Share

Part 03 - Playboy vs Playgirl

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore hari waktu setempat, ketika akhirnya Dereck –sang pemimpin pangkalan Pearl Harbor– harus mengakhiri tour singkatnya bersama sang putri kesayangan untuk menunjukkan situasi dan kondisi di tempatnya bekerja sekarang.

Ini adalah kali pertama Alexia atau biasa dipanggil Lexy, mengunjungi sang ayah di Hawaii. Sekaligus berlibur tentunya, karena selama ini gadis manis berdarah campuran Amerika-Perancis itu sedang menempuh jalur pendidikannya di salah satu Universitas ternama di California— Universitas Stanford, untuk menyelesaikan Magister Bisnis Administrasinya.

Kembali ke ruangan sang ayah yang berada di sebuah kapal induk, Lexy ditinggal beberapa saat karena sang ayah ada keperluan mendesak.

Ruangan seorang laksamana ternyata cukup luas. Desainnya juga cukup futuristik tanpa meninggalkan gaya klasik yang selalu ayahnya usung untuk setiap desain interiornya. Membuat ruangan besi itu menjadi lebih hangat juga nyaman. 

Terutama pada bagian pembatas kaca tebal yang langsung menghadap ke bagian depan kapal. Bisa dia lihat daratan dari tempatnya sekarang. Bahkan netranya dapat menangkap deretan marinir yang sedang berjejer rapi sambil berlari di sekitar pelabuhan. Sungguh pemandangan yang jarang sekali dapat ditemukan.

Melihat para pria berseragam itu, bayangan Lexy teringat pada pria yang ditemuinya tadi siang. Pria yang sama saat ia temui di New York— yang menjadi bahan pikirannya dalam beberapa hari ini, dan yang tak pernah ia lupakan sejak perkenalan pertama mereka.

Dalmore.

Lexy menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ala wanita kasmaran karena mengingat sosok tampan dan lucu itu. Tingkah pria yang ditemuinya di New York itu teramat membuatnya gemas, juga penasaran. Kemudian paling tak disangka adalah … si pria jenaka itu ternyata seorang angkatan. Sangat mengejutkan!

Pantas saja sang Dalmore mempunyai badan yang sangat bagus juga proporsional. Jangan lupakan kharismanya bak seorang pemimpin. Ternyata itu semua didapatkan pria itu dengan pelatihan di militer. Membuat Lexy semakin kagum akan sosok Daxon Seth Rainer.

“Daxon …,” gumam Lexy dengan senyuman yang tak bisa luntur bila mengingat sosok itu, “siapa sangka takdir mempertemukan kita lagi,” kekehnya, kemudian mengambil sebuah teropong yang tergeletak di meja kayu di depannya.

Lexy tahu bila benda berwarna hitam itu adalah milik ayahnya. Mungkin untuk memantau latihan para bawahannya dari atas. Tak heran bila ayahnya sangat ditakuti juga disegani, karena sang ayah sangat disiplin dan terkenal mempunyai banyak mata. 

Sehingga tak heran kesalahan apapun dan insiden apa saja yang terjadi dalam teritori kekuasaannya, pria tua itu akan tahu. Maka dari itu tak ada yang berani membuat kesalahan sedikit pun ataupun membangkang. Itu karena sang komandan tak segan-segan memberi hukuman bahkan pencopotan jabatan.

Meneropong ke arah daratan, Lexy melihat banyak kegiatan dari atas; para pasukan dengan pakaian harian lapangan yang sedang berlarian, sekelompok marinir berbaju putih yang sepertinya sedang sibuk melatih para trainning, dan suasana pelabuhan yang ramai bila dilihat dari kacamata teropongnya.

Bergeser ke samping kanan, iris biru gadis itu tak sengaja menangkap dua sosok tak asing yang sepertinya baru beberapa jam lalu bersapa dengannya; duo Rainer brother. Sepertinya dua pria itu akan meninggalkan dermaga, karena seperti yang Lexy lihat; Raven dan Daxon menuju ke arah parkiran kendaraan.

Oh, God. I wanna to talk to you again, Dalmore. Please, look at me ....” 

Walaupun terdengar gila, Lexy berharap pria beriris hazel itu berbalik menatapnya. Lalu sesuatu tak disangka pun terjadi.

Dalmore aka Letnan Daxon Seth Rainer ME-NA-TAP-NYA. Sekali lagi ME-NA-TAP-NYA.

