Share

Part 02 - Rainer Brother

            Raven Seth Rainer terdorong untuk mengatakan permintaan maaf atas kelalaiannya mendidik sang adik -Daxon- yang kembali membuat ulah saat upacara rutin pagi tadi. Ia dengan sadar diri, sering melupakan tugasnya sebagai seorang kakak yang menjadi tanggung jawab Daxon dalam keluarga setelah kepergian ayah mereka.

            Di ruangan seorang Laksamana, berjejer berbagai penghargaan dan bendera kebangsaan serta bendera angkatan laut. Tertata rapi di belakang kursi kebesaran Dereck. Semua itu terlihat jelas pada kedua netra biru milik Raven yang duduk di hadapan Dereck—seorang komandan yang sudah dianggap seperti ayahnya itu.

            Seakan telah memahami kedua watak Rainer bersaudara, Dereck mengajarkan keduanya secara tegas sesuai dengan surat wasiat yang diberikan sahabatnya yakni; ayah dari kedua Rainer.

            “Sekali lagi aku sungguh meminta maaf sebagai kakaknya, karena lalai mendidiknya untuk lebih displin, Sir. Kuharap kau tak mengeluarkannya dari sini,” pinta Raven.

            Kekehan terdengar dari bibir seorang Dereck yang merasa lucu akan kedua sifat Rainer brother yang sangat bertolak belakang.

            “Sudahlah, aku tak mendendam dengan adikmu. Dia hanya perlu diberikan sedikit hukuman kecil agar bisa memperbaiki dirinya lagi. Apalagi kini ia memiliki pasukannya sendiri.” Dereck menanggapi dengan santai.

            “Terima kasih jika kau memaklumi, Sir. Mungkin memang aku terlalu keras menuntutnya. Aku akan bicara baik-baik padanya nanti,” ujar Raven mendapat anggukan dari Dereck yang mengerti.

            “Kalau begitu, aku tak akan mengganggu waktumu lagi, Sir. Aku pamit undur diri untuk—” Suara ketukan menghentikan ucapan Raven yang baru saja berdiri dari duduknya.

            “Masuk,” kata Dereck.

            “Hey, Dad!” seru suara lembut seorang wanita yang membuat Raven tertegun menatap sepasang kaki mulus yang melangkah masuk ke ruangan pimpinannya.

           “Hey, sweety, kenapa kau tidak menelepon jika sudah sampai? Dan bagaimana kau bisa tiba di ruanganku?” tanya Dereck.

            Raven terdiam di sisi meja Dereck, enggan beranjak karena ia belum benar-benar pamit. Ia memilih diam di sudut yang hampir tak terlihat oleh putri komandannya.

            “Aku diantarkan Letnan Rainer, Dad. Oh, aku belum ucapkan terima kasih!” seru Alexia, “Letnan, Rainer … kenapa kau di depan saja? Masuklah,” pinta Alexia.

            Seketika pandangan Dereck dan Raven menoleh ke arah pintu dimana Daxon berdiri kaku di sana.

            Tamatlah riwayatmu, Dax! Kau akan ditenggelamkan ke tubin laut atau yang terparah …, terdampar di Bikini Bottom  jika putri Laksamana ini mengadukan semua umpatanmu pada Ayahnya! rutuk Daxon dalam hati. Ia tersenyum miris sambil melangkah ragu memasuki ruangan Laksamananya.

            “Well, terima kasih sudah mengantarkanku ke tempat ayahku,” ujar Alexia.

            “Ya, bukan apa-apa. Lagipula aku sekalian ingin melapor bahwa tugasku sudah selesai,” ujar Daxon. Berdiri tegak di samping Raven.

            Dereck mengangguk mengerti. Sementara putrinya terlihat menatap geli kepada Daxon yang seketika berubah menjadi kaku seperti habis menatap mata medusa, hingga membuatnya mematung di depan Ayahnya. Padahal sebelumnya ia mengejek sang komandan sedemikian parah.

           “Oh ya, Dad. Saat perjalanan ke tempatmu ini, aku mendengar bisik-bisik seseorang yang mengumpatimu,” celetuk Alexia. Melirik Daxon yang menatap cemas ke arahnya.

            Please …, don't say anything, Sexy lips! Atau aku akan membuat perhitungan pada bibirmu! Daxon mengancam dalam hati. Tentu saja dia tak akan berani mengatakannya langsung saat ini.

            “Apa yang mereka katakan, Xia?” tanya Dereck.

            “Aku kurang yakin. Tapi, ada satu kalimat yang sangat mengganggu. Orang itu mengatakan bahwa kau adalah pemimpin yang menyebalkan dengan hidung besar,” adu Alexia.

            Sambil melirik Daxon yang membulatkan mata kepadanya, kemudian menunduk ketika tatapan Dereck ikut menatap ke arahnya.

            “Benarkah?” tanya Dereck mengerutkan keningnya sambil melirik putrinya.

            Alexia mengalihkan tatapannya dari Daxon dan sepenuhnya menatap sang Ayah.

            “Ya, aku tak mungkin salah dengar. Dan tentu saja orang itu bukan Letnan Rainer yang berkata demikian, karena bahkan dia juga mendengarnya. Bukan begitu, Letnan?” tanya Alexia kembali menatap Daxon yang seketika terkejut dan mendongakkan kepalanya.

            “Hah? Yes, Sir, tetapi saya tak begitu mendengarnya. Nona D’Ryan yang mendengarnya dengan jelas.” Daxon menjawab dengan tatapan lurus ke depan. Mempertahankan wajah kakunya.

            Sementara sang kakak -Raven- menelisik raut wajah mencurigakan dari adiknya, mencoba hendak menyela untuk membawa pergi sang adik.

            “Maaf menyelamu, Sir. Aku rasa kami harus kembali ke tempat kami. Bolehkah kami pamit undur diri?”

            “Ya, silahkan, jika memang tidak ada keperluan lain. Terima kasih,” ujar Dereck.

            Lalu Rainer brother memberi hormat sebelum mereka meninggalkan ruangan komandannya.

            Aura mencekam menguar dari dalam diri Raven. Dengan pandangan mata setajam elang sambil berjalan tegap memimpin di depan— ia mengarahkan tujuannya ke dek kapal paling atas. Ada pembicaraan khusus antara adik dan kakak itu yang harus mereka lakukan perihal kelakuan minus Daxon yang sangat tidak beretika.

***

            Sepasang kaki berbalut sepatu boots khusus seorang marinir itu, menapaki undakan tangga besi yang membawa mereka pada akhirnya, ke bagian atas. Raven tanpa menoleh sudah tahu bila adik lelakinya itu terus mengikuti langkahnya tanpa berani kabur ataupun berontak. 

            Begitu kedua pasang kaki itu menapaki pijakan kayu di atas kapal, semilir angin laut menerpa kulit wajah keduanya yang memang terbilang di atas rata-rata. Bahkan beberapa marinir yang melihat mereka, mengakui dalam hati akan ketampanan Rainer brother itu.

            Sepanjang keduanya menuju ujung kapal, tak hentinya sapaan hormat dilayangkan para marinir muda yang sedang bertugas di sana. Bersikap sopan kepada atasan mereka yang grade-nya sudah jauh diatas. Walaupun kedua kakak-beradik itu sama-sama memegang jabatan sebagai letnan, akan tetapi mereka berbeda tingkatan. Tentu saja Raven jauh lebih tinggi pangkatnya dibandingkan Daxon yang baru saja menjabat sabagai letnan muda.

            Sesampainya di ujung kapal yang langsung menghadap ke lautan biru, keduanya berhenti, dan untuk beberapa saat terdiam merasakan angin laut yang kencang seakan menerbangkan pakaian mereka bersama burung-burung pantai. 

            “Kau tahu kesalahanmu, Letnan Daxon Seth Rainer?” Raven membuka percakapan mereka. Tanpa berbalik, pria yang lebih tinggi daripada adiknya itu memandang jauh ke seluruh lautan.

            Daxon mengerti akan sikap formal yang dilakukan saudaranya itu, ia menjawab selayaknya sang bawahan kepada atasannya dengan tegas; mengakui benar dirinya bersalah.

            “Ini bukan kali pertama kau melakukannya, Dax.” Kali ini Raven berbalik. Menyorot ke arah wajah pucat Daxon yang masih mencoba tenang dan bersikap sopan. 

            Daxon tahu ini pembicaraan serius. Raven takkan menyebut nama lengkapnya bila ia tak benar-benar marah. Salahnya yang sudah menyalakan sumbu kompor. Daxon siap menerima sanksi tegas dari sang kakak. Apalagi kata-kata sadis yang biasa terucap sarkas dari bibir merah alami milik Raven.

            Raven mendekat dan berdiri di hadapan adiknya. Menatap lekat pada iris yang sama dengan milik ibu mereka. Jujur saja, Raven iri melihat hazel milik adiknya yang menurutnya sangat terlihat ramah juga hangat. Tidak seperti biru lautnya yang tampak dingin, meski banyak yang berkata bila dirinya akan diberkahi dengan umur yang panjang.

            “Maaf.” Daxon berkata lirih. Hampir tak terdengar karena desau angina, tetapi Raven bisa menangkap pergerakan bibir adiknya itu dengan jelas.

            “Simpan maafmu, Letnan Daxon. Mulai detik ini kau tak perlu mengkhawatirkan atau meresahkan tugas-tugasmu,” tegas Raven.

            Membuat tanda tanya besar di hati Daxon, akan tetapi sebelum ia bertanya, Raven mendahuluinya. Pria bermanik biru itu maju, menepuk kedua bahu sang adik dan berkata, “Tanggalkan seluruh atributmu dan pulanglah ke New York. Kau bisa bebas sekarang.”

            Kemudian Raven kembali berbalik ke arah lautan. Menggenggam pembatas besi di depannya, tanpa bersuara lagi. Membiarkan Daxon mematung dalam keadaan syok. Hanya matanya yang mengerjap tak percaya, karena indera pendengarnya dirasa seketika tuli.

            “Se- seriously, Rav?! Kau pasti bercanda, bukan? It's not funny!”

            Daxon mengerang frustrasi dengan bahu yang tak lagi tegap. Kakinya melemas dan juga rasa kecewa serta amarah menyelimutinya. Bagaimana bisa candaan kecilnya menjadi petaka besar baginya? Bahkan ia terancam keluar dan melepas pangkatnya. 

            “Tidak! Aku tidak bisa melepas semua atributku,” elaknya panik, “aku tidak bisa keluar secara tidak hormat begini.”

            Namun, Daxon tak mendapati tubuh sang kakak berbalik untuk memberi penjelasan lebih, atau melakukan penghiburan baginya. Itu semakin memperburuk firasatnya.

            Daxon memegang kepala dengan kedua tangannya sambil menunduk, ia mencoba berpikir jernih sambil menunggu tanggapan saudara sekandungnya yang sedari tadi hanya diam. Dia pun akhirnya ikut terdiam mencoba merenungi kesalahannya kembali.

            “Rav, I'm so sorry.” Suara lirih Daxon keluar seiring ia kembali mengangkat kepalanya, “aku tidak bermaksud mencela pak tua itu, ehem! Maksudku komandan kita," ralatnya setelah merutuk dirinya sendiri.

            Lagi. Raven tak bersuara. Hanya suara burung, deburan ombak juga desau angin yang terdengar. Membuat Daxon mati kutu dan hanya bisa mengusap kasar wajah frustrasinya. 

            Dia sudah tahu akhir dari sesi pembicaraan ini; bahwa riwayatnya habis sudah. Dirinya benar tenggelam ke dasar Bikini Bottom. Hell! Semudah itukah?

            Kembali menilik ke arah punggung sang kakak. Tubuh itu berguncang hebat. Daxon tidak tahu jika berita pencabutannya akan membuat seorang Raven begitu sedih. Bahkan bisa ia tebak, jika saudaranya itu pasti menangis sekarang.

            Bukankah harusnya ia yang bersedih seperti itu?

            “Rav ….” Daxon mendekat untuk menyentuh bahu saudaranya, “… maaf telah—”

            Daxon terdiam ketika suara tawa terbahak-bahak terdengar lantang dari seorang Raven. Pria tinggi itu berbalik menatap adiknya yang memasang wajah bingung. Raven menunjuk wajah bodoh Daxon dengan telunjuknya sambil melanjutkan tawanya yang terdengar sangat lucu.

            “Tampangmu mirip bintang laut bodoh, bila kau ingin tahu, Dax!” Gelak tawa Raven masih berlanjut diikuti tepukan pada bahu sang adik yang masih tampak bingung dengan apa yang terjadi.

            Jangan bilang Raven dirasuki jin laut? Mengingat mereka kini berada di kepulauan Hawaii yang masih percaya dengan cerita mistis, legenda, mitos atau semacamnya. 

            “It's just a prank, Bro," jelasnya sambil mencoba meredakan tawanya.

            Daxon yang akhirnya paham, mengumpat dan meninju bisep sang kakak. "Sialan kau, Rav! Bercandamu tidak lucu!”

            “Siapa bilang? Buktinya aku menikmati wajah nelangsamu tadi,” balasnya tak ingin kalah.

            Daxon mendengus. “Kau bahkan tak melihatku! Yang kau perhatikan hanyalah lautan.”

            Raven mengedikkan bahunya. “Who knows? Kalau kau ingin tahu, aku melihatmu tadi sebentar. Wajah bodohmu sangat lucu. Sialnya aku lupa mengabadikannya.”

            “Damn ya, Rav! Kau yang terburuk!” umpat Daxon menjauh ke samping.

            Namun, Raven membalas umpatan sang adik dengan mengacak rambutnya, dan berkata, “I love you too, my little Daxie.”

            Setelah berhasil mengerjai sang adik, Raven kini tampak lebih santai untuk diajak berbicara. Ia merangkul sang adik, Raven kembali berujar, “Perbaiki dirimu, Dax. Bersikaplah dewasa. Umur mungkin hanyalah soal angka, akan tetapi apa yang ada di dalam hati dan pikiranmu yang utama.

            “Fokus dengan apa yang menjadi tujuanmu. Ubah cara berpikirmu dan perilaku burukmu itu. Jadilah pria yang bertanggung jawab, disiplin dan mandiri, karena kelak kau akan menjadi seorang pemimpin seperti yang dikatakan ayah. Ingat itu,” sambung Raven mengikuti arah pandang adiknya ke langit biru.

            Daxon menoleh kepada kakaknya; dengan penuh wibawa dan kharisma, Raven berdiri tegap dengan pandangan matanya yang masih menyimpan sejuta misteri. Tak bisa ditebak, adalah gambaran untuk seorang Raven bila mendengar namanya.

            Persis seperti sang ayah yang dulunya adalah seorang Jenderal. Daxon bisa melihat siluet yang sama ketika mereka bersama. Membuat hati Daxon bersyukur karena bisa terus melihat sang ayah pada sosok sang kakak. Mengobati rasa rindunya yang dalam hanya dengan bersama Raven. Maka dari itu, ia sangat menghormati dan menyayangi saudaranya. Bahkan mengikuti jalan sang kakak yang adalah anggota militer.

            “I promise you, Brother,” janji Daxon pada sang kakak, “aku takkan mengecewakanmu lagi,” tekadnya yakin.

            “Kuharap kau tidak kembali lagi ke ruangan paman Dereck, Dax,” ucap Raven mengingatkan. Ada nada geli saat ia berujar seperti itu. 

            Daxon hanya mengangguk. “Yeah, that's my fault. My mouth is my tiger,” desahnya sambil menatap jauh ke arah perairan.

            “Dan jangan menghina seorang ayah di depan anaknya. Atau kau …”

           “Shit! Seriously! Aku tidak tahu bila wanita itu anak si pak tua,” potong Daxon cepat, “dan sialnya dia mengkonfrontasiku juga tadi.”

            Raven kembali terkekeh. “Dia telak menyindirmu, bukan? Untung saja dia tak melaporkan pada ayahnya. Good girl.” 

            Daxon kembali tersudut. Menyesali mulut besarnya yang seperti tak mempunyai daya filter untuk menyaring omongan busuk sialannya yang penuh omong kosong. Tolong ingatkan dirinya untuk bersikap lebih manis sekarang.

            “I swear, Rav. Aku takkan membuat diriku dipermalukan lagi.” Terlebih oleh si gadis berbibir seksi itu, batinnya melanjutkan.

            Raven tersenyum hangat akan tekad sang adik. Menepuk bahu yang ia rangkul dan berkata, “Aku pegang janjimu, Letnan Daxon Seth Rainer, dan berjanjilah juga satu hal lainnya.”

            “Apa itu?” tanya Daxon.

            Raven kembali dengan wajah seriusnya. Ia menatap adiknya, lalu memegang kedua bahu itu dengan sungguh-sungguh. 

            “Bila aku tiada, tolong lanjutkan hidupmu dan jaga keluarga kita. Juga, jangan pernah lupa membawa kompas pemberian ayah. Kemanapun kita pergi tetap bawa benda itu, karena dengan itu kita saling tertaut. Kau mengerti?” 

            Daxon mengangguk. Kemudian meraih sesuatu dari dalam sakunya dan keluarlah rantai berwarna tembaga yang mengikat sebuah kompas sebagai mata kepalanya.

            “Maksudmu kompas ini, bukan?” tunjuknya sambil membuka kompas itu.

            “Ya.” Raven juga mengeluarkan miliknya yang terdapat di saku.

            Daxon tersenyum kecil pada kedua benda yang berada di tangan masing-masing, kemudian pada sang kakak dihadapannya.

            “Rav, jangan biarkan aku menyimpan milikmu, please …,” ucap Daxon masih dengan gaya jenakanya.

            “Then, kita harus mengurus benda ini masing-masing. Bagaimana?” saran Raven dengan kedua alisnya yang bermain.

            Daxon dan Raven tertawa, secara bersamaan mereka menyebutkan kata, “Deal!” Keduanya menjabat tangan, Raven menarik sang adik hingga pelukan hangat tercipta dengan tepukan tegas diberikan pada punggung lebar adiknya. Dibalas Daxon dengan sedikit usapan.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status