Share

004 - Slamet Datang, Jakarta

Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.

Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.

Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.

Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.

Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.

Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan dekat pasar di pusat kecamatan. Itupun kalau ada penumpang yang minta antar ke sana.

Tepat ketika Slamet bertanya-tanya sendiri di dalam hati, kondektur bus berseru lantang, "Kalideres, Kalideres...."

Beberapa penumpang langsung berdiri. Dalam kebingungannya Slamet ikut-ikutan berdiri pula. Ketika kemudian para penumpang tersebut merangsek perlahan ke arah pintu depan, Slamet ikut ke sana juga.

Sambil berpegangan pada besi di atas kepala, Slamet menelepon Samuji. Langit Jakarta masih gelap, semoga saja pamannya itu sudah bangun dari tidur.

Namun sampai berkali-kali menghubungi, hanya suara sambungan gagal yang terdengar di telinga Slamet. Pemuda itu menarik napas panjang. Kekhawatiran terpancar di wajahnya yang sedari tadi sudah tegang.

"Yak, kiri ... hooop!" ujar kondektur bus, diiringi suara rem angin yang terdengar keras.

Slamet pikir bus bakal masuk terminal dan berhenti di dalam. Ternyata hanya sampai pintu gerbang. Kemudian para penumpang yang sudah berdiri sejak tadi berduyun-duyun tuyun, eh, turun.

Dengan dada berdebar-debar Slamet ikut turun. Sebelah tangannya sibuk bolak-balik memencet tombol redial pada ponsel candy bar kesayangannya.

Namun Samuji sejak tadi tak juga mengangkat panggilan. Slamet mendesah panjang, sembari membayangkan kemungkinan terburuk.

"Ojek, Mas?" tanya seorang lelaki yang tahu-tahu saja sudah berada di sebelah Slamet.

Sebetulnya Slamet kaget, juga takut. Jakarta dalam memorinya adalah daerah rawan. Tingkat kriminalitasnya tinggi.

Lebih-lebih di tempat-tempat seperti terminal bus begini. Pastilah banyak preman, pencopet, tukang gendam, mungkin juga perempuan malam nan menggoda tetapi sebenarnya sindikat penjahat.

Jadi, bukan tidak mungkin orang yang mendadak muncul di hadapannya ini sebangsa penjahat yang menyaru sebagai tukang ojek. Slamet sudah sering mendengar cerita rupa-rupa modus operandi kejahatan di kota-kota besar.

Namun hati Slamet agak tenang ketika mendapati wajah yang sangat jawa pada lelaki yang bertanya tadi. Logatnya juga medok sekali, khas banyumasan.

"Pan maring ngendi, sih? Njuhlah, ngojek bae. Karo uwonge dewek iki," ujar lelaki tadi lagi, membujuk Slamet agar menggunakan jasanya.

Slamet tertawa dalam hati mendengar ucapan tersebut. Jauh-jauh ke Jakarta, dia bertemu orang sebangsanya sesama warga negara Republik Rakyat Ngapak. Ketegangan di dalam dirinya perlahan mengendur.

"Sampeyan weruh alamat kiye, Pak?" tanya Slamet, sembari menunjukkan SMS dari Samuji di layar ponselnya.

Kening si tukang ojek berkerut dalam, sepasang matanya menyipit. Setelah membaca alamat yang tertera di sana, kepalanya langsung mengangguk mantap.

"Njuh, melu aku!" ujar si tukang ojek, sembari enak saja menggamit lengan Slamet.

Sikap yang dianggapnya agresif membuat kewaspadaan Slamet kembali naik. Namun dia mengikuti juga langkah si tukang ojek, sembari berusaha melepaskan diri dengan gerakan sehalus mungkin.

Tanpa berkata apa-apa si tukang ojek menyerahkan sebuah helm pada Slamet, lalu naik ke atas sepeda motor dan menghidupkan mesin. Meski agak ragu-ragu, Slamet ikut naik pula.

