Namanya Hasan Wicaksana, nama yang di berikan oleh kedua orang tuanya. Arnando Wicaksana adalah nama ayahnya, dan Azkia Indira Putra adalah nama ibunya.
Keluarga Wicaksana adalah keluarga angkat dari ibuku yang mengidap penyakit kejiwaan alias gila. Keluarga inilah yang sebelumnya di sakiti ibuku, Aisyah.
Ah, bahkan aku tak ingin menyebutnya sebagai ibuku. Mengingat bagaimana kejahatannya dulu, aku pun menjadi dampak cemohan semua orang. Tapi, walaupun begitu aku tetap menyayanginya, menyayangi dirinya sebagaimana rasa hormat anak pada ibunya. Apalagi jika mengingat dia adalah wanita yang telah mengandungku selama sembilan bulan sepuluh hari dan melahirkanku dengan segenap jiwa dan raganya.
Ibuku mengalami depresi berat akibat impian dan rencana liciknya yang berniat menghancurkan rumah tangga bunda Kia dan ayah Nando. Sebab ibuku mencintai ayah Nando, dan karena itulah ibuku berniat memisahkan mereka dengan cara merebut ayah Nando.
Tapi, sepintar dan selicik apapun rencana kotor ibuku, pada akhirnya tidak akan pernah tercapai. Malah dia yang harus berakhir mendekam di dalam rumah sakit jiwa.
Kondisinya pun semakin tidak terkendali ketika aku mengunjunginya untuk pertama kali. Saat itu umurku masih lima tahun, dan alangkah sedihnya aku ketika ibu tidak mengenaliku dan bapak.
Hingga setelah itu aku memutuskan untuk tidak ingin menemuinya, karena ku pikir percuma saja jika aku datang mengunjunginya. Toh, ia juga tak mengingatku sebagai puterinya, anak yang telah di lahirkannya.
Lucu sekali jika menginginkan dia mengingatku dan bapak. Nyatanya ibuku hanya akan selalu meracau dan menjerit memanggil nama 'Nando!'
Tapi, aku tak pernah menyalahkan semua ini karena ayah Nando. Itu murni kesalahan ibuku yang terlampau begitu obsesi padanya.
Justru aku malah berterima kasih sekali pada keluarga itu yang telah mau menampungku, memberikan pekerjaan yang layak untuk bapak. Tak tanggung-tanggung bahkan mereka membiayai sekolahku dari TK sampai SMA.
Aku tidak melanjutkan pendidikanku lagi sebab aku merasa tak ingin membebani mereka. Tapi, sepertinya mereka tidak menerima penolakanku dan kembali membujukku untuk melanjutkan pendidikan.
Aku tetap menolak dan malah meminta pekerjaan, karena saat itu aku memang sudah sangat ingin bekerja.
Syukurlah ayah Nando mengabulkan permintaanku meski dengan membujuknya mati-matian tapi setidaknya usahaku tidaklah sia-sia.
Sejak saat itu aku mulai bekerja di perusahaan milik keluarga Wicaksana. Aku bekerja di bagian OG, karena memang aku yang memintanya padahal ayah Nando sudah menawarkanku untuk bekerja di bagian yang lebih nyaman dari posisi OG.
Aku menolaknya, tentu saja, karena aku lebih menyukai pekerjaan yang ku jalani ini.
Tahun demi tahun yang ku jalani terasa begitu indah, namun tidak untuk setelah itu. Sebab dua tahun terakhir ini aku menjadi budak seorang pria muda akibat kesalahan yang tak sengaja ku perbuat.
Slave Hasan Wicaksana.
Ingatlah selalu posisimu itu, Ayesha!

***
"Awhh!" ringisku menahan perih ketika Hasan menarik tanganku kuat.
Entah apa salahku kali ini hingga membuat dia begitu marah. Aku juga tidak tahu entah kemana dia akan membawaku pergi setelah dia menyeretku paksa dari keramaian orang banyak.
Padahal tadi sebelumnya Hasan yang mengajakku untuk ikut bersamanya menghadiri sebuah pesta orang kaya. Ralat, sebenarnya bukan mengajak, tapi memaksa.
Acara pesta itu tak hanya kami saja yang datang menghadiri. Kedua orang tua Hasan dan papa Dava beserta mama Airaa juga turut hadir dan larut dalam meriahnya pesta.
Aku tidak tahu apa penyebab yang membuat dia marah, karena aku pun juga larut menikmati pesta. Hingga pada saat datangnya seorang pria tampan yang menghampiriku disaat Hasan tengah berbincang dengan salah satu kliennya yang juga turut hadir di acara pesta itu.
Pria yang menghampiriku itu langsung mengajakku berkenalan. Tentu saja aku mau, sebab pria itu terlihat sopan dan tak melihatku dengan tatapan mesum. Tak seperti tatapan pria-pria lainnya yang sedari awal secara terang-terangan menatapku mesum seolah ingin menerkamku dan memakanku habis.