Demi Flying Dutchman yang masih bergentayangan di seluruh penjuru lautan, Lexy memekik tertahan tatkala melihat senyuman hangat pria yang ia temui tadi siang— seolah mendengar suara hatinya, Daxon berbalik menatapnya. It's magic.

Shit!” Lexy menjauhkan teropongnya, lalu tertawa sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan, “What the hell is it,” ucapnya tak percaya.

Belum rasa kejutnya hilang, suara pintu ruangan tempatnya berada terbuka, hingga Lexy terlonjak dari posisinya berdiri.

Dad!” pekik Lexy hingga teropong yang ia pegang hampir tergelincir dari tangannya.

Dereck pun ikut terkejut dengan pekikan sang putri. “Oh, I'm sorry, sweety. Apa Dad mengejutkanmu?”

Lexy menghela napasnya agar kembali dari rasa kejutnya. “It's okay, Dad. Hanya sedikit terkejut.”

Dereck mengangguk. Kemudian berjalan ke arah mejanya untuk mengambil sesuatu dari dalam laci yang ternyata sebuah kunci. Lalu beralih ke tiang gantungan dimana sebuah jas tersampir untuk diambil.

Come on, sweety. Dad akan mengantarmu pulang,” ajaknya pada sang anak yang sedang meletakkan teropong yang biasa ia pakai ke tempat semula.

“Oh, okay. Kita dapat pergi sekarang,” jawab Lexy riang lalu mendekat pada sang ayah, dan menggandeng sebelah tangan yang tak tersampir jas itu erat, “Let's go home!”

Dengan sayang, Dereck mengecup puncak kepala anaknya dan tersenyum hangat kepada buah hatinya yang sangat ia cintai itu. 

“Kau terlalu cepat besar, baby girl,” ucap sang ayah, yang tentu saja mendapat racauan dari anak gadisnya.

***

Setibanya di area parkir. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, bisa Lexy lihat Daxon dan kakaknya yang ternyata belum meninggalkan pangkalan dan masih berada di pelataran. Kedua kakak- beradik itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria berseragam yang juga sangat tak asing di matanya. Sepertinya pria bermata sipit itu pernah bersama Daxon di kelab yang mereka datangi dulu.

Begitu Lexy dan ayahnya tiba di mobil mereka. Ketiga marinir itu tampak memberi hormat pada sang Ayah, yang tentu saja dibalas dengan sebuah anggukan.

Hanya berjarak beberapa meter, letak antara mobil sang Ayah dengan kedua Rainer brother itu. Memudahkan Lexy untuk mencuri pandang ke arah Daxon, yang nyatanya juga memerhatikannya sedari awal. Pria itu sadar akan atensi si pirang itu.

Lexy boleh besar kepala, karena pria tampan yang menurutnya sangat seksi itu juga tertarik padanya. Sama seperti dirinya dari awal bertemu. Lantas kini … rasanya ingin sekali Lexy menghampiri  Daxon. Mungkin mengajak Letnan yang satu itu untuk bersenang-senang di pantai Wakiki akan terdengar menyenangkan.

Namun, seperti menghindar, Daxon membuang mukanya kemudian berbalik membelakangi Lexy. Hal itu cukup membuat seorang Alexia kecewa. Menganggap bahwa Daxon tak menyukainya. Berpikir … mungkin pria itu marah padanya soal sindiran tadi siang.

Sure if he's angry, batin Lexy.

“Masuklah, sweety. Tempat ini sudah tak aman untukmu.”

Dereck membukakan pintu mobil klasiknya untuk sang putri, dan menggiringnya segera untuk masuk.

Tentu ucapan ayahnya tadi membuat tanda tanya besar di kepala Lexy. Apa maksud dari pernyataan tadi?

“Tidak aman?” tanya Lexy begitu duduk di jok penumpang depan dan menghadap sang ayah yang sedang memasang sabuk pengaman.

“Ya,” jawab singkat Dereck, “dan pakai sabuk pengamanmu juga, baby girl. Polisi Hawaii sangat tidak suka dengan pelanggar berkendara.”

Lexy mengikuti ucapan ayahnya; memasang sabuk pengaman dan duduk manis. Kemudian bertanya lagi tentang hal yang mengganjal tadi.

Dad bercanda soal ketidak-amanan tadi. Bagaimana bisa ada yang ingin melukaiku? Apalagi aku adalah anak seorang Laksamana. Yang benar saja.” Lexy tertawa menanggapi kekhawatiran ayahnya.

Menyalakan mesin, Dereck kemudian cepat-cepat mengendarai mobilnya agar segera keluar dari area parkir. Terutama dari pangkalan di mana markas besarnya berada.

