Share

4

“Tidak mau.”

Gavin merebahkan dirinya di atas sofa yang baru saja ia duduki untuk menemui tamunya. Ia akan duduk dengan sopan jika tamu yang berkunjung adalah warga desa yang lebih tua darinya, tapi tidak jika di depannya gadis yang meminta untuk di antar tiba-tiba pada jam menjelang malam begini.

“Tapi, aku punya jas mu. Kau tidak mau jas berhargamu kembali?” ancam Naya yang masih tidak mau menyerah untuk membujuk laki-laki menyebalkan di hadapannya. Gavin langsung saja terduduk dengan ekspresi wajah kaget.

“Oh benarkah?!”

Tapi, sedetik kemudian wajahnya kembali menunjukkan kedataran seperti biasa. “Aku tidak peduli, toh aku bisa membuatnya lagi. Kehilangan satu jas tidak akan membuatku mati,” ujarnya, lalu kembali merebahkan tubuhnya. 

“Oh, tentu saja kau akan mati jika jas itu tidak kembali,” suara Daisy terdengar mengancam dari arah dapur. “Kenapa? Bukannya kau malah terbantu dengan mengambilkan jas baru untuk ku? Kau punya kesempatan ke kota menemui kekasih –“

Belum lengkap kalimat laki-laki itu, Daisy membekap mulutnya dengan serbet kotor dari dapur. Baunya dapat dipastikan tidak karuan. “Aku sudah dua kali ke kota karena kau kehilangan jas. Meskipun itu menguntungkan untuk ku tapi tidak juga. Mengerti?”

Naya yang menyaksikan percekokan itu hanya menghela napasnya. Sudah berapa menit ia habiskan waktunya disini? Memang ia disambut dan disuguhi dengan baik oleh Daisy, tapi tidak dengan Gavin yang mengulur waktu ketika ia tahu siapa yang mengunjunginya.

“Pokoknya kau harus mengikuti apa syarat Naya, untuk mendapatkan jas mu kembali. Titik.”

Daisy melepas bekapannya dan berlalu menuju dapur, sementara Gavin berusaha menghilangkan bau serbet kotor itu dari hidungnya. “Ck, baiklah. Akan kuantar, tapi aku punya syarat lain,”

“Apa itu?”

***

Jalanan terlihat sangat sepi. Tidak ada bedanya antara pagi, malam, ataupun siang disini. Selalu saja terlihat kosong dan suasananya terlalu tenang. Terkadang, yang mengisi jalan raya besar ini hanyalah truk bermuatan. Itupun bisa di hitung jari perjamnya ada berapa yang melintas.

“Kenapa tiba-tiba ke kota?” 

Pertanyaan Gavin memecah keheningan dari lima belas menit yang lalu di dalam mobil. Selama itu gendang telinga mereka hanya di isi alunan musik radio yang samar. Gadis itu menoleh pada Gavin sebentar lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke arah jalanan yang sepi.

“Hanya memastikan seseorang tidak membuangku,”

Gavin tidak merespon lagi setelah pertanyaannya terjawab. Ia juga bukan tipe orang basa-basi, yang mau tahu detail masalah seseorang. Jari tangannya bergerak memencet tombol volume radio. Lagu yang tadinya samar-samar terdengar, sekarang lirik dan nadanya menjadi jelas. Lagu itu adalah lagu anak-anak.

“Ha? Kenapa jam segini ada radio yang memutar lagu anak-anak, sih? Aneh.”

“Jangan diganti. Biarkan saja. Aku suka lagu itu,”

Gavin mengurungkan niatnya untuk mengganti saluran radio. Sesekali ia memandang wajah Naya sembari menyetir. “Dasar aneh. Kenapa kau suka lagu dengan lirik aneh seperti itu? Makan sayuran biar kuat~” ujar Gavin sembari menjelek-jelekkan nada di salah satu liriknya.

“Dasar, apa saat kau kecil tidak pernah di putarkan lagu anak-anak? Makannya selera musik mu buruk,”

“Apa?! Hey, aku tahu lagu Twinkle-Twinkle Little Star. Lagu yang lebih enak di dengar nadannya daripada lagu sayuran itu!”

“Jangan-jangan hanya itu yang kau tahu? Pfft.”

Naya tidak bisa menahan tawanya yang sudah diprediksikan akan meledak, setelah melihat ekspresi bodoh di wajah Gavin. Sementara yang diledek, seperti biasa hanya memberikan tatapan datarnya dan fokus ke jalanan yang kosong.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di kota. Bukan kota tempat Naya tinggal. Kota ini sangatlah kecil, dan merupakan kota yang paling dekat dengan desa yang ia tinggali sekarang.

Mereka berdua memutuskan untuk singgah di cafe yang menyediakan layanan internet secara gratis. Tanpa melihat daftar menu yang disediakan pelayan, Naya langsung mengeluarkan ponselnya dari tas dan menyalakannya. Sementara Gavin sibuk memesan apa yang ingin ia pesan, tanpa memedulikan gadis di hadapannya.

Berbagai notifikasi masuk dari aplikasi yang berbeda-beda. Notifikasi paling banyak ada pada aplikasi chatting. Dimulai dari grup yang ia buat dengan sahabatnya hingga pesan spam dari ibunya, dan nomor tidak dikenal.

Naya mengernyitkan keningnya. Kenapa orang asing bisa tahu nomornya. Pesan yang dikirim oleh orang itu hanyalah ‘Nay’. Tangan lentik gadis itu buru-buru melihat foto profil nomor tidak dikenal tersebut. 

Laki-laki dengan rambut hazel dengan iris berwarna biru laut yang indah. Ia sempat berhenti sejenak, mengagumi betapa indahnya iris yang dimiliki laki-laki itu. Mengingatkannya pada Gerald yang terpajang di kamarnya. 

Karena terlalu asyik, tiba-tiba layar ponselnya menunjukkan ada panggilan masuk. Dari nomor tak dikenal itu. Refleks saja gadis itu membanting ponselnya di atas meja. Membuat Gavin yang sedang menulis sesuatu di note nya berjengit.

“Kau ini kenapa sih?!”

Naya menempelkan jari telunjuknya di bibir, lalu menunjuk ponselnya. Gavin langsung mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang masih setia bergetar. Nomor tak dikenal terus menghubungi.

Tanpa pikir panjang, Gavin mengambil ponsel itu dan menggeser tombol hijau untuk menjawabnya.

“Kau gila?! Kembalikan!!” ujar Naya setengah berbisik agar yang diseberang tidak mendengar suaranya, tapi Gavin malah menjauhkan tubuhnya.

“Pemilik ponsel ini sedang sibuk. Jadi jangan menelponya”

“...”

“Tidak, dia tidak mau berbicara.”

“...”

“Iya, itu aku.”

“...”

“Tidak akan. Selamat tinggal,”

Setelah selesai dengan pembicaraannya yang sangat singkat, Gavin memencet tulisan blokir pada nomor tak di kenal tadi dan mengembalikan ponselnya di depan Naya. “Kenapa seenaknya mengangkat telepon orang?!!”

“Kau enggan mengangkatnya, jadi aku mengangkatnya, lalu memblokirnya. Kau harusnya berterima kasih padaku, bukan?”

“HAH?! Kau tidak bicara yang aneh-aneh kan padanya? Aku bahkan tidak tahu siapa dia –“

“Kalau tidak tahu, ya sudah. Kenapa kau harus tahu?” ujar Gavin sembari melanjutkan tulisannya diatas note nya.

Naya hanya bisa mendesis sebal pada laki-laki yang ada di hadapannya. Ia memilih untuk membalasi chat dari sahabatnya dan menghubungi kakaknya. Tapi, sebelum ia melakukan itu, Naya memutuskan untuk membuka chat dari ibunya yang memiliki notifikasi paling banyak. Jari Naya menscroll dari atas hingga bawah, dan isi chatnya semua hanyalah omelan dengan tulisan kapital.

Tapi, ternyata ada pesan satu lagi.

Gambar seorang laki-laki.

Wajah laki-laki yang sama dengan foto profil nomor tak dikenal tadi.

‘Ini calon tunanganmu. Namanya Kian. Cepat pulang, Ibu tahu kau menghindari Ibu dan pura-pura mempunyai proyek dengan kakakmu!!’

***

Sedarinya kembali dari kota, Naya menuruni tangga yang menuju rumahnya dengan tatapan kosong. Ia pulang sendirian, jalanannya sangatlah gelap karena lampu yang ada hanya terdapat di depan rumah Naya saja.

Kemana Gavin? Kalian tahu bahwa laki-laki itu tidak akan melakukan lebih, seperti harus melewatkan asramanya terlebih dulu hanya untuk mengantar Naya pulang. 

Oh, ya, Naya baru mengetahui bahwa di desa ini ada dua jalan masuk, yang pertama adalah tangga di depan rumah Naya dan yang kedua jalan yang yang di khususkan untuk akses masuk kendaraan seperti mobil yang harus menempuh jarak sekitar lima ratus meter dari tangga lalu berbelok ke tanjakan tak ber aspal. Pantas saja Tian tidak mengetahui jalan kedua ini, karena ia bercerita sudah lama sekali ia tak berkunjung ke desa ini.

Omong-omong tentang Tian, kakak laki -laki Naya itu tidak bisa di hubungi sama sekali. Hal yang sama juga terjadi saat Naya hendak menanyakan keberadaan Tian pada Yera. Kekasih kakaknya itu juga sama tidak bisa di hubungi. 

Apakah benar ia di buang?

Naya tidak tahu. Ia hanya bisa berpikir positif bahwa Tian benar-benar membantunya. Skenario terburuk yang ia pikirkan dari semua ini adalah sang ibu yang tahu keberadaannya dan akan menjemputnya.

Angin malam bertiup cukup kencang malam ini, membuat daun-daun yang menggantung di ranting pohon beradu.

Sejujurnya Naya takut harus pulang sendirian, tapi rasa takutnya kalah dengan rasa penasarannya tentang laki-laki yang berstatus calon tunangannya.

Manik laki-laki itu nampak tak asing.

Cring!

Naya terkejut ketika ada makhluk berambut lebat yang menempel pada kakinya. Suara bel berwarna emas yang dikenakan di lehernya terdengar nyaring, dan sedikit mengkilap terkena sinar bulan malam ini. Sosoknya nyaris tidak kelihatan.

“Loh? Bukannya kau kucingnya Si Sialan itu? Kemana pemilikmu?” Ujar Naya sembari mengelus bulu hitam Muffin.

“Si Sialan itu disini. Kau tidak lupa kan dengan syaratnya?”

Gavin muncul dari anak tangga paling atas. Terlihat ia menenteng koper yang cukup besar dan tas punggug. Ia mendatangi Naya dan langsung menyerahkan kopernya. “Nih, bantu aku untuk pindahan,”

“Hei, kau setuju untuk pindah besok kan? Kenapa hari ini? Ini sudah malam, aku mau tidur!” Ujar Naya sebal. Demi pusar Gavin, kenapa laki-laki ini bertindak seenaknya. Siapa yang melahirkan dirinya yang bisa sangat menyebalkan seperti ini?

“Jangan banyak tanya. Nanti kau juga tahu,”

“Ck! Setidaknya nyalakan lampu mobilmu untuk menerangi tangganya,”

“Membuang energi itu tidak baik. Aku tidak akan melakukannya,”

Naya benar-benar kewalahan menghadapi manusia seperti Gavin. Ia langsung turun menuju anak tangga yang ke lima puluh, dimana gerbang rumahnya berada. Muffin mengikutinya dengan ceria, terdengar dari suara bel kecil yang terdengar di setiap langkah gadis itu. Seperti tidak sabar masuk kedalam rumah.

Sebenarnya, alasan mengapa Gavin membawa semua barangnya kesini adalah untuk pindah. Ia membuat perjanjian dengan Naya, bahwa laki-laki itu akan mengantarkan Naya kemanapun dengan syarat ia bisa tinggal di halaman rumahnya. Aneh memang, kenapa harus di halaman rumah? Naya tidak mau ambil pusing dan juga ia merasa lega karena tidak harus membersihkan kamar tidur yang satunya. Awalnya Naya tidak setuju harus mengizinkan orang asing seperti Gavin tinggal di serumah dengannya, tapi karena laki-laki itu mengincar halaman depan rumahnya, ya sudah.

Toh, ia malah mendapat supir pribadi.

Setelah beberapa menit mondar-mandir untuk memindahkan barang Gavin dari mobil, mereka duduk bersandar di dinding air mancur dengan keringat yang tidak usah di tanyakan seberapa banyak. Rasanya sampai Naya ingin mandi.

“Kenapa kau bawa semua barang, sih? Kupikir kau akan meletakkan sebagiannya di asramamu,” 

“Tadinya begitu, tapi Daisy terlanjur mengusirku. Ia sudah menyiapkan semuanya di depan asrama ketika aku baru saja memarkir mobilku,”

Pertanyaan Naya di awal terjawab. Daisy mungkin sudah sangat muak tinggal se-asrama dengan laki-laki sejenis Gavin ini. Bagaimana dengan Naya nanti? Ia berharap semuanya baik-baik saja meskipun kelihatannya sulit. Daisy juga orang yang paling bersemangat kala mendengar perjanjian mereka berdua.

“Boleh aku bertanya?”

Gavin hanya diam sembari memainkan kaki Muffin yang empuk. Pandangannya menatap datar pada Muffin. “Kenapa sedari dulu tidak tinggal di sini?”

“Aku mau, tapi tidak bisa. Tidak ada yang menjual rumah ini, jadi setiap hari aku menunggu pemiliknya, sembari bermain disini,” ujar Gavin.

“Ah, begitu. Sebenarnya, aku juga tidak tahu ini rumah siapa. Aku kemari untuk sembunyi,”

Gavin menautkan alisnya, “Sembunyi?”

“Ya, kau tak perlu tahu alasannya. Aku akan memasak untuj makan malam, tata barang-barang mu dengan benar di dalam tenda nanti. Terimakasih untuk air mancurnya,”

Naya pergi kedalam rumah meninggalkan Gavin yang masih setia bersandar pada dinding air mancur. Lengkungan senyum tipis terlukis di wajahnya.

“Lagian, siapa yang ingin tahu juga. Iya, kan, Muffin?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status