Share

Saka

Saka merasa menang saat ini. Kerapuhan Renata membuat pekerjaannya lebih mudah untuk menjalankan rencananya. Renata sedang bersedih sekaligus kebingungan, dia seperti butuh sebuah pegangan dan tentu saja Saka siap memberikannya. Ya, apa pun akan Saka lakukan demi membuat rencananya berjalan dengan baik.

            Seperti saat ini, Saka berhasil meminta Renata untuk tinggal di rumahnya. Saka bilang, mereka bisa merawat kehamilan Renata bersama-sama. Tadinya Renata ragu karena selain dia baru mengenal Saka, mereka juga tidak mungkin tinggal bersama tanpa status seperti ini.

            Tapi lagi-lagi Saka berhasil meyakinkan Renata jika ini adalah yang terbaik. Lagi pula, Renata tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang setelah keluarganya sendiri sudah mengusirnya dan tidak ingin lagi memiliki hubungan dengannya.

            Saka sudah mengetahui semuanya. Semua yang terjadi pada Renata, apa yang di alami Renata, segala hal yang menyangkut tentang Revan, semuanya telah Saka ketahui.

            Renata lah yang menceritakan semua itu padanya.

            Dengan bersimbah air mata, Renata menceritakan semua masalah dalam hidupnya dengan penuh rasa sakit seolah-olah rasa sakit itu telah lama terpendam dalam hatinya. Ketika itu, Saka hanya mendengarkan dalam diam, sesekali menggenggam jemari Renata ketika dia melihat wanita itu kesulitan untuk mengeluarkan suaranya yang tercekat.

            Saka tidak tahu mengapa dia melakukan itu. Padahal, dia sangat membenci wanita di hadapannya itu, tapi, setiap kali melihat ekspresi tertekan di wajah Renata, hatinya mencelos begitu saja.

            Meski dia sangat membenci Renata, namun, Saka pun tahu seperti apa Renata sebenarnya. Dia hanyalah perempuan polos dan baik yang sayangnya dibutakan oleh cinta hingga tidak menyadari ada begitu banyak cinta yang lebih besar di sekelilingnya.

            Dan setelah mengetahui segalanya, Saka semakin lihai memainkan perannya untuk menjerat Renata dalam rencananya. Kini, Renata telah setuju untuk tinggal bersama Saka hingga dia melahirkan nanti. Bahkan Renata menurut ketika Saka memintanya untuk resign dan hanya menetap di rumah.

            Renata lagi-lagi menyetujuinya karena memang dia tidak mungkin kembali bekerja dalam keadaan seperti ini. Apa kata orang jika tahu dia sedang hamil padahal tidak pernah menikah.

            Hanya sampai dia melahirkan.

            Itu lah syarat yang diberikan Renata untuk keputusannya tinggal bersama Saka dan juga resign dari pekerjaannya. Saka menyetujuinya, meski dia bersumpah kalau semua ini tidak akan berhenti meskipun setelah Renata melahirkan nanti.

            Saka tersenyum miring, senyumannya terlihat kejam menatap pantulan dirinya melalui cermin. Dia sedang memakai jasnya sambil memikirkan betapa mudahnya semua ini terjadi.

            Selesai dengan pekerjaannya, Saka meraih ponselnya, kemudian keluar dari kamar. Begitu dia menghampiri dapur, langkahnya terhenti mana kala menemukan Renata sedang menata meja makan, pekerjaan yang biasanya di lakukan oleh Bi Ambar, ART yang bekerja di sana.

            Saka menatap Renata lekat, mengerjap lambat mana kala banyak sekali pikiran aneh yang mengisi kepalanya mengenai betapa pantasnya Renata berada di sana dan itu membuat Saka merasa ada yang aneh pada dirinya.

            Renata terlihat cekatan dengan pekerjaannya, apa lagi saat membuatkan kopi, minuman wajib untuk Saka di pagi hari. Saka memiringkan wajahnya, dia tidak sembarangan meminum kopi. Saka hanya mau minum kopi buatan sebuah coffee shop langganannya dan juga buatan Bi Ambar. Selebihnya, dia merasa kopi buatan orang lain tidak cocok di lidahnya.