Saat melewati ketiga pria berseragam itu, Lexy mengedarkan matanya untuk melihat sosok Daxon. Berharap pria itu juga melihatnya.

Saat mata mereka bertemu, sebuah batas memisahkan pandangan keduanya, yaitu kepala sang Ayah. Kemudian jarak pun mengambil segalanya. Daxon dan Lexy kembali harus terpisah. 

Setelah keluar dari pos penjagaan, barulah Dereck menjawab pertanyaan putrinya. “Dad tidak suka para pria marinir itu memerhatikanmu. Apalagi bila pria itu Daxon. Dari tatapannya saja, Dad bisa tahu bahwa dirinya sangat menginginkan putri kecilku yang berharga. Dad takkan membiarkan serigala liar sepertinya mendekatimu. Never!”

Lexy tercengang mendengar ucapan sang ayah yang terdengar sangat panjang, cemburu dan ada nada protektif di dalamnya. Biasanya sang Ayah sangat tenang dan pendiam. Kini berubah absurd hanya karena seorang pria melirik anak perempuannya. Sungguh lucu sekali.

Kini Lexy tahu mengapa Daxon tadi mengacuhkannya. Itu karena ayahnya. Sepertinya begitu.

Lexy tertawa melihat ayahnya yang ternyata masih lanjut dalam ocehannya menjelek-jelekkan Daxon. Sepertinya diantara mereka berdua ada dendam pribadi.

“Daxon itu pria yang semena-mena dengan aturan, tidak disiplin, juga pemberontak. Suaranya juga sangat mengganggu. Paling rusuh saat di barisan dan kurang ajar seperti tadi pagi. Dad tidak ingin kau bergaul dengannya. Dia mempunyai pengaruh yang buruk. Tidak sepertinya kakaknya, Raven. Pria itu sangat berwibawa, bijaksana juga pintar dan sopan,” terang Dereck pada sang anak

Ayahnya yang berucap, Lexy yang sesak napas mendengarnya. Ternyata ibunya benar soal sang ayah; Dereck Halbert D'Ryan adalah pria dengan penuh kejutan. Terbukti hari ini Lexy menemukan lagi satu sifat ayahnya yang menurutnya sangat lucu.

Cemburu.

“Tapi Daxon sangat lucu, Dad. Dia pria yang humoris,” sanggah Lexy menjahili Ayahnya dengan berbalik membela Daxon.

Spontan Dereck menginjak pedal remnya kuat. “What?!” Menatap horor ke arah putrinya.

“Oh, My God. Dad! Kau hampir mencelakakan kita,” pekik Lexy yang tubuhnya terguncang karena rem dadakan tersebut.

Dereck tersadar dengan apa yang dilakukannya, sangat berbahaya untuk putri semata wayangnya. Ia meminta maaf dan kembali menyetir kembali dalam diam.

Namun, rupanya hanya beberapa menit saja Ayahnya terdiam. Setelahnya memperingati Lexy lagi untuk tidak berdekatan dengan Daxon.

“I'm sorry, baby girl. Dad tak bermaksud membatasi pergaulanmu, tapi kali ini dengarkan Dad agar tak bergaul dengan Rainer yang satu itu. Terserah kau jika ingin mendekati kakaknya tapi tidak adiknya. Please …,” ucap Dereck dengan nada lembut kali ini.

Wajah Lexy berubah sedikit tidak nyaman, kemudian bertanya pada sang Ayah. “Selain alasan-alasan itu tadi, apa yang membuat Dad bersikeras agar aku tak berhubungan dengan Daxon? Aku tahu Dad tak pernah menaruh benci begitu dalam pada seseorang sebelumnya.”

Dereck melirik putrinya sekilas. “Kau yakin ingin tahu mengapa Dad sebenarnya tak mengizinkanmu dekat dengannya?” 

Lexy mengangguk dengan pasti. “Yup! Pasti ada alasan sesungguhnya dibalik itu semua, bukan? Let me know, Dad!”

Dengan terlebih dahulu menghela napas, Dereck menjawab, “Itu karena Daxon adalah playboy.”

Respon berikutnya, Lexy hanya bisa merutuk di dalam hati. Meratapi kepolosan ayahnya yang sangat tidak cocok dengan wajah sangarnya.

Oh, My God, Daddy. Bukankah wajar seorang pria tampan adalah pemain. Bukankah kita hidup di abad ke dua puluh satu? Daddy bahkan tidak tahu kalau putri kecilmu ini nyatanya juga adalah seorang playgirl. Badgirl. Poor you, Dad!

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status