Chapter: Kabur- End"Bener apa yang dikatakan Ibu, Pak. Bapak dan Ika yang harus segera dihukum. Kenapa malah bawa-bawa aku sama ibu? Aneh banget! Sudahlah, lebih Pak Lurah segera lakukan saja hukuman buat kalian berdua!" Karyo menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sejujurnya tangannya mengepal sejak tadi, ingin memberi bogem mentah pada bapaknya yang kurang ajar. Tak peduli menjadi anak durhaka, kali ini bapaknya memang pantas diberi pelajaran. Mendengar itu emosi Pak Tio terbakar. Apa? Dihukum? "Tunggu dulu, Pak Lurah. Tolong bapak-bapak tenang dulu, kamu juga tenang dulu, Yo. Kami memang berdosa, tapi tolong jangan sampai ada arak-arakan. Biar kami selesaikan dengan kekeluargaan saja." "Nggak bisa lah, Pak Tio. Masalah ini bukan cuma soal keluarga. Tindakan kalian sangat meresahkan dan menjadi contoh buruh untuk masyarakat. Kalau Pak Tio dan Mbak Ika nggak diarak, nanti bisa saja diulangi lagi," bapak-bapak mulai tidak sabar karena waktu sudah beranjak larut.
Terakhir Diperbarui: 2025-06-12
Chapter: Bab 45 Mau diarak? Saat itu Ika duduk menunduk di sebuah kursi di kamar itu. Tidak ada yang menemani, tidak ada yang mengajaknya bicara. Bagaimana mau bicara, sebagai pesakitan yang sudah pasti akan dihukum, bahkan menatap wajah ibu mertuanya saja dia tidak berani. Tak hanya ibu mertuanya, tatapan mata orang lain seperti menelanjanginya. Ibu Ika berjalan gontai mendekati anaknya. Ia terkejut tadi Karyo berteriak padanya, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut anaknya. Perasaanya bercampur baur, tidak percaya, benci, berharap semua tuduhan itu hanya salah sangka, marah, dan kasihan melihat anaknya hendak dihakimi masa. "Jadi bener kamu sama bapakku!?" bentak Karyo di depan wajah Ika yang masih menunduk. Namun bukannya menjawab, Ika kembali tersedu-sedu melihat suami dan ibunya ada di depan matanya. Kepalanya tetap menunduk seakan ada beban berat di lehernya. Tapi beban yang sesungguhnya adalah ketakutannya. Ia takut menghadapi suami dan ibunya sendiri. "Jawab, Ka!!"
Terakhir Diperbarui: 2025-06-11
Chapter: Bab 44 Proses menuju sidang Nur memandang bapaknya dengan kebencian. Matanya mulai berkaca-kaca. Tak terlukiskan bagaimana kekecewaannya begitu besar pada bapak yang selama ini jadi panutan. Ia merasa jijik dan muak. Apalagi saat melihat Ika, rasanya isi perutnya mau keluar. "Apa bener semua ini, Pak?" tanya Nur hampir meledak amarahnya. Namun, suaminya dengan lembut mengusap punggungnya. Pak Tio benar-benar bungkam, tak tahu harus menjawab apa. Ia menyugar rambutnya ke belakang, terlihat sangat frustasi. "Kamu panggil Karyo ke sini, Nur. Biar Karyo tahu kelakukan istrinya seperti apa!" seru Bu Hasna dengan geram. "Iya, Bu." Nur dan suaminya bergegas ke luar rumah. Sialnya di luar ternyata sudah ramai bapak-bapak ronda yang berkumpul karena teriakan-teriakan ibu. Mereka pikir ada seseorang yang sakit atau meninggal. Jadi ketika Nur dan suaminya keluar, mereka langsung beringsut mendekat. "Ada apa, Nur?" tanya Pak Dafa, ketua RT di lingkungannya. Yang lain juga langsung ikut bertanya. "Iya, ada a
Terakhir Diperbarui: 2025-06-09
Chapter: Bab 43 Terkuak Malam itu, seperti biasa, Pak Tio memastikan seluruh keluarganya sudah tertidur. Gerimis rintik-rintik dengan udara yang lumayan dingin pasti membuat tidur lebih pulas. Kesempatan bagi Pak Tio untuk menikmati tubuh menantunya tanpa was-was. Semua orang sedang bergelung di bawah selimut. Malam ini dan malam besok harus dimanfaatkan dengan baik karena lusa ia harus pergi ke area proyek lagi. Maunya sih tetap di rumah, berleha-leha dan tetap bisa bermesraan dengan menantunya. Tapi, beberapa hari ini Bu Hasna sudah bertanya tentang pekerjaan dan uang yang mulai menipis. Jadi, mau tak mau Pak Tio harus segera kembali ke proyek.Sekarang sudah jam 10 malam, Pak Tio berjalan mengendap seperti biasanya ke kamar Ika. Ternyata, Ika belum tertidur. Wanita itu sedang duduk di tubir kasur dengan memakai pakaian yang seksi, sengaja betul menunggu Pak Tio datang. "Wah! Ini yang bikin aku ketagihan sama kamu, Ka! Kamu selalu siap membuat bapak tegang. Beda sama istriku,
Terakhir Diperbarui: 2025-06-03
Chapter: Bab 42 Hubungan yang PanasJam 3 pagi alaram di hp Ika berbunyi. Ia membuka matanya yang terasa berat. Baru 3 jam lalu ia memejamkan mata, sekarang ia mau tak mau harus segera membuka matanya dan bangun.Akhirnya ia bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar. Suasana sangat sepi. Ia berjalan ke kamar sebelah, kamarnya Miranda dan Diana kemudian mengetuk pintunya. Beberapa saat kemudian terdengar sahutan dari dalam kamar dan nyala lampu mulai terlihat dari sela-sela pintu. Setelah itu, baru ia pergi ke dapur dan mulai menyalakan kompor. "Bikin apa dulu, Mbak?" tanya Diana saat masuk ke dapur. "Bikin adonan roti dulu, Na. Itu terigu sama telurnya." Ika menunjuk ke wadah dan terigu yang terletak di atas meja. Tak lama kemudian, datang Miranda sambil mengucek matanya. Mereka bertiga akhirnya membuat kue-kue yang akan dijual pagi itu. Bu Hasna terbangun ketika suara adzan subuh dari masjid terdengar. Sementara Pak Tio keluar dari kamarnya ketika Ika sudah mulai berdagang.
Terakhir Diperbarui: 2025-06-02
Chapter: Bab 41 Hubungan Berlanjut"Ya Allah, Pak!" Ika terlonjak sampai hampir terlempar ke belakang. Untung Pak Tio yang tepat di depannya bergerak dengan cepat. Tangannya terayun dengan cepat menangkap tubuh Ika. "Sssst!" satu tangan Pak Tio membungkam mulut Ika, namun satu tangan yang lain memegang tubuh Ika. "Jangan berisik, nanti pada bangun!" Jantung Ika berdebar sangat kencang. Tubuh mereka menempel dengan mata saling beradu. Beberapa saat waktu seakan terhenti. Namun, Pak Tio segera menyadari kalau mereka sedang berada di rumahnya. Bu Hasan bisa saja tiba-tiba muncul. Karena itu, ia segera melepas tubuh Ika. Keduanya berdiri berdekatan dengan canggung. Ika membenarkan bajunya yang berantakan. Tiba-tiba seseorang muncul dan berdiri di ambang pintu dapur. "Bapak! Bapak sama Mbak Ika lagi ngapain?" tanya Miranda memberikan tatapan menyelidik. Pak Tio lantas reflek menjauhkan tubuhnya dari tubuh Ika. Ia berbalik dan gelagapan menjawab, "Bapak lagi ngopi, ngg
Terakhir Diperbarui: 2025-06-01
Chapter: Bab 25 Zeno Tidak Mau Bertemu AyahMurti merasa sakit hati Bayu berteriak padanya. Padahal, selama ini Bayu selalu baik, tak pernah membentaknya. Beberapa pekerja dan orang-orang di warung memberinya tatapan sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia pergi begitu saja. Bayu tak khawatir dengan Murti yang marah. Ia sama sekali tak berniat mengejar wanita itu. Namun, ia justru khawatir dengan Rum dan anak-anak yang mendengar suara Murti tadi. "Apa yang ada di pikiran mereka tentang aku sekarang? Aku harus segera mengunjungi anak-anak. Aku masih berharap bisa kembali bersama Rum," gumam Bayu. Di rumah Rum, Zeno masih saja berwajah muram. Ia masih memikirkan tentang ayahnya. Rum sampai bingung bagaimana cara menghibur Zeno karena Zeno memang sudah mengerti tentang keadaan orang tuanya yang berpisah. "Zeno, ayo kita belajar sayang. Ada PR nggak?" tanya Rum di kamar Zeno. Lelaki kecil itu sedang tidur menghadap tembok. "Ada PR tapi udah dikerjain tadi, Bun. Waktu Bunda sama Zaki ke rumah P
Terakhir Diperbarui: 2024-09-16
Chapter: Bab 24 Murti yang Semakin Posesif "Ayolah, Mur. Aku cuma mau minta uang 1 juta. Ini bukan buat Rum, tapi buat Zaki dan Zeno. Aku kangen banget sama mereka. Aku pengin ketemu sama mereka, Mur, tapi aku nggak pegang uang sama sekali sekarang. Pak Hans bilangnya mau transfer bulan ini, tapi nyatanya dia belum bisa dihubungi. Terus temen kamu itu, mana sisa uang pembayarannya? jangan-jangan dia menghilang begitu saja?" tanya Bayu mulai kalut. Dua proyek yang dia pegang sekarang kenapa ada saja sih hambatannya. Padahal dulu waktu sama Pak Darmo hambatannya paling bangunan yang sedikit rusak, cat yang kurang rapi, atau bahan bangunan yang kurang. Dia tak pernah dengar Pak Darmo mengeluh soal masalah uang atau klien. Pak Darmo memang menutupinya atau Pak Darmo beruntung nggak pernah dapat klien seperti itu? Ah tidak mungkin sih, Pak Darmo kan sudah puluhan tahun di dunia proyek begini, pasti ada saja yang nggak beres kliennya. Sial sekali! "Mas mau ketemu anak-anak? Ketemu anak-anak apa ketemu
Terakhir Diperbarui: 2024-09-14
Chapter: Bab 23 Dituduh PelakorRum jadi salah tingkah karena merasa diperhatikan. Ia malu dengan penampilannya yang mungkin terlihat sangat lusuh. Jadi Rum memutuskan untuk mulai mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa ada niatan mengajak bosnya mengobrol. Lalu ia melihat punggung lelaki itu memasuki kamarnya. Ketika ia sibuk mengangkat jemuran, Zaki mulai rewel lagi. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, sudah waktunya bagi lelaki kecil itu untuk menikmati waktu tidur siangnya. Rum celingukan ke sana ke sini, Aji tak keluar lagi dari kamarnya. Ia mungkin juga tertidur. "Sebentar ya sayang, Bunda nyelesain kerjaan Bunda dulu sebentar," rayu Rum. "Zaki mau bobo, Bun. Zaki ngantuk," rengek Zaki. Rum bingung harus bagaimana. Zaki memang sudah terbiasa tidur siang dengan ditemani dirinya. Kalau tidak ditidurkan nanti dia akan bertambah rewel. Tadinya ia berpikir bisa menidurkan Zaki di sofa kalau Mas Aji tidak pulang. Kalau ada Mas Aji begini, Rum tidak enak kalau mau m
Terakhir Diperbarui: 2024-09-13
Chapter: Bab 22 Janda Harus Kerja Beberapa hari setelah kunjungannya ke pesantren kakaknya, ia mendapat kabar baik dari kakak iparnya. Ada seseorang yang membutuhkan jasa membersihkan rumah, dan Rum boleh membawa anaknya kalau mau bekerja. Rum memekik kegirangan, "Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku bisa bekerja." "Alhamdulillah, semoga bisa jadi jalan rezeki untuk kamu ya," sahut Mbak Nara. "Jauh nggak rumahnya, Mbak? Aku bisa pulang pergi naik motor, kan?" tanya Rumaysa. Ia sudah membayangkan kalau mungkin ia bekerja tidak akan setiap hari dan bisa dijangkau dengan motor bututnya. Membersihkan rumah tidak terlalu sulit, mudah-mudahan nanti majikannya juga baik. "Deket. Mbak sudah ngobrol ini sama Mas kamu. Kamu juga kenal. Katanya kamu sudah pernah ke rumahnya," jawabnya. Dahi Rum berkerut, rumahnya pernah ia kunjungi? "Rumah Pak Darmo, Rum." lanjut Nara. Rum memasang wajah bingung, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaanya. Pak Darmo lagi? Kena
Terakhir Diperbarui: 2024-09-12
Chapter: Bab 21 Mencari Pekerjaan "Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai
Terakhir Diperbarui: 2024-09-11
Chapter: Bab 20 Anak Korban Perceraian "Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.
Terakhir Diperbarui: 2024-09-08