Lewat perkenalan itu yang aku tahu sekarang nama pria itu adalah Miko. Dia pria yang ramah dan murah tersenyum, baru saja kami ingin mengobrol lebih akrab soal kehidupan kami namun tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram bahuku. Tubuhku seketika menegang merasakan cengkeraman kuat itu.
Tak perlu mendongakkan kepala untuk melihat orang tersebut karena aku tahu siapa yang sering melakukan itu padaku.
Hasan menyuruhku untuk bangkit berdiri dari dudukku, dan tanpa aba-aba ia langsung menarik lenganku cukup kuat. Aku masih sempat menoleh sekilas ke arah Miko yang tampak heran melihatku yang di tarik paksa begini, langkahku pun terseok-seok akibat mengikuti langkah kaki Hasan yang panjang dan lebar.
"Masuk!" titah Hasan setelah kami sampai di tempat parkiran, ia menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Dengan masih mengatur napasku yang ngos-ngosan pun aku mematuhinya.
Hasan masuk di kursi kemudi setelahnya, dia menoleh ke arahku kemudian berdecih.
"Aku bisa sendiri!" kataku menepis tangannya yang hendak memakaikan saefty belt untukku.
Segera saja langsung ku kenakan safety belt ku, ia hanya diam dan tanpa berkata apapun lagi langsung menghidupkan mesin mobilnya.
Mobil melaju dengan sangat kencang, aku bahkan sampai harus berpegangan erat saking merasa takutnya. Hasan sangat mengerikan jika dalam keadaan seperti ini, lihatlah, bahkan cara menyetirnya gila sekali.
Setan sekalipun kalah jika di bandingkan dengan sikap Hasan yang tengah marah seperti ini.
"Apa kau ingin mati?!" teriakku saat sudah tak tahan lagi berada di dalam mobil yang sedang berpacu ngebut-ngebutan di jalanan pada malam hari begini.
Sungguh! Aku tidak mengerti dirinya, aku rasa dia juga mengidap penyakit kejiwaan alias gila seperti ibuku. Ya, mungkin, besok aku harus mulai membicarakan kondisi psikis dan mental Hasan.
Dan ku harap semoga dia memang mengidap penyakit kejiwaan, aku sangat mengharapkan dia gila agar langsung di seret ke rumah sakit jiwa selamanya. Lalu aku akan terbebas dari ikatan hubungan gila yang membelenggu ini.
"Cukup menjadi budakku saja, jangan pernah mencoba menjadi jalang untuk pria lain. Ingat itu!" ucapnya yang langsung menohok ulu hatiku.
Setetes cairan bening mengalir turun dengan derasnya di susul tetesan demi tetesan lainnya. Rasanya begitu sakit, budak dan jalang?
Kedua kata yang sangat aku benci, dua kata yang selalu ku dengar apabila ia marah meledak-ledak.
Aku tahu dan bahkan sangat sadar jika selama ini aku menjadi budaknya selama dua tahun terakhir belakangan ini.
Aku bisa mengembuskan napas lega ketika pada akhirnya mobil berhenti, uji nyali menantang maut tadi telah berakhir. Oh, syukurlah!
"Turun!" titahnya tak ingin di bantah.
Karena tak ingin membuatnya tambah marah aku pun menurutinya dengan turun dari mobil juga. Hasan membawaku ke apartemennya, ia kembali menarikku dengan kasar masuk ke dalam lift.
"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku setelah ia selesai memencet tombol angka sepuluh dan lift pun berjalan.
"Menurutmu?" Hasan balik bertanya.
"Aku muak dengan semua ini!" ucapku mengeluarkan segala unek-unekku selama ini.
"Muak?" ulangnya, "kalau begitu kau bisa mengadu semua yang terjadi pada kita ke orang tuaku."
"Brengsek!" umpatku kesal.
Ia tertawa dan aku sangat tahu jika tawanya itu adalah sebuah ejekan untukku. Hasan tahu betul jika aku tidak akan mampu untuk mengadukan semua ini pada bunda Kia dan ayah Nando.
"Kenapa? Kau takut?" tanyanya mengejek.
Aku diam, tak ingin menjawab pertanyaannya yang jika aku jawab malah akan semakin membuatku kesal.
Ting.
Suara dentingan lift yang menandakan jika kami telah sampai di lantai apartemen Hasan. Ia kembali menarik tanganku untuk mengikutinya.
"Bersiaplah untuk menerima hukumanmu." katanya terdengar begitu menyeramkan.
Oh Tuhan, jangan lagi! Ku mohon!