Sepanjang perjalanan si tukang ojek tidak berkata apa-apa. Pandangannya hanya lurus ke depan, tampak berkosentrasi penuh. Padahal jalanan masih sepi sekali. Hanya satu-dua sepeda motor yang terlihat, diselingi bus kota yang mengarah ke terminal.

Tak sampai 10 menit berselang, tukang ojek membelokkan sepeda motor ke sebuah gang. Tidak terlalu sempit, tetapi tidak akan cukup jika ada dua sepeda motor saling bersimpangan.

"Kiye umahe," ujar si tukang ojek, sembari menghentikan sepeda motor di depan sebuah kos-kosan sekian pintu.

"Temenan kiye, Pak?" tanya Slamet yang ragu-ragu hendak turun. Pandangannya diedarkan ke sekeliling tempat kos yang seluruh pintunya masih tertutup.

"Ora ngandel, ya?" sahut si tukang ojek, seperti menggerutu. "Kuwe, sing nomer wolu."

Slamet melongo. Bagaimana bisa si tukang ojek tahu kalau Samuji tinggal di sini, bahkan tahu kamar kosnya bernomor delapan? Jangan-jangan....

"Wis, ya? Aku pan narik maning," kata si tukang ojek, membuat monolog di dalam hati Slamet terpenggal.

"Eh, Pak, ongkose?" Slamet yang baru teringat belum membayar ongkos ojek hendak mengejar.

Akan tetapi si tukang ojek tak ambil peduli. Sambil melambaikan tangan kirinya ke udara dia berseru, "Ora susah! Mengko ngomong bae karo Samuji, kowe miki dideter Widi!"

Dari melongo, kini Slamet mengerutkan dahi. Bukan cuma tahu di pintu nomor berapa pamannya tinggal, ternyata tukang ojek itu juga tahu jika nama pamannya adalah Samuji.

Jadi, siapa sebenarnya tukang ojek itu? Sesama perantauan dari Purbalingga-kah? Atau malah orang sekecamatan dari Bobotsari atau sedesa dari Dagan?

Slamet garuk-garuk kepala. Tak mau ambil pusing, pemuda itu lantas berbalik badan dan melangkah ke arah kamar kos yang pada pintunya ada angka 8.

Tok, tok, tok....

"Lik ... Lik Muji," panggil Slamet di sela-sela ketukan pintu.

Tak ada sahutan dari dalam. Bahkan Slamet tidak mendengar suara sedikit pun. Entah itu suara embusan napas orang tidur nan teratur, tidak pula berisiknya deru kipas angin khas kamar kos para perantauan di Jakarta.

Dua kali, tiga kali, empat kali, tetap saja tak ada sahutan. Ketika hendak mengetuk dan memanggil untuk kali kelima, yang terbuka malah pintu kamar nomor 9.

Seorang lelaki berbadan tegap dengan kepala berambut cepak muncul. Slamet sontak menghentikan gerakan tangan, membuatnya menggantung di udara.

"Nyari si Muji?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi, sembari mengucak-ucak mata. Tampaknya terbangun karena suara ketukan berkali-kali dari Slamet tadi.

"I-iya, Mas ... eh, Pak," jawab Slamet, kikuk. Dia jadi merasa tidak enak karena telah mengganggu waktu istirahat orang lain. Orang yang tidak dikenal pula.

"Die kagak balik semalem. Lembur kali," ujar lelaki di ambang pintu kamar nomor 9, lalu tanpa basa-basi langsung masuk lagi ke dalam kamarnya sambil menutup pintu dengan kesal.

Brak!

Slamet kaget bukan main. Tanpa sadar dia sampai terlonjak. Untung saja pemuda itu masih sanggup mengerem mulut agar tidak menceploskan seruan keras.

Suasana remang-remang karena kamar nomor 9 tidak berada di dekat lampu. Jadi Slamet tidak melihat kalau lelaki berbadan besar dengan rambut cepak tadi membanting pintu dengan kasar.

"Fiuuh ..." Slamet mengembuskan napas panjang, sembari mengelus-elus dada. "Ternyata bener kata temen-temenku yang pada merantau ke sini. Orang Jakarta kasar-kasar."

=$$$=

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status