            Dan kali ini, Renata membuatkan kopi untuknya?

            “Pagi.”

            Saka mengerjap lagi, kali ini karena Renata sudah menatapnya dengan senyuman sederhananya yang selalu saja terlihat menyejukkan. Sejak dulu, bahkan hingga detik ini.

            Saka berdehem pelan, dia hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan langkahnya. Ketika Saka menarik kursinya, ekor matanya mengamati piring di depannya yang berisi dua roti panggang, telur, bacon, kacang merah dan juga tomat panggang.

            Mungkin karena menemukan kernyitan di dahi Saka, Renata yang sedang mengulum bibirnya resah kini berujar pelan. “Kata Bi Ambar, kamu biasanya sarapan pagi dengan roti dan kopi. Tapi... aku pikir itu aja nggak cukup, jadi aku tambahin yang lain.” Saka menoleh padanya, membuat Renata kembali menambahkan alasannya. “karena dulu kamu pernah tinggal di London, jadi... makanan ini pasti cocok buat kamu.”

            “Dari mana kamu tahu?”

            “Ya?”

            “Aku pernah tinggal di London.”

            “Oh...” Renata tersenyum tipis. “aku lihat di salah satu pajangan foto, kamu... pernah sekolah di London.”

            Saka mengernyit samar, memang ada satu fotonya ketika baru saja lulus dari Universitas dan terpajang di rumahnya.

            “Nggak apa-apa kan dengan sarapan paginya? Atau–”

            “Nggak apa-apa,” potong Saka. Kemudian dia meneguk kopinya dan lagi-lagi tertegun. Rasa kopi itu... sangat pas di lidahnya. Bahkan rasanya lebih enak dari dua kopi favoritnya. Saka melirik Renata yang kini duduk di kursinya, sedang meminum segelas susu. “Bi Ambar yang ngajarin kamu buat kopi ini?”

            Renata menggelengkan kepalanya, kedua tangannya masih menggenggam gelas susu.

            “Kenapa rasanya...” ucapan Saka menggantung begitu saja karena rasa bingung yang terus menerus menderanya.

            “Aku juga suka kopi. Walaupun sekarang nggak bisa terlalu banyak minum kopi karena aku punya maag, tapi dulu, waktu masih jadi Residence Doctor dan lagi senang-senangnya belajar sampai lupa tidur, aku sering buat kopi untuk diriku sendiri.” bibir Renata mengulas senyuman tipisnya yang terlihat manis, dia seolah sedang mengingat-ingat kenangan manisnya selama mengejar pendidikannya.

            Senyuman itu membuat Saka tersesat karena dia seolah turut kembali ke masa lalu, masa dimana dia sering menemukan senyuman itu di bibir orang yang sama. Dan ya, Saka pun tahu secinta apa Renata pada pekerjaannya yang dulu memang menjadi impian terbesarnya.

            “Saka,” teguran Renata menyentak Saka dari lamunannya. “diminum kopinya, nanti keburu dingin.”

            Saka menunduk, menatap kopinya lagi kemudian berdehem pelan dan kembali menyesapnya. Kemudian mereka mulai menikmati sarapan pagi itu. Saka sesekali melirik Renata yang hanya sarapan dengan segelas susu dan beberapa keping roti.

            “Kemarin apa kata Dokter?”

            “Dokter?”

            “Kamu kemarin periksa ke Dokter, kan? Bayinya...”

            “Oh, hm, aku kemarin udah periksa ke Dokter. Bayinya baik-baik aja. Cuma...” Renata mengulum bibirnya ragu.

            “Cuma?” tanya Saka dengan wajah sedikit cemas. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada bayinya?

            Renata menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak apa-apa kok.”

            “Renata,” suara berat Saka terdengar lebih tajam dari sebelumnya. “jangan menyembunyikan apa pun mengenai bayiku.”

            “Oke, aku... maksudnya, bayinya baik-baik aja. Cuma kondisiku yang kemarin sedikit nggak baik. Mungkin karena aku masih teralalu shock dan juga soal berat badanku yang terlalu–”

            “Oke, siang nanti kita ke Dokter untuk memeriksakan kandungan kamu lagi.”

            “Buat apa? Kemarin aku udah–”

            “Aku harus memastikan keadaan bayiku.”

            “Saka,” ucap Renata dengan suara yang tak percaya. “ini bayiku juga dan aku yang paling tahu soal keadaan bayiku.”

            “Tapi kamu bilang–”

            “Aku nggak butuh Dokter, Saka. Aku hanya butuh... istirahat. Tubuhku, pikiranku, aku harus mengistirahatkan semuanya. Aku tahu apa yang harus kulakukan dan sebenarnya, aku berterima kasih sama kamu karena jujur aja, keberadaan kamu cukup membuat aku tenang saat ini setelah apa yang aku alami sejak kemarin.”

            Saka hanya menatap Renata lekat.

            “Semua ini masih mengejutkan untuk aku tapi aku juga tahu kalau aku harus tetap  melaluinya,” lirih Renata. “dan aku membutuhkan ketenangan untuk itu. Bayi ini...” Renata menyentuh perutnya sendiri. “akan aku lakukan apa pun demi bayi ini.”

            Tatapan Saka jatuh pada perut Renata.

            Bayi ini...

            Bayi mereka...

            Saka merasakan sebuah perasaan asing yang membuatnya gamang setiap kali dia memikirkan mengenai bayi yang berada dalam kandungan Renata. Jujur saja, bahkan hingga detik ini, Saka tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada bayi itu karena sejujurnya, Saka pun tidak pernah punya rencana untuk memilikinya.

            “Pak Saka,”

            Teguran dari Haikal membuat Saka dan Renata menoleh padanya. Haikal menghampiri Saka, menunduk hormat pada Saka dan juga Renata meski dia merasa sedikit aneh dengan keberadaan Renata. Pasalnya, bosnya yang menyebalkan ini tidak pernah sekalipun membawa perempuan atau pun tamu perempuan ke rumahnya.. “Kita sudah harus berangkat sekarang, Pak, hari ini adalah pertemuan penting dengan–”

            “Saya tahu,” ketus Saka jengkel karena Haikal mengganggu percakapannya dan Renata. Haikal hanya mendesah pelan, sudah biasa mendapati sikap menyebalkan bosnya itu. “kita bicarakan lagi nanti malam.” ujar Saka sambil berdiri dari kursinya kemudian pergi begitu saja di ikuti oleh Haikal.

            Renata termangu menatap punggung Saka yang mulai menghilang dari jarak pandangnya. Lalu tatapannya jatuh pada sepiring sarapan pagi yang telah dia siapkan untuk Saka dan sama sekali tidak tersentuh.

            Menghela napas berat, Renata beranjak berdiri untuk merapikan meja makan. Saka sulit sekali di prediksi, pikir Renata. Terkadang Renata merasa dia adalah orang baik, tapi dalam sekejap, Saka seolah berubah menjadi kejam.

            Entahlah, Renata tidak mau terlalu memikirkan bagaimana Saka. Dia hanya ingin fokus pada kehamilannya, sedangkan masalahnya yang lain akan Renata pikirkan setelah bayinya lahir nanti.

            Ketika Renata sedang merapikan meja makan, dia mendengar suara sepatu dan lantai yang saling beradu, membuat gerakannya terhenti meski dia tetap diam di tempatnya. Lalu, sebuah suara perempuan terdengar begitu saja.

            “Maaf, kamu... siapa?”

            Tubuh Renata berbalik dengan cepat, kedua matanya tampak melebar ketika menemukan seorang wanita yang tampak lebih tua darinya tapi masih terlihat sangat cantik di matanya. Renata mengamati wanita berpenampilan glamor itu dari ujung kaki hingga ujung rambut, membuat wanita itu berdehem dan mengejutkan Renata.

            “Sa-saya...”

            “Nyonya,” Bi Ambar berjalan cepat menghampiri wanita itu. “nyona datang?”

            “Di mana Saka?” tanya perempuan itu.

            “Den Saka–”

            “Sudah pergi ke kantor.” sahut Renata ragu.

