Share

005 - Utang Samuji

Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?

Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?

Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.

Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini.

"Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.

Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.

Selain Jakarta, sebetulnya Slamet juga terpikir untuk merantau ke Semarang. Ada teman SMA-nya yang sukses buka usaha nasi goreng pakai gerobak di dekat Rumah Sakit Umum Karyadi.

Semarang sempat jadi pilihan karena sekalipun itu tempat asing baginya, tapi setidak-tidaknya tetap Jawa Tengah juga. Slamet tidak perlu banyak beradaptasi karena orang-orang di Semarang berbahasa Jawa seperti dirinya.

Keputusan baru Slamet ambil setelah berpikir selama setengah jam di kamar mandi. Menimbang-nimbang mana yang sebaiknya dia pilih antara ikut temannya jualan nasi goreng atau ikut di perusahaan tempat Samuji bekerja? Semarang atau Jakarta?

Keputusan bulat lantas Slamet tentukan. Jakarta adalah tempatnya mengubah jalan nasib dan membuktikan diri pada Marni.

Sewaktu memberi tahu keputusan tersebut pada ayah dan ibunya, Bu Siswoyo menyarankan agar Slamet mengabari Samuji terlebih dulu. Namun pemuda itu menolak.

Ternyata kekhawatiran Bu Siswoyo jadi kenyataan. Samuji susah dihubungi. Apa boleh buat, Slamet terpaksa terkatung-katung begini. Dasar nasib....

"Ngapain lu di sini, Tong?"

Satu pertanyaan dari suara cempreng mengagetkan Slamet. Buru-buru pemuda itu berpaling ke arah sumber suara.

Di depan Slamet ternyata sudah berdiri seorang lelaki tua. Usianya kisaran enam puluhan tahun. Memakai baju koko putih cemerlang dipadu sarung kotak-kotak bergambar gajah.

"Eh, ditanyain malah diem aje lu! Gagu apa kesambet?" sentak lelaki tua itu, lagi-lagi membuat Slamet kaget. "Lu siape? Dari mane? Ngapain di sini?"

Slamet yang berasal dari kampung masih menjunjung tinggi tata krama. Diajak bicara orang yang lebih tua, pemuda itu langsung mendekati si lelaki dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

Yang diajak bersalaman terlihat kaget, seperti tidak menyangka. Namun dia ulurkan juga tangan, membiarkannya dicium dengan takzim oleh Slamet.

"Maaf, Mbah, saya nyari paklik saya," jawab Slamet jujur. Tentu saja dengan logat medoknya.

"Enak aje lu manggil gua embah!" sembur si lelaki tua, sambil menarik tangannya dengan kasar. "Emangnya gua udah keliatan tua apa?"

Slamet kebingungan, tak tahu salahnya di mana. Namun demikian dia tetap meminta maaf. "Maaf, Mbah ... eh, anu...."

"Panggil gua babe!" serobot si lelaki tua.

"Oh, i-iya ... iya, Be," jawab Slamet yang lagi-lagi dibuat kaget oleh suara menggelegar milik lelaki tua di hadapannya.

Saking kerasnya suara lelaki tua itu, pintu kamar nomor sembilan kembali terbuka. Penghuninya si tinggi besar dengan rambut cepak muncul dengan wajah kesal. Namun dia langsung mengubah ekspresi begitu melihat sosok yang berdiri di hadapan Slamet.

"Eh, Babe ..." sapa lelaki berbadan gede tersebut, sambil tersenyum dikulum. "Ini anak katanya nyariin si Muji, Be."

"Ooo ..." Si lelaki tua manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Dia memang belum mendapat jawaban tadi. "Berarti lu sodaranya si Muji, ya? Apa cuman sekampung di Jawa sono?"

"I-iya, Be, saya keponakan Lik Muji. Anak mbaknya. Mbak kandung," jawab Slamet selengkap mungkin.

"Kebetulan banget kalo gitu," kata si lelaki tua lagi. Seulas seringai tersungging di sudut bibirnya yang tipis.