Part bonus.Ayesha terlihat lelah dan kini memilih kembali berbaring di ranjang, siang ini sudah kali ketiganya ia mandi membersihkan diri dari lengketnya sisa-sisa percintaannya dengan Hasan.Suaminya itu seperti orang kesurupan yang gak pernah ada kata lelah menggempur dirinya. Hampir seminggu ini mereka terus 'melakukan itu' jika ada kesempatan. Tak mempedulikan dimana tempat Hasan terus menggodanya dan merengek meminta jatah.Pagi, siang, sore hampir selalu mereka isi dengan desahan dan erangan. Jadilah siang ini Ayesha merasakan tubuhnya lelah luar biasa, tulang dan sendinya seakan remuk tak bersisa."Hentikan, Mas. Aku sangat lelah!" lirih Ayesha berusaha mendorong tubuh Hasan yang sudah bertengger nyaman menindih tubuhnya.Hasan tertawa namun tetap tak ingin beranjak dari atas tubuh Ayesha. "Capek banget ya sayang?"Ayesha mengangguk, "bangetlah. Habisnya tenaga
Tepat setelah satu bulan pernikahan Davira dan Haikal, keluarga Wicaksana menyelenggarakan acara pernikahan Hasan dan Ayesha.Semua persiapan sudah dilakukan secaraepikdan mantap, yang tentu saja kemewahan tetap terasa kental dalam acara tersebut. Nando bersikeras ingin melakukan yang terbaik dan termewah untuk pernikahan putranya, semua ini sebagai hadiah dan juga kenang-kenangan terindah untuknya. Menyaksikan sendiri pernikahan sang anak dengan Ayesha yang memang sudah lama menjadi impiannya.Sejak Hasan lahir, Nando sudah mengklaim pada dirinya sendiri bahwa putranya kelak yang akan menjadi jodoh Ayesha. Doanya terkabul dan ia sangat senang sekali, apalagi perjalanan kisah cinta Hasan dan Ayesha tidaklah mudah. Terlalu banyak drama dan duka yang mengiringi perjalanan asmara mereka.Lamunan Nando buyar saat seseorang menepuk pelan pundaknya, ia menoleh dan menemukan sosok besannya yang hari ini terlihat
Ayesha terhenyak kaget begitu mendengar kata-kata yang meluncur mulus keluar dari mulut bapaknya. Menikah? Satu hal yang tak pernah Ayesha duga jika bapaknya menyuruh sekaligus memberikan izin untuk Hasan menikahinya?Sungguh? Hah, yang benar saja! Ayesha lagi tak sedang bermimpi 'kan?Dan bukan hanya Ayesha saja disini yang kaget. Tetapi, Nando dan Hasan pun gak kalah kagetnya. Dan jangan lupakan bagaimana ekspresi terkejut ayah dan anak itu."Ridwan, benarkah ucapanmu itu?" tanya Nando melangkah masuk ke dalam kamar itu. "Kamu tidak sedang bercanda ataupun mempermainkanku dan putraku 'kan?"Ridwan menggelengkan kepala mantap, "aku serius dengan ucapanku. Memangnya kenapa? Kok kalian seperti tidak percaya begini?" Ridwan menatap mereka dengan pandangan bingung, apakah ada yang salah dengan ucapannya barusan?Hasan bergerak cepat bang
Hasan berjalan mengendap-endap seperti maling saat hendak ke kamar yang sekarang ini di tempati Ayesha, kamar yang dulu sering di tempati Ayesha saat tinggal di kediaman keluarga Wicaksana.Selama seminggu lebih ini Ayesha dan Ridwan menginap di rumah keluarga Wicaksana, dan rencananya siang nanti kedua orang itu memutuskan untuk pulang.Klek.Satu keuntungan bagi Hasan atas kecerobohan Ayesha untuk yang satu ini, sebab Hasan sangat hafal dan tahu betul jika Ayesha jarang menutup pintu kamarnya saat tidur.Mendapatkan kesempatan emas seperti ini tentu saja Hasan tak menyia-nyiakannya, dengan langkah riang yang disertai senyuman kebahagiaan yang tampak terbit menghiasi wajahnya.Hasan menatap lekat wajah Ayesha yang tertidur damai dalam jarak sedekat ini, perlahan tangannya terulur menyentuh surai panjang nan hitam yang terasa sangat lembut itu.Ayesha menggeliat kecil m