            Wanita itu masih terus mengamati Renata yang terlihat resah di tempatnya. Kepalanya mengangguk pada Renata, “Dia siapa?” tanya wanita itu pada Bi Ambar.

            Bi Ambar melirik Renata sejenak, lalu terlihat gugup. “Hm... sepertinya... teman Den Saka nyonya.”

            “Teman?” dahi wanita itu mengernyit. Kemudian dia tersenyum malas. “Saka nggak punya teman, apa lagi perempuan.” Lalu wanita itu menghampiri Renata, berdiri di depannya sambil melipat kedua tangannya angkuh. Membuat Renata yang diperlakukan seperti itu terintimidasi. “kamu... siapa?” tanyanya lagi, kali ini tatapannya lebih tajam dari sebelumnya.

            Dan kini, Renata benar-benar kebingungan harus menjawab apa.

***

Saka melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan terburu-buru. Padahal baru sekitar sepuluh menit dia meninggalkan rumah, namun begitu menerima panggilan dari seseorang yang selalu saja membuatnya kesal setiap kali harus bertemu dengannya, Saka langsung meminta supirnya untuk kembali ke rumah.

            Begitu dia sampai, hal pertama yang dia temukan adalah Renata yang duduk di atas sofa panjang dengan wajah sedikit pucat dan juga wanita yang baru saja menelefonnya yang duduk di sofa tunggal, menatap lekat pada Renata.

            “Saka...” gumam Renata begitu menemukan keberadaan Saka.

            Wanita itu menoleh, menatap Saka dengan kernyitan di dahi yang kentara.

            Renata sudah akan berdiri, namun ketika melihat wanita yang memiliki aura mengintimidasi itu kembali menatapnya, Renata mengurungkan niatnya.

            “Ini pacar kamu?” tanya wanita itu pada Saka.

            Saka menghela napasnya berat, melangkah santai dan memilih duduk di samping Renata. “Kapan pulang?” tanyanya dengan nada suara malas.

            Wanita itu tersenyum tipis. Bukan senyuman yang menyejukkan, melainkan senyuman penuh peringatan. “Jangan basa-basi. Pacar kamu atau bukan?” wanita itu mengangguk ke arah Renata.

            “Bukan,” jawab Renata. Karena Saka tidak terlihat mau menjawab pertanyaan wanita itu, dari pada ketegangan itu berlarut-larut, lebih baik Renata yang menjawabnya. “saya–”

            “Jadi, kalau bukan pacar, kamu ini siapanya Saka?” tanya wanita itu lagi.

            Jemari Renata saling meremas gugup satu sama lain. Dia harus menjawab apa sekarang. Maka itu, kali ini Renata melirik pada Saka yang hanya menyandar santai dan menatap malas ke arah lain.

            Wanita itu kembali bersuara. “Atau jangan-jangan... kamu ini...”

            “Ma...” desah Saka malas, membantah dugaan wanita yang dia panggil dengan sebutan Mama.

            Rosie, wanita yang Saka panggil Mama, kini menaikan satu alisnya. “Bukan pacar kamu, tapi jelas-jelas dia kelihatan bermalam di sini. Jadi apa namanya kalau bukan–”

            “Maaf,” potong Renata. “Tante... Mamanya Saka?” tanya Renata dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya.

            Rosie mengangguk tegas.

            “Mama tiri.” Cetus Saka.

            “Tetap aja Mama kamu.” Balas Rosie.

            Saka mendengus malas kamudian memusatkan perhatiannya pada Rosie. “Kenalin, dia Renata, bukan pacar aku tapi saat ini dia sedang hamil.”

            Rosie tampak tersentak. “Hamil?” Saka mengangguk tegas. “anak... siapa?”

            “Aku nggak mungkin membiarkan dia menginap di sini kalau dia sedang mengandung anak orang lain. Mama jelas tahu, aku nggak pernah membiarkan satu wanita mana pun menginjakan kakinya di sini.” Tegas Saka lagi. “kecuali Mama, yang sekalipun aku usir tapi selalu aja datang terus menerus ke sini.”

