Jika kamu pernah membayangkan bagaimana rasanya mengerjakan berlembar-lembar kertas menulis tanpa ada satu tulisan salah, maka sebaiknya buang jauh-jauh bayangan itu. Dia adalah mimpi, dan mimpi dapat melingkup ke dunia nyata. Inilah yang sekarang dirasakan oleh Nuriya.
Dia teringat perbincangan singkatnya dengan kakak sepupunya yang baru lulus beberapa bulan silam. Saat itu, dia bingung memilih jurusan dan kakaknya mengusulkan informatika kepadanya. Dan entah apa yang membuatnya berminat mengambil jurusan IT ini. Oh dia sangat menyesal sekarang.
Masalahnya, kalau penyesalan di depan namanya pendaftaran.
“Kamu nggak tidur Nuriya?” ibunya bertanya kepada anak semata wayangnya itu. Perempuan itu menggelengkan kepalanya sementara dia terus menggaris kertas-kertas dengan pensil.
“Istirahat dulu. Besok pagi kamu kuliah nak,” ucap ibunya lagi dengan lembut lalu mengusap kepala anaknya. Nuriya tersenyum, namun menggelengkan kepalanya.
“Nuriya senin sore dapat lab, dan pengumumannya baru Jum’at kemarin. Nuriya sibuk mengerjakan tugas kuliah dan pra-lab jadi belum mengerjakan dasar teori praktikumnya,” jawab Nuriya menjelaskan ketidaksetujuannya. Ibunya menghela nafas.
“Kalau sudah lelah istirahat aja. Ibu nggak mau kamu sakit,” ucap ibunya dan Nuriya mengangguk. Dengan langkah berat, ibunya pergi meninggalkan kamar. Nuriya kembali fokus ke pekerjaannya.
Matahari pagi menampilkan dirinya dengan kejayaannya. Ayam berkokok keras yang membuat Nuriya mengusap matanya. Dia telat subuh lagi adalah hal pertama yang disadari Nuriya. Ibunya telah berangkat kerja, dan meninggalkan secarik kertas di kulkas.
“Ibu lihat kamu kelelahan, jadi ibu ragu membangunkanmu. Ibu kerja dulu, belajar yang semangat ya sayang!”
Nuriya tersenyum kecil. Ibunya selalu perduli kepadanya, meskipun berbagai rintangan telah mereka lalui.
“Assalamu’alaikum.”
Pintu rumah ditutup.
“Kamu sudah selesai dengan laporan praktikum mu?” tanya Alisa saat mereka makan siang di kampus. Lab jam 4 sore menunggu mereka.
“Iya. Alhamdulillah kelar. Kamu?”
“Sama. Aku kewalahan nulis semuanya, untung banyak referensi di internet.”
“Haha, iya.”
Saat itu pula Ryanho, atau nama akrabnya di angkatan, Ryan, bertemu dengan mereka. Ryan yang membawa semangkuk mie dan sebotol air mineral mendekati tempat mereka duduk.
“Kosong kan?” tanyanya seraya menunjuk ke kursi di seberang dua perempuan itu.
“Iya, duduk aja Ryan,” jawab Alisa. Ryan mengambil posisi duduk di tempat itu.
“Kamu sudah beres ga laporannya?” tanya Alisa yang membuat Ryan tersedak. Ryan segera menenggak air mineralnya.
“Maaf. Aku masih kurang sedikit. Sudah 90%. Sebelum praktikum selesai kok,” ucapnya meyakinkan Nuriya dan Alisa. Alisa menaikkan alis matanya, menantang Ryan secara tersirat untuk membuktikan.
Ryan berhenti makan, mengambil laporan dari dalam tas yang dia bawa di pundaknya.
“Ini,” ucapnya dan Alisa merebut laporan itu. Ya, 4 halaman setengah, kurang setengah lagi untuk 5 halaman, syarat praktikum pertama. Alisa menghela nafas lega.
“Syukurlah,” ucapnya lega. Dia mengembalikan laporan itu.
“Menurut kalian, asisten kita gimana?” tanya Ryan.
“Rada gendeng menurutku,” suara Phaelus memasuki telinga mereka. Phaelus yang baru datang dengan semangkuk soto ayam segera mengambil posisi duduk di samping Ryan.
“Ish, ga sopan atuh,” komentar Aybe yang berada di belakangnya. Duo jenius, tapi sifatnya agak bertolak belakang.
“Sudah, makan dulu,” komentar Aybe lagi seraya duduk di samping Phaelus.
“Kata mas-masnya, praktikum itu gampang, yang susah asistensi,” komentar Ryan yang akrab dengan sebagian senior.
“Apalagi kalau dapat orang itu,” sambung Phaelus. Ryan menangguk, membenarkan.
“Cuma agak aneh sih. Masnya itu kata Mas Kariem termasuk yang paling baik di angkatan dia. Nggak tahu sih definisi baiknya gimana,” komentar Ryan lagi. Phaelus menatap heran.
“Katanya, kalau masalah kuliah Mas Kariem sering tanya ke dia atau satu temannya lagi yang sedang keluar negeri. Dia juga lumayan paham dengan aturan akademik dan strategi kuliah yang baik,” sambung Ryan.
“Masa sih? Mas Kariem itu yang sering ngobrol sama angkatan kita kan? Dia ngambil Listrik Dasar juga di kelas A seingatku,” tanya Aybe.
“Iya,” jawab Phaelus. Ryan berpikir sejenak.
“Dia ngulang lab pemrograman ga?” tanya Aybe. Phaelus mengangguk. Alisa langsung bertanya, mendahului Aybe yang ingin melanjutkan rantai tanya miliknya.
“Lah loh? Bukannya dia sama angkatannya sendiri toh?” tanya Alisa.
“Iya sih. Tapi katanya waktu itu teman dia nggak bisa lulusin dia karena nggak memenuhi standar,” jawab Ryan.
“Yang nggak lulusin siapa?” tanya Alisa lagi.
“Vermillion,” jawab Ryan dengan nada berbisik.
Nuriya berpikir sejenak, kenapa Mas Kariem yang seangkatan dia aja bisa tidak diluluskan? Biasanya, kalau teman seangkatan pasti dibantu biar cepat lulus lab. Ini asisten satu kenapa ya?
“Wah, pada ngumpul di sini,” komentar Mas Ilham yang lewat. Dia berencana mengambil posisi di samping tempat Nuriya duduk, namun Putri segera menegurnya.
“Kamu duduk di situ, di blok sini yang cewe,” tegur perempuan semester ketiga itu.
“Iya, iya,” komentar malas keluar dari mulut Ilham, tapi dia manut saja.
“Kalian bahas hal itu jangan di sini lah. Mampus kalau ketahuan,” komentar Ilham setelah duduk disamping Aybe. 5 junior itu hanya nyengir, pura-pura tidak bersalah.
“Konon katanya dia bisa tahu apa yang kita katakan, jadi jangan bicara jelek soal dia,” tegur Ilham dengan nada berbisik. 5 junior itu menatap 2 senior mereka dengan tatapan terkejut.
“Putri,” nada dingin itu memasuki pendengaran tujuh orang yang sedang duduk di sana. Mereka menatap ke arah sumber suara. Seorang laki-laki dengan pakaian asisten lab pemrograman. Di dekat saku atas pakaiannya, tertulis jelas Soul_M_Vermillion.
‘Sial, gak bagus nih,’ gumam Ilham.
‘speak of the devil,’ gumam Aybe.
“Iya mas?” tanya Putri dengan nada sedikit bergetar. Laki-laki itu adalah orang yang mereka takuti, takuti karena kemampuan untuk mentidakloloskan mereka dalam praktikum mereka.
Kami semua kembali kala minggu pagi tiba. Upacara penutupan tidak memiliki banyak kesan. Semua sudah berlalu.Hanya saja. Rasa ini terus membuncah, dan aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Biarkan saja dia tenggelam dari hatiku, tidak pernah ada di sana.Dan tepat saat baru saja kami tiba di kampus, untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Arrow yang langsung berlari seperti kesetanan. Dia segera mengambil motornya, dan aku lihat dia seg
Desa tempat kami berada dapat dibilang lumayan besar. 412 Kepala Keluarga. Penduduknya 2.029 orang seluruhnya. Anak-anaknya 1.035, itu dari usia 6-18 tahun. Tugas kelompokku, dan beberapa lainnya, adalah mengedukasi 5 anak setiap kelompok. Untuk yang diajarkan, kami diharapkan bisa mengajarkan keilmuan yang mereka ingin pelajari serta memberikan motivasi kepada anak-anak tersebut.Pagi itu, setelah makan pagi, kami pergi ke balai desa untuk mengajar anak-anak. Ada juga yang mengajar ibu-ibu, ada yang membantu bapak-bapak membersihkan desa dan seterusnya.Aku dan kelompokku bertemu dengan lima anak yang akan kami berikan ilmu