Setelah membawa barang-barang ke rumah Bu Hasna, Ika langsung pulang lagi untuk mengantar anaknya mengaji sore. Tak lupa, malam harinya ia juga mengajari anak-anaknya belajar. Setelah jam setengah 9 malam, Iwan dan Azka mulai mengantuk dan tertidur. Ika berpamitan pada Karyo untuk ke rumah Bu Hasna. "Aku anterin ya," ucap Karyo bersiap mengeluarkan motornya. "Nggak usah, Mas. Aku mau bawa motor sendiri, kak motornya buat bawa barang dagangan juga besok," tolak Ika. "Nggak apa-apa. Kita bawa dua motor aja, aku buntuti di belakang." "Tapi anak-anak gimana, Mas?""Mereka jarang kebangun malam-malam. Aku kan cuma sebentar, lagian aku mau ketemu sama ibu." Ika mengangguk-angguk menyetujui permintaan suaminya. Tidak ada salahnya diantara Mas Karyo. Setelah mengunci pintu depan, mereka berdua beriringan ke rumah Bu Hasna. Sesampainya di sana, suasana terlihat sepi. Mereka langsung masuk karena pintu memang masih terbuka.
"Yaudah, kamu bikin aja di rumah ibu, Ka. Lagian kan lapak pasar lebih dekat ke rumah ibu," ucap Bu Hasna dengan wajah serius. "Jadi aku harus ke rumah ibu jam 3 pagi, Bu? Tapi kan aku kadang potong-potong sayur dari Maghrib. Terus kan berat, Bu, kalau harus gotong-gotong ke rumah ibu," tolak Ika mantap. Padahal Bu Hasna yang mau anaknya belajar, tapi kenapa aku yang harus repot. Ika menggerutu dalam hati. "Ya enggak. Kamu nginep aja di rumah ibu, beberapa hari sampai Miranda dan Diana bisa, nanti juga ibu bisa bantu-bantu kamu." Ika menghela nafas berat, tak enak kalau harus menolak permintaan ibu mertuanya. Nginep di rumah Ibu dan meninggalkan anak-anak serta Mas Karyo malam harinya, gimana ya? Nanti kalau ditolak dikira tidak mau bantu adik-adik ipar. "Yaudah lusa aja ya, Bu. Aku ngobrol dulu sama Mas Karyo." Setelah Ika menyanggupi permintaan ibu mertuanya, Bu Hasna dan Miranda langsung pulang. Sementara Ika langsung membereskan
Pak Tio menghela nafas dalam-dalam. Ia tak mau gegabah lagi soal anaknya. Meskipun berdekatan dengan Ika membangkitkan gairahnya, tapi masalah Karyo belum menemukan jalan keluarnya. Jadi, sepanjang perjalanan, ia hanya bisa menahan keinginannya. Sesampainya di rumah, Ika langsung menemui kedua anaknya. Mereka berpelukan dan melepas rindu. Anehnya, tidak ada Karyo di rumah, Iwan dan Azka bersama ibunya. "Apa Mas Karyo ke pemancingan lagi, Bu?" tanya Ika sambil membereskan barang bawaannya. Tidak banyak yang ia bawa, hanya sedikit oleh-oleh untuk ibu dan kedua anaknya. Sebagian uang yang ia peroleh sudah digunakan untuk membayar hutang dan membayar sekolah anak-anaknya, sebagain lagi akan ia gunakan sebagai modal berdagang. "Ngga tahu ibu, Ka, nggak pernah nanya-nanya sama si Karyo. Nanti kalau ibu nuntut dia buat kerja tapi sakit lagi malah ibu yang disalahin. Jadi terserah aja mau ngapain." Ika menelan ludahnya, hubungannya dengan Karyo juga t
Ayu tak menyangka kalau bapaknya ternyata menyimpan dendam pada ayah kandungnya. Mungkin karena begitu banyak kesusahan yang sudah ia alami gara-gara lelaki itu. Namun, sampai saat ini, ia masih belum tertarik tentang keberadaan ayah kandungnya itu. Entah masih hidup atau sudah mati, entah sedang bahagia dengan keluarga barunya, atau menderita akibat dosanya di masa lalu. Sayangnya takdir masih belum mau berdamai dengannya. Pagi itu, Ayu berteriak kencang saat membuka pintu kamar ibu dan bapaknya. Kedua orang itu sedang dalam keadaan terlentang dengan busa di mulutnya. Saat Ayu panik dan mengguncang-guncang tubuh keduanya, ternyata sudah kaku dan dingin. Ia berteriak memanggil nama Lasirah dan Karta. Orang-orang mulai berdatangan, prosesi penguburan jenazah segera dilakukan. Ayu termenung tak tahu harus bagaimana. Baru tadi malam ia bercakap-cakap dengan bapaknya, tiba-tiba pagi ini ia harus kehilangan dua orang terdekatnya. Kasak kusuk mulai terde
Persis seperti dugaannya, malam itu Ayu tak disambut baik oleh keluarga Firman, tak seperti biasanya. Padahal, biasanya ibu Firman selalu bersikap baik padanya. Ia pernah bilang kalau ia beruntung mempunyai calon menantu yang baik dan cantik, tapi sepertinya semua itu hancur gara-gara masa lalu Ayu yang buruk. Tak hanya ibunya Firman, ayahnya Firman bahkan tak mau menemuinya. Ia hanya tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam rumah. Tak ada salaman, atau basa-basi seperti yang biasa dilakukan. Bahkan Firman langsung berubah 180 derajat. Lelaki yang perhatian, yang menunjukkan kasih sayangnya di manapun, tiba-tiba langsung menjadi orang asing yang bahkan tak peduli keadaanya. Ia duduk di samping ibunya, membentuk kubu yang melawan Ayu. Merasa sendirian, Ayu tak berani banyak bicara. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kepalanya menunduk, tangannya meremas jari-jemarinya. "Maaf ya, Yu. Bukannya kami pilih-pilih menantu,
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah