Mobil Saka berhenti di depan rumah keluarga Renata. Kepala Renata bergerak lambat menatap rumah yang sudah lama sekali tidak pernah dia lihat. Rumah itu masih sama seperti dulu, membuat hatinya di landa rasa rindu yang membuncah.
Di pangkuannya, Ghea berusaha berdiri. Kedua tangannya menyentuh jendela mobil, ikut menatap ke arah rumah itu. “Ana, Ma?” tanya Ghea.
Renata tersenyum menatap Ghea. “Ini rumahnya Mama, rumah Kakek sama Neneknya Ghea.”
“Nek?” ulang Ghea. “Nek Ocie?”
“Bukan...” Renata tertawa pelan. “Nenek Ayu sama Kakek Herman.”
Kepala Ghea
Saka menyuruh Renata menyusulnya ke sebuah Mal karena dia sedang melakukan pertemuan bisnis di sana dengan seseorang. Karena akhir-akhir ini dia lumayan sibuk dan jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan putrinya, Saka merasa harus pintar mencuri waktu agar dia tetap bisa menghabiskan banyak waktu dengan Ghea. Renata sudah mengiriminya pesan jika dirinya dan Ghea sudah berada di sana, Renata menyuruh Saka menghampiri mereka. Kini Saka berjalan ringan, sesekali menatap jam tangannya. Masih ada waktu sekitar setengah jam untuknya makan siang bersama Renata dan juga Ghea. Ya, hanya makan siang bersama dan itu sudah lebih dari cukup. Saka tersenyum tipis saat menemukan Renata sedang berjalan santai sambil mendorong Stroller milik Ghea. Hal itu membuat Saka bergegas menghampiri mereka. Namun ketika dia melihat Renata berbalik dan tampak bicara dengan seorang lelaki, langkah Saka terhenti. Kedua mata Saka
Setelah dinyatakan sah sebagai istri Saka, tidak sekalipun ada rasa bahagia yang Renata rasakan. Hatinya hanya merasakan kehampaan dan kegelisahan. Bahkan seperti saat ini, dia dan Saka berdiri berdampingan menyalami beberapa tamu yang menghampiri mereka. Renata hanya berusaha memasang senyuman terbaiknya. Sesekali dia menatap Saka, lelaki itu tampak terlihat begitu tenang. Bahkan sejak dia hampir saja memperkosa Renata, Saka benar0benar terlihat tenang seolah kejadian menyakitkan itu tidak pernah terjadi. Jujur saja, Renata masih tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah menjadi istri Saka. Dia... tidak mencintai Saka. Tidak sekalipun ada Saka di dalam rencana hidupnya selain lelaki itu hanyalah seorang Ayah bagi putrinya. Kebersamaan mereka selama tiga tahun ini memang terbilang cukup baik untuk Ghea, namun tidak untuk mereka berdua. Yang mereka lakukan selama ini hanyalah demi Ghea, slaing berkompromi demi Ghea, berusaha
Tidak terasa, pernikahan itu sudah berada di bulan kedelapan. Pernikahan yang terasa benar-benar hambar, tanpa rasa, tanpa cinta bahkan tanpa kenyamanan. Saka semakin jauh dari jangkauan Renata. Sekeras apa Renata berusaha menggapainya, berusaha meraihnya mendekat agar setidaknya mereka bisa menikmati pernikaha itu dengan perasaan nyaman dan tenang. Namun, setiap kali Renata mendekat, maka Saka akan pergi menjauh. Tidak ada obrolan ringan seperti biasanya, tidak ada lagi kebersamaan antara Saka, Renata dan Ghea. Tidak ada lagi tawa ketika mereka melihat tingkah lucu putri mereka. Saka akan membawa Ghea ke kamarnya jika dia ingin bermain dengan putrinya. Ketika Ghea ada bersama Renata, maka dia akan segera menyingkir. Entah lah, Renata bahkan tiak tahu mengapa Saka harus menikahinya jika yang dia inginkan adalah saling berdiam diri seperti ini. Dan yang lebih parah lagi, akhir-akhir ini Saka ce
“Mba Sandra ini... sahabatnya Saka, ya?” tanya Renata memulai pembicaraan. Dia melakukannya agar mereka tidak hanya saling berdiam diri. Namun tubuh Sandra tampak sedikit menegang ketika di tanya seperti itu. “Hm... iya.” Jawab Sandra. “Pantesan,” gumam Renata, matanya menatap lurus ke depan. “Saka itu nggak percaya banget kalau harus nitipin Ghea ke orang lain. Selain Mamanya, dia nggak pernah kasih izin siapa pun menjaga Ghea. Karena Mba sahabatnya, makanya Saka bisa percaya.” Perlahan, Sandra menoleh menatap Renata. Dia mengamati wajah cantik Renata yang sendu. “Saka itu sayang banget sama Ghea, jadi sikapnya sedikit berlebihan.” Kekeh Renata. “Kalau sama kamu?” tanya Sandra. “Ya?” “Saka... juga sayang kan sama kamu?” Pertanyaan itu membuat wajah Renata tampak gamang, ada kesedihan yang terbaca melalui wajahnya meski setelah itu Renata kembali menguasai
“Saka...” Renata memanggil Saka setelah mengetuk pintu kamarnya. Namun tidak ada sahutan. Melirik jam tangannya, Renata mengernyit. Sudah hampir pukul delapan pagi, tapi sejak tadi Saka tidak keluar dari kamarnya. Saat ini weekend, tapi Saka tidak pernah bangun terlambat sekalipun dia tidak bekerja. Bahkan biasanya di jam seperti ini dia sudah sibuk mengganggu Ghea agar bangun setelah mengusir Renata keluar dari kamarnya. Terkadang hal itu membuat Renata tersenyum geli di tengah keresahannya dalam hubungan mereka yang tak tentu arahnya. Renata kembali mengetuk pintu kamar Saka, namun lagi-lagi tidak ada sahutan. Karena cemas, Renata memutuskan membuka pintu itu. Tidak ada Saka di sana. Bahkan tempat tidurnya masih terlihat rapi. Renata mengernyit bingung, apa mungkin Saka pergi? Tapi kenapa pagi-pagi sekali? Menemui Bi Ambar, Renata bertanya. “Bi Ambar, tadi ketemu sama Saka nggak?”
“Mau apa?” tanya Saka, suaranya terdengar dingin hingga membuat hati Renata membeku menyakitkan mendengarnya. Renata mengepalkan kedua tangannya, kedua matanya memerah sempurna. Sekali aja dia berkedip maka air matanya akan lolos begitu saja. “Kamu... nggak pulang.” Hanya itu yang bisa Renata katakan. Sesaat, Saka hanya diam. Namun setelah itu menghela napas malas. “Pulang, Nata, aku sibuk.” “Sayang,” wanita itu berbisik di telinga Saka. “siapa sih cewek ini?” Wajah Saka menoleh ke samping, menatap perempuan itu. “Bukan siapa-siapa.” Jawabnya. Tubuh Renata semakin melemas mendengar ucapan yang menyakitkan itu. Bukan siapa-siapa... Renata bukan siapa-siapa bagi Saka. Bahkan setelah dia mengatakan hal itu, Saka menutup pintu kamarnya tanpa menghiraukan Renata di sana. Renata tersenyum patah. Lelaki yang dia cemas itu nyatanya sedang bersenang-senang dengan salah
Renata bergegas menemui Bi Ambar, menyuruhnya membawa Ghea ke taman di belakang rumah. Kemudian, Renata bergegas menemui Saka di kamarnya. Tanpa mengetuk atau permisi lebih dulu, Renata membuka pintu kamar itu begitu saja. Saka sedang melepas satu persatu kancing kemejanya saat pintu itu terbuka. Dia manatap Renata dengan wajah datarnya, lalu berpaling begitu saja dan melangkah santai menuju kamar mandi. "Kamu selingkuh." Langkah kaki Saka terhenti, lalu dia mendengar tarikan napas tercekat Renata di belakangnya, membuatnya memutar tubuh untuk menatap Renata. Renata mengepalkan kedua tangannya, menatap Saka penuh tuntutan. "Apa yang kamu lakukan dengan wanita itu di hotel. Kalian..." kedua mata Renata membendung telaga yang siap tumpah detik itu juga. "Memangnya... kenapa kalau aku selingkuh?" Saka melangkah perlahan menghampiri Renata, berdiri tegak dengan tatapan dinginnya yang menusuk. Kepalanya sedikit merunduk hingga dia bisa berbisik di telinga Renata. "bukannya
Tidak ada ketenangan. Itu lah yang Saka rasakan selama satu minggu terakhir ini. Semenjak dia memaksa meniduri istrinya, tidak sekalipun Saka merasa ketenangan dalam kesehariannya. Setiap kali dia melihat wajah sedih Renata, usahanya untuk bisa tersenyum pada Ghea, membuat Saka merasa kalau dirinya benar-benar berengsek. Apa lagi ketika malam setelah kejadian itu terjadi, Saka melihat Renata yang berjalan dengan cara yang tidak nyaman dan hal itu membuat Saka sadar jika apa yang dia lakukan bukan hanya berhasil melukai batinnya, bahkan fisik Renata pun ikut terkuka olehnya. Kini Saka duduk termangu di kursi kerjanya. Semua pekerjaannya benar-benar tidak dia hiraukan sejak tadi. Lamunannya selalu saja mengarah pada Renata dan semua hal kejam yang telah Saka lakukan padanya, Demi membalaskan dendam, Saka sengaja menjerat Renata untuk terus berada dalam jarak pandangnya, memastikan Renata selalu berada di sisinya. Lalu, rencananya untuk