            Rosie tampak memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit setelah mendengar penjelasan Saka. Sedangkan Renata hanya bisa menatap Saka dan Rosie bergantian dengan segala pikirannya yang membingungkan.

            Wanita ini adalah Mama tiri Saka dan kini dia ada di sini, mendapati keberadaan Renata sekaligus mengetahui kehamilannya. Astaga, apa yang harus Renata lakukan kali ini.

            “Saka,” desis Rosie. Dia seperti ingin meledak, tapi saat melihat Renata yang menatapnya takut, Rosie memilih memejamkan matanya erat dan penuh putus asa. “kita harus bicara.”

            Saka sudah mengenal Rosie di sepanjang hidupnya dan dia tahu, jika Rosie sudah mengatakan itu artinya wanita itu sedang tidak ingin bermain-main. Maka meski mendesah malas, namun Saka segera beranjak berdiri dan berjalan santai menuju ruang kerjanya.

            Rosie bergegas mengikuti Saka, namun dia sempat menghentikan langkahnya untuk kembali menatap Renata yang terlihat kebingungan di tempatnya. “Kamu tetap di sini sampai kami selesai bicara.” Tegas Rosie.

            Dan satu-satunya hal yang bisa Renata lakukan adalah mengangguk patuh.

            “Hamil?” tanya Rosie murka begitu dia sudah berada di dalam ruangan Saka. “kamu bilang perempuan itu hamil anak kamu?!”

            Saka mengangguk santai, membuat Rosie semakin terbelalak tak percaya. Apa-apaan ini, pikirnya. Dia baru saja tiba di Jakarta setelah berada selama dua minggu di Jepang dan kini, saat dia ingin menemui Saka untuk menanyakan kabarnya, Rosie malah mendapatkan kejutan seperti ini.

            “Jangan bercanda, Saka!”

            “Aku nggak bercanda, Ma.”

            “Gimana bisa...”

            “Apa aku harus menjelaskan gimana prosesnya–”

            “Saka!” bentak Rosie.

            Saka menghela napas malas, kedua tangannya bersidekap santai seolah-olah apa keterkejutan Rosie tidak berarti di matanya. “Semuanya udah terjadi dan aku nggak mau memperumit segalanya. Renata akan di tinggal di sini sampai bayi itu lahir.”

            “Kalian akan menikah?”

            “Menikah?” Saka tertawa hambar. “nggak.”

            Rosir mengernyit bingung. “Kalau begitu...”

            Saka menghampiri Rosie, berdiri berhadapan dengannya. Tatapan tajamnya tidak pernah gentar sekalipun. “Jangan ikut campur, ini masalahku dan sebaiknya Mama menjauh.”

            Rosie merasakan ketakutan ketika mendengar ucapan Saka. Memang benar, dia hanyalah seorang Ibu tiri bagi Saka, tapi jangan lupakan jika dia adalah adik dari Mama kandung Saka yang merelakan dirinya untuk menggantikan posisi sang Kakak demi keponakannya ini.

            Rosie benar-benar mengenal Saka sebagaimana Saka mengenalnya. Dan kali ini, Rosie tahu ada sebuah rencana yang berbahaya di dalam kepala Saka.

            Saka adalah orang yang berhati dingin, jarang berbalas kasih pada orang lain dan itu terjadi semenjak Mamanya meninggal dunia. Dia... seolah tak tersentuh, sulit sekali untuk meluluhkan hatinya. Rosie sudah mencoba segala hal. Dari memberinya kasih sayang hingga sikap tegas, semuanya tidak berpengaruh banyak untuk Saka.

            Dan kali ini, Saka sedang bermain-main dengan kehamilan seseorang. Bahkan itu menyangkut bayinya sendiri.

            “Saka,” Rosie melunakkan suaranya, jemarinya menyentuh lengan Saka lembut, berharap Saka mau mendengarkannya. “dia hamil, anak kamu. Mama nggak tahu apa yang kamu rencanakan untuknya, tapi, apa pun itu, jangan sampai melukai bayi kamu. Bayi itu... sama sekali nggak bersalah, Saka. Sama seperti kamu.”

            Ketika mendengar kalimat terakhir Rosie, tatapan Saka terlihat sedikit goyah hingga kedua kakinya bergerak mundur begitu saja dan sentuhan Rosie terlepas. Kepala Saka sedikit menunduk ketika ada rasa gamang yang menghantuinya namun dia segera menepisnya dan kembali menajamkan kedua matanya.

            “Aku bilang,” desis Saka. “jangan ikut campur. Hanya karena aku memanggil kamu Mama, bukan berarti kamu adalah Mamaku.”

            Rosie tertegun. Hatinya kembali terluka meski dia tidak pernah mau memerlihatkannya pada Saka. Rosie hanya tersenyum malas. “Suka atau nggak, aku memang sudah menjadi Mamamu.” Jawab Rosie tegas sebelum berbalik pergi.

            Ketika dia melewati Renata, Renata segera berdiri tegak dan menatapnya waspada. Sayangnya, Rosie hanya memalingkan muka dan berlalu pergi, membuat napas Renata yang tercekat berubah menjadi lega.

            Renata bahkan kembali menjatuhkan dirinya duduk di atas sofa. Kepalanya tertunduk, satu telapak tangannya memijat dahinya sendiri karena tiba-tiba saa kepalanya terasa pusing.

            “Jangan terlalu di pikirin, dia nggak akan ganggu kamu. Itu Rosie, Mama tiriku,  dan dia nggak tinggal di sini. Mama tinggal di rumah lain, tapi sesekali bakalan datang ke sini.”

            Mengangkat wajahnya ke depan, Renata menatap Saka yang berdiri tidak jauh di depannya. Berdiri dengan gaya santainya dan kedua tangan yang terbelenggu di dalam saku celana.

            “Mama kamu... tahu?”

            “Soal?”

            “Aku. Dan... bayiku.”

            Saka melirik ke arah perut Renata, ini sudah kali kedua dia melakukannya di pagi ini. “Itu juga bayiku...” gumamnya, kali ini, suaranya terdengar sedikit parau. Mengerjap, Saka berusaha mengeyahkan pikiran anehnya. “aku udah bilang ke Mama soal kita.”

            “Terus... gimana?” Renata menatap Saka waspada. “tadi Mama kamu kelihatan marah sama aku.”

            Bahu Saka mengedik ringan. “Dia nggak punya hak marah sama kamu. Dan seperti yang kubilang tadi, kamu nggak perlu memikirkan soal Mama, Nata.” Saat Renata ingin kembali bersuara, Saka menambahkan. “satu-satunya yang harus kamu lakukan hanyalah memastikan bayiku baik-baik aja.”

            Jemari Renata saling meremas dan itu tidak luput dari perhatian Saka. “Aku bilang jangan dipikirin!” tegas Saka, suaranya terdengar keras begitu saja tanpa dia sadari hingga Renata tersentak dan menghentikan apa yang baru saja dia lakukan.

            Renata mengerjap, dia dan Saka saling bertatapan satu sama lain hingga Saka terlihat menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Ekor matanya menemukan Haikal yang berdiri tidak jauh darinya, menatapnya resah. Saka tahu kenapa Haikal seperti itu, pasti soal pekerjaan.

            Maka itu, Saka menghampiri Renata, berdiri tepat di depannya, wajahnya menunduk hingga Renata harus menengadah menatapnya. “Selagi kamu bersamaku, percayalah, Nata, nggak akan ada satu orang pun yang bisa menyakiti kamu.” Ucapnya dengan suara beratnya yang khas. Selain aku. “Jadi, mulai sekarang kamu nggak perlu lagi merasa panik atau mencemaskan apa pun.”

            Kenapa Renata mengangguk begitu saja, dia seolah tidak bisa mengatakan tidak di setiap perintah Saka. Entah kenapa, Saka... seperti memiliki sihir dalam dirinya dan membuat Renata mau menuruti semua yang dia katakan. Bahkan kini, ketika Saka sudah pergi meninggalkannya, Renata masih diam terpaku di tempatnya.

            Saka... dia terlihat begitu dingin. Terkadang baik, terkadang kejam. Namun Renata tidak tahu mengapa dia bisa menemukan sedikit ketenangan sejak Saka berada di sampingnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status