Ridwan meradang mendengar pengakuan putrinya yang bercerita tentang penghianatan Adnan yang begitu teganya berselingkuh dengan wanita lain.Ia sungguh tak percaya jika Adnan ternyata juga seorang pria berengsek, yang sialnya selama ini tertutupi oleh sikapnya yang baik bak seperti malaikat pelindung untuk putrinya. Ridwan pikir itu murni sifat alamiah dari diri seorang Adnan, namun nyatanya hanya kepalsuan belaka.Ridwan benci, kesal, dan marah. Ya, tentu saja. Orangtua mana yang tak marah jika ternyata selama ini anaknya hanya di permainkan dan terus-menerus dibohongi."Sini," ucap Ridwan merentangkan kedua tangan kekarnya lebar-lebar sebagai kode untuk Ayesha agar memeluknya.Tentu saja Ayesha langsung menerima pelukan bapaknya yang terasa begitu hangat dan nyaman. Apalagi ditambah sebuah kecupan yang mampir di puncak kepalanya secara beruntun. Ayesha mendongakkan kepalanya menatap wajah Ridwan yang tersenyu
Ayesha meremas ke sepuluh jari rampingnya yang saat ini saling bertautan, beragam perasaan cemas dan panik berkecamuk dalam dirinya.Bagaimanapun usahanya yang sudah susah payah mencari berbagai alasan agar Hasan tak mengantarkannya sampai ke rumah nyatanya sia-sia. Rupanya pria itu lebih licik sehingga mampu membalas ucapan Ayesha secara telak.Dan, pada akhirnya Hasan telah sampai mengantarkan Ayesha tepat di depan rumah wanita itu.Hasan mengamati rumah baru Ayesha yang tampak lumayan mewah, tidak se-sederhana seperti rumahnya yang dulu."Bagus," ucap Hasan tiba-tiba, reflek Ayesha menoleh padanya dengan mata berkedip berulang kali. "Uhm, maksudku rumah barumu bagus. Dan juga cantik."Mendengar itu Ayesha menjadi malu, ia pikir pujian bagus dan cantik itu ditujukan untuknya namun nyatanya tidak. Hmm, sepertinya Ayesha terlalu berha
"Kenapa menatapku seperti itu?!" hardik Hasan merasa risih sekaligus kesal dengan tatapan Ayesha padanya."Tatapanmu seolah menunjukkan bahwa kau tengah melihat hantu saja." dengkus Hasan benar-benar tak suka dengan tatapan Ayesha.Mendengar itu Ayesha memalingkan wajahnya tak ingin melihat ke arah Hasan lagi. Pria itu terlalu cerewet dan berisik, telinga Ayesha terasa kebas dan panas mendengarnya."Hei, kenapa kau cuek? Aku sedang bicara padamu," Hasan menyentuh lengan Ayesha langsung segera menepisnya."Pergi!" sentak Ayesha mengusir Hasan."Tidak, aku tidak akan pergi meninggalkanmu disini sendirian." tolak Hasan menggelengkan kepalanya, "apalagi di jalanan sunyi seperti ini. Oh, tidak akan aku meninggalkanmu."Mungkin jika wanita lain yang mendengar ucapan manis Hasan in
Pagi ini Ayesha memutuskan untuk menemui Adnan di apartemen milik pria itu saja. Setahu Ayesha, Adnan jarang pulang ke rumahnya dan lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen sama seperti Hasan.Astaga! Ayesha mengumpat dalam hati, disaat seperti ini bisa-bisanya ia malah kepikiran si berengsek Hasan.Tidak, Ayesha harus bisa mengenyahkan Hasan dari pikirannya sejauh mungkin. Dan sekarang Ayesha harus fokus pada Adnan, pria itu mungkin saja memang sedang marah padanya.Ayesha sebenarnya juga merasa bersalah karena belakangan ini kurang perhatian pada Adnan, dan malah lebih mementingkan lamunan konyol yang selalu memikirkan pria berengsek itu. Sungguh bodoh! Tak seharusnya ia memikirkan pria lain disaat seorang pria yang berstatus tunangannya itu lebih penting dan lebih berarti setelah kedua orang tuanya.Ayesha tersenyum sumringah menatap bangunan unit apartemen, ia langsung segera masuk ke dalam li
Aahhh.Suara desahan saling bersahutan itu terdengar memenuhi seisi ruangan kamar bernuansa putih tersebut. Kamar milik seorang pria di sebuah apartemen mewah miliknya.Adnan tampak begitu bersemangat menghujamkan miliknya ke lembah sempit nan hangat milik wanita bayaran itu, atau yang biasa di panggil dengan sebutan jalang favorit Adnan.Ya, favorit karena Adnan selalu meminta jasa berupa tubuh dan tenaga wanita itu untuk memuaskannya. Dengan kata lain, wanita tersebut berhasil membuat Adnan kecanduan akan dirinya. Tidak, pada tubuhnya. Padahal Adnan adalah tipekal pria yang mudah bosan, sekali pakai buang alias tidak ada kata yang kedua, ketiga, dan seterusnya.Tapi, dengan Maya? Lihatlah! Adnan seperti tak pernah puas akan tubuh montok itu. Tubuh yang saat ini tengah di gagahinya dengan sangat buas, panas dan liar."Oh, fu*k!" Adnan mengumpat dengan keras, persetubuhan mereka memang se