Insting Slamet memberi sinyal ada sesuatu yang tidak beres. Namun pemuda itu tidak dapat menebak apa bentuk ketidak-beresan yang diisyaratkan oleh alam bawah sadarnya tersebut.

"Kebetulan gimana maksudnya, Be?" tanya Slamet, penasaran.

"Gua ke sini subuh-subuh gini karena mau nagih paman lu itu. Si Muji udeh nunggak sewa kos tige bulan," jawab si lelaki tua.

"Eh, ladalah!" Entah untuk yang keberapa kali sejak dia tiba di sini, Slamet lagi-lagi kaget. "Nunggak tiga bulan?"

"Iye, tige bulan. Mangkenye die suka kabur, kagak pernah balik kalau hari masih terang. Masuk kos udeh kayak maling, diem-diem. Malem-malem. Sembunyi-sembunyi karena takut ketauan ama gua!" jawab si Babe.

Slamet garuk-garuk kepala. Sedangkan lelaki berbadan tinggi besar tampak mencibir.

"Astaga. Gue pikir dia lembur, ternyata lagi kabur," ujarnya dengan nada mengejek, lalu kembali masuk kamar.

Sejujurnya Slamet tidak suka pamannya diejek begitu. Namun dia sadar, ini salah Samuji juga sampai menunggak sewa kos sampai tiga bulan.

"Memangnya sebulan berapa, Be?" Slamet memberanikan diri bertanya.

Kemarin saat Slamet berangkat, Bu Siswoyo memberinya uang saku. Slamet tidak menghitung berapa jumlahnya, tapi gulungan kertas berwarna merah itu terasa tebal di genggaman tangan.

Kata Bu Siswoyo, uang itu sebagai biaya hidup Slamet sebelum puteranya itu mendapat pekerjaan di ibukota. Biar tidak merepoti Samuji yang akan ditumpangi.

Karena memang hanya punya uang buat ongkos bus, itupun cuma untuk berangkat, Slamet menerima saja pemberian tersebut. Di dalam hati dia berjanji bakal mengembalikan jauh lebih banyak.

"Lu mau nalangin ceritenye?" Si Babe malah balik bertanya.

Slamet tak menjawab. Hanya bisa nyengir kuda, sembari garuk-garuk kepala.

"Di sini sewanye sejute sebulan, udeh paling mureh se-Jakarta Raya. Nunggak tige bulan, berarti tige jute," lanjut si Babe.

Sepasang bola mata Slamet seolah hendak mencolot keluar mendengar penjelasan tersebut. Dia pikir hanya beberapa ratus ribu rupiah. Ternyata sampai berjuta-juta.

Tanpa perlu menghitung saja Slamet sudah tahu jumlah uang pemberian ibunya tak akan sampai Rp3.000.000. Mungkin kalau hanya setengahnya ada, tapi masa iya dihabiskan semua untuk menalangi tunggakan sewa kos sang paman?

"Gimana, lu mau nalangin? Apa cuman kepo doang?" ujar si Babe lagi.

Pertanyaan itu membuat harga diri Slamet terusik. Spontan dia meraba pinggang.

Slamet memakai tas pinggang kecil di sana. Saling kecilnya sampai nyaris tidak kelihatan dari luar pakaian. Di sanalah uang pemberian ibunya dia simpan.

"Mmm, kalau enggak semuanya apa boleh, Be?" tawar Slamet kemudian. Dia sungguh ragu ibunya memberi bekal sampai jutaan rupiah. "Maklum, saya kan baru datang dari kampung. Justru ke sini mau cari duit."

Si Babe tampak berpikir-pikir, mengusap-usap janggut tipis di dagu sambil memandangi Slamet dari atas sampai bawah.

"Berape emangnye?" tanya si Babe kemudian. Pikirnya, daripada tidak dapat sama sekali, berapapun jadilah.

"Sebentar, Be, saya hitung dulu," sahut Slamet, lalu langsung menghitung lembaran-lembaran uang di dalam wrist bag tanpa mengeluarkannya.

