai. Lama banget kita nungguin," sambut salah satu teman Dika. Meja itu dikelilingi empat orang, tiga pria dan satu wanita. Nasya langsung membingkai senyum ramah. Dia akan berusaha agar penilaian teman-teman Dika positif terhadapnya. "Sorry, Dir, macet banget," jawab Dika menarik kursi untuk Nasya lalu setelah istrinya duduk dia pun menarik satu lagi untuk nya. "Semuanya, sekali lagi aku perkenalkan, Ini Nasya, istriku. Meski kalian semua datang ke pernikahan kami, aku tetap ingin memperkenalkan lagi," ujar Dika menatap satu persatu temannya. "Hai, Aku Gina, istri Bima." Satu-satunya gadis yang Nisya temui di meja itu mengulurkan tangan. Dengan cepat Nasya menyambut dan memperkenalkan kembali namanya. Satu persatu teman Dika menyalami Nasya, Dirly, yang paling ramah dan bertubuh kecil, di sebelah duduk Hans, lalu ada Bima dan terakhir Gina yang tepat di sebelahnya. Semuanya memberikan tatapan ramah, kecuali Bima. Pria itu langsung menunjukkan rasa tidak sukanya pada Nasya. "Satu lagi spesies beruang kutub," batin Nasya mengingat Chris yang juga tidak pernah bersikap ramah padanya sama halnya dengan sikap Bima saat ini. Satu jam ngobrol, Nasya hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Dia tidak terlalu mengerti pembicaraan mereka yang semuanya adalah pengusaha. Nasya memang kuliah dengan jurusan manajemen, tapi satu pun tidak dia pahami. "Kamu juga jurusan manajemen, ya?" tanya Gina menoleh pada Nasya. Gadis itu jadi gugup dipandang semua orang. "Iya, Mbak, tapi belum selesai. Masih mau magang," terang Nasya pelan. Gina hanya mengangguk paham, lalu kembali melanjutkan pembicaraan dengan kelima pria tadi. Pukul 11 malam, mobil Dika tiba di depan rumah. Nasya yang duduk di sampingnya sudah terlelap. "Nas, bangun," panggil Dika pelan. Tangannya membelai pipi seputih gading itu. "Mmmm...." "Udah sampai. Ayo, turun. Tidurnya di kamar." "Gendong," rengeknya manja. Meletakkan kepala di lengan Dika. Pria itu tersenyum, lalu dengan pelan menggeser kepala Nasya sebelum turun dari mobil. Tidak terlalu sulit bagi Dika yang bertubuh kekar untuk menggendong Nasya. Masih dengan mata tertutup dan tangan melingkar di leher Dika, Nasya tersenyum. "Kenapa dia? Mabok?" tanya Chris yang baru keluar dari dapur dengan membawa segelas air. "Dasar Om gila!" umpat Nasya yang mendengar ucapan Chris. Momen romantis mereka jadi terhenti karena kehadiran pria itu. "Bukan, Om. Nasya ngantuk, jadi aku gendong." "Alah, kayak anak kecil aja digendong, padahal udah bisa buat anak." Kantuk Nasya hilang seketika. Dia meminta Dika untuk menurunkannya. Begitu berhadapan dengan Chris, Nasya melotot padanya. "Om, belum tidur? Jam segini gak bagus buat orang tua begadang. Apalagi, pria tua yang lagi ribut sama pacarnya. Bisa rematik dan asam urat kambuh. Tidur, gih!" Dika melotot melihat ke arah istrinya. Tidak ada yang berani bicara seperti itu pada Chris, bahkan Anton, ayahnya sekalipun. Bukan tersinggung, Chris justru tertawa terbahak. Sampai sudut matanya mengeluarkan cairan bening. "Kamu benar, aku lagi galau, nih, gak bisa tidur. Rindu sama wanita yang tidur denganku seminggu lalu!" Wajah Nasya memerah bak kepiting rebus. Mulutnya terkatup rapat. Debar jantungnya semakin cepat. Buru-buru dia melirik Dika yang ingin buka suara. "Mas, kita tidur, yuk," sambar Nasya menarik tangan Dika menjauh dari Chris. "Kamu berani sekali ngomong gitu sama Om Chris. Di keluarga kami, gak ada yang berani ngomong kasar ke dia. Kamu harus hormat, ya. Dia itu Om aku." Nasya hanya mengangguk dengan rasa enggan. Dia menatap Dika dengan tatapan lembut. "Sebentar aku ke kamar mandi dulu," ucap Dika lembut. Nasya menunggu dengan sabar, duduk manis di pinggir ranjang. Dika mengerti maksud istrinya. Ini sudah seminggu, tapi mereka belum juga melakukan hubungan suami-istri sekalipun. "Kamu gak capek?" Dika menyampirkan rambut Nasya ke belakang, lalu mengecup kening gadis itu. "Aku gak lelah. Ngantuk juga udah hilang. Mas, kita..." "Aku tahu, harusnya kamu mendapatkan hak kamu sebagai istri. Baiklah, kita-" "Tunggu, Mas. Sebelum kita ehem-ehem, aku mau jujur sama kamu dulu." Nasya menggigit bibirnya, menepis segala ragu. Ini saatnya. "Apa? Katakan?" Dika mengusap kening Nasya yang berkerut. "Mas, aku mau buat pengakuan. Aku minta maaf karena tidak berterus-terang diawal." Nasya menunduk lagi. Tidak mudah ternyata. Keberaniannya seketika lenyap lagi. Dia ingin disentuh oleh Dika, tapi dia harus jujur dulu. Jangan sampai saat melakukannya dan Dika me dapati kalau dia dibohongi, pria itu justru akan lebih kecewa dan membenci Nasya. "Hei, kok, diam? Katanya ada yang mau diomongin." Dia menarik dagu Nasya agar menatapnya. "Mas, aku minta maaf. Sebenarnya, aku sudah pernah tidur dengan pria lain sebelum kita menikah."Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid