[Arina POV]
Sudah jam 10 pagi, tapi aku masih belum melihat kehadirannya di kantor hari ini. Belum ada kabar darinya sejak kami berpisah di kafe sore itu. Bahkan chat dari Ibu yang menanyakan kabarnya, hanya dibalas dengan kalimat 'Saya sedang sibuk'.
Menyebalkan sekali orang ini, namun tetap saja aku merasa ada yang hilang saat dia tidak ada. Ada rindu yang menyesakkan kalbu. Sesekali aku melirik ke pintu, barang kali dia ada pekerjaan di luar terlebih dahulu, jadi terlambat masuk kantor.
"Arin, kamu kenapa?" tanya Santi yang tampaknya memperhatikan diriku yang gelisah sejak tadi. Aku hanya meringis dan menggelengkan kepala.
"Astaga, Arin! Kamu tidak tahu ya?" tanya Santi lagi.
"Tahu apa, San?" aku bertanya balik.
Santi mendekatkan bibirnya ke telingaku lalu berbisik, "Pujaan hatimu pergi seminar ke luar kota, tadi aku sempat dengar B
[Arina POV] Langkahku lebih ringan saat memasuki ruangan kerjaku kembali. Memang konflik yang ku alami dengan pria blasteran Timur Tengah dan Antartika (orangnya kadang panas, kadang dingin sih) itu belum nampak ujungnya, namun setidaknya akar permasalahannya sudah jelas. Membuat perhitungan dengan dia urusan belakangan. Sekarang tinggal berjuang menahan rasa rindu. Benar juga kata Dilan bahwa rindu itu berat. Aku nggak kuat, tapi nggak ada yang membantu aku menanggungnya, gimana ini, Mas Dilan? Kamu sih cuma mau menanggung rindu untuk Mbak Milea. Rinduku saat ini sudah seperti lagu jadul milik Ratih Purwasih yang sering didengarkan oleh Ibu. "Rindu rindu rindu tapi benci jua...," tanpa sadar aku menyenandungkan lagu itu, tetapi langsung memukuli mulutku karena teman-teman melihatku sambil ber-cie-cie. Gawat! Pikiranku kemana-kemana. Aku malah membuka kartuku sendiri.
[Arina POV] "Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita...." "Ibuuu, kita ini lagi bersih-bersih rumah ya, bukan berkebun. Dari tadi lagunya cangkul cangkul melulu," omelku demi mendengar lagu Menanam Jagung yang sudah lebih dari sepuluh kali dinyanyikan oleh ibuku sepagi ini. "Banyak tikus di rumahku, gara-gara kamu, malas bersih-bersih...," senandung ibuku, sudah berganti lagu akhirnya. "Ini juga lagi bersih-bersih, Bu. Lagian di rumah kita mana ada tikus?" "Ada kok. Tikusnya suka ngambil makanan dari dalam kulkas," ucap Ibu. "Tikus mana bisa buka kulkas, Bu," protesku lagi. "Yang ini bisa kok, tikus kepala hitam. Hehehe." Eh, busyet! Tikus kepala hitam! Ibu lagi nyindir aku yang memang lagi doyan makan beberapa hari terakhir ini. Biasalah kalau lagi stres tuh rasanya pingin m
[Arina POV] Aku berjalan meninggalkan Andre dengan senyum culas di wajahku. Aku menanti Andre memanggilku, tak rela jika aku pergi dan menolaknya, tapi aku tak jua mendengar suaranya. Apakah terjadi sesuatu kepadanya? Jangan-jangan dia diculik oleh Tuan Plankton dan dijadikan babu? Halah! Hatiku mulai terasa berat, aku menghentikan langkahku. "Aaarkkhh," geramku pada diriku sendiri. Mengapa rencanaku tidak pernah berjalan lancar kalau itu menyangkut dia? Mungkin karena rencanaku jahat kali ya. Aku menoleh ke belakang lewat pundakku. Dia masih berdiri santai di sana dengan dua lengan menyilang di dadanya, tak berpindah satu titik pun. Aku membalikkan badan. Senyumnya melebar saat melihat diriku memandangnya dengan kesal. Ternyata aku baru berjalan sekitar delapan atau sembilan meter dari dia. Padahal tadi aku merasa sudah berjalan sangat jauh dan menanti dia memanggilku begitu lama. Mungkin hatiku memang tidak bisa jauh dari dia. "Kok kamu nggak manggil aku sih?" tanyaku kesal. K
[Arina POV] "Hati yang berbunga pada pandangan pertama...." "Oh, Tuhan tolonglah, Arin cinta Andree...." "Hahaha... Ibu kenapa ikutan nyanyi sih?" "Biar lagumu cepat selesai. Sudah hampir jam delapan itu." "Serius???" Aku melihat jam dinding di kamarku. Astaga!! Jam delapan kurang seperempat. Waduh, bagaimana ini? Lima belas menit lagi 'Teng!' jam kerja kantor dimulai. Aku tidak pernah terlambat masuk kantor, kecuali aku ada pekerjaan di luar dari pagi. Dengan tergesa aku menyelesaikan dandananku, menyemprotkan parfum, mengenakan jaket, dan mengambil tasku. "Hpmu ketinggalan ini." "Eh, iya. Hehehe. Makasih, Bu. Berangkat dulu ya," pamitku pada Ibu yang memandangku sambil geleng-geleng kepala. "Kalau lagi kasmaran memang begitu ya, mandi saja satu jam, danda
[Arina POV] Dengan tenang Andre mengambil buket bunga mawar yang sudah hancur itu dari tanganku, lalu menarikku keluar ruangan. "Ikut aku, yuk," ajaknya lembut. Masih menahan rasa kesal aku mengikutinya. Andre mengajakku ke pantry. Pak Paino yang sedang duduk manis di sana sambil mendengarkan radio sedikit kaget sewaktu melihat kami, terutama setelah melihat raut mukaku yang berantakan. "Duduk sini, Sayang," kata Andre setelah menyiapkan satu kursi untukku. Aku pun menurut dan duduk. Dia mengambil satu gelas dan mengisinya dengan air putih. "Minum dulu ya," katanya lagi. "Nggak haus," jawabku, tapi aku tetap menerima dan meminum air putih itu sampai tandas. Andre terkekeh, lalu mengambil kursi lagi dan duduk di sebelahku. Andre merangkulkan tangannya di pundakku, dan menepuk-nepuk lenganku. "Sabar ya. Orang sabar disayang pa
[Arina POV] Semenjak hari itu Cici seolah memutuskan untuk tidak berurusan denganku maupun Andre, kecuali untuk urusan pekerjaan, itu pun hanya formalitas. Selebihnya dia menolak untuk berakrab ria dengan kami. Lama kelamaan aku justru merasa kasihan padanya, dia seolah menutup diri. Entah apa dia masih merasa kecewa soal Andre yang berpacaran denganku, atau mungkin dia merasa malu karena ketahuan memfitnah aku dan Andre, namun gengsi untuk meminta maaf. Tindakan Andre menahan Pak Paino agar tetap bersama kami sewaktu di pantry kala itu, ternyata keputusan yang tepat. Pak Paino menjadi saksi bahwa kami tidak bermesraan apalagi berciuman seperti tuduhan Cici. Teman-teman yang lain jadi tahu kebohongannya. Mereka mencoba memaklumi, tapi Cici malah jadi semakin menutup diri. Beberapa kali aku coba mendekati dia, aku ingin mengajaknya bicara, tapi dia selalu menghindar. Aku tidak ingin masalahnya
[Arina POV] "Gedubrak!" Aku terbangun karena mendengar suara kesibukan di rumah. Matahari sudah terang, tidak mungkin ada pencuri sepagi ini. Lagi pula daerah kami relatif aman. Jadi, pasti Ibu yang menimbulkan suara ini. Aku meninggalkan tempat tidur untuk mencari tahu kebenarannya. Aku melihat Ibu sedang berkemas-kemas. Wah, ada apa gerangan? "Ibu mau pergi kemana?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih mengantuk. "Eh, Arin. Maaf Ibu nggak bangunin kamu. Semalam ada telepon dari bulikmu (tante), katanya nenek sakit, jadi Ibu diminta datang," terangnya sembari mengemas baju ke dalam tas. Kebiasaan ibuku ini kalau berkemas memang tidak pernah tanpa suara ribut. Entah, maksudnya apa, mungkin biar didengar tetangga. "Apa? Nenek sakit apa, Bu?" tanyaku lagi kali ini dengan perasaan sedikit panik. Setahuku nenek cukup sehat sebagai orang tua, termasuk kategori Neli malahan, Nenek Lincah. Jadi berita tentang sakitnya nenek cukup mengejutkan. "Nggak tahu, bulikmu nggak bilang. Pali
[Arina POV] Orang-orang di kantor sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, saat aku masuk ruangan. "Hai, halo, selamat pagi, Mbak Rere, Mas Fajar, Mas Iwan, Santi," sapaku mengabsen teman-teman satu per satu. Ternyata mereka belum lengkap. "Selamat pagi, semuanya," Andre ikut menyapa. "Pagi juga." "Hai, San," aku tersenyum pada Santi. Dia mendongak dan balas tersenyum. "Kalian hobi banget ya couple-an gitu, cie." Aku tidak menanggapinya. Ternyata Santi sudah melihat baju kembaran kami. Untung cuma Santi yang lihat, bukan wartawan gosip. "Eh, Cici kok belum nampak?" Aku mempertanyakan ketidakhadiran Cici. "Kangen ya? Kehilangan? Atau justru lega karena musuhmu nggak kelihatan?" seringai Santi. "Hush! Jangan gitu, aku nggak merasa musuhan sama siapapun." M