"Lu ngapain, Tong?" tanya si Babe yang jadi keheranan sendiri.

Slamet hanya tersenyum, tak mau menjawab karena khawatir konsentrasinya buyar. Selesai dia menghitung, ternyata uang yang diberikan ibunya tadi ada Rp2.000.000.

"Kalau cuma sejuta, boleh, Be?" tanya Slamet kemudian. "Saya enggak bawa duit banyak."

"Sejute?" Si Babe tampak menimbang-nimbang. Mulutnya sampai terpencong-pencong.

"Iya, Be. Sisanya buat bekal saya sampai dapat kerjaan," jelas Slamet dengan jujur.

"Ya udeh, deh. Mane?" Si Babe akhirnya menengadahkan tangan.

Dengan cepat Slamet kembali menghitung uang. Namun sekarang hanya sampai bilangan kesepuluh, lalu mengeluarkannya.

"Ini, Be." Uang diserahkan pada si Babe. "Tolong beri waktu buat paklik saya untuk melunasi sisanya."

"Iye, iye!" jawab si Babe, sembari mengantungi sepuluh lembar uang berwarna merah. "Lu juga bilang ke die, jangan nunggak terus! Kerja kantoran pakaian rapi bawa mobil, kos aja nunggak."

"Iya, Be. Terima kasih," jawab Slamet.

"Ya udeh, lu nunggu di dalam kamar aja sono. Gua bukain pakai kunci cadangan," kata si Babe, lalu membukakan kunci pintu kamar kos nomor delapan.

"Terima kasih banyak, Be." Slamet kembali menyalami si Babe sebelum lelaki tua itu pergi. Hanya disahuti dengan geraman samar.

Baru saja Slamet menurunkan tasnya ke pinggiran ranjang, ponselnya berdering keras.

Kriiing!

Buru-buru Slamet merogoh saku celana untuk mengambil ponsel candy bar kesayangan. Begitu tahu siapa yang memanggil, dia tersenyum lebar.

"Lik Muji?" seru Slamet senang. "Sampeyan siki lagi nang endi, Lik? Ditelponi bolak-balik ora ngangkat babar blas."

"Aku nginep nang kantor," jawab Samuji cepat, tetapi terdengar agak bingung. "Mbengi ana lemburan, sayang nek aku ora melu nggarap."

Slamet tak tahu apakah jawaban itu benar atau dusta. Dia tidak mau ambil peduli.

"Terus, sampeyan kapan balik, Lik?" tanya Slamet lagi.

"Balik?" ulang Samuji dengan nada heran. "Ya mengkolah nek wis apan Lebaran. Esih suwe."

Jawaban itu membuat Slamet geregetan. Namun pemuda itu langsung teringat jika Samuji belum tahu dia berada di Jakarta.

"Kiye inyong lagi nang kos-kosane sampeyan, Lik," kata Slamet kemudian. "Sampeyan kapan balik aring kos, inyong ngenteni wis awit mau nemen kiyeh."

"Haaah?" Samuji terdengar benar-benar sangat kaget. "Aja nglombo kowe, Met."

Slamet tertawa mengetahui pamannya kaget. Malah mengira dirinya berbohong untuk mengerjai.

"Lah, sapa sing pan mbodoni sampeyan? Kiye inyong malah wis nomboki tunggakan sewa kos sampeyan. Soale si Babe mene miki, ngeluruhi sampeyan," jelas Slamet pula.

Terdengar Samuji menghela napas panjang. Entah karena malu atau apa, Slamet tak mampu menduga-duga.

"Met, koen langsung mrene bae aring kantore inyong. Nganggo kemeja sing rapi, karo sepatunan," kata Samuji kemudian, langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Slamet paham Samuji merasa malu karena ketahuan menunggak sewa kos selama tiga bulan. Karenanya pemuda itu langsung saja menanggapi ucapan pamannya barusan.

"Siap, Lik! Tulung kirimna alamate, ya! SMS bae."

"Oke."

=$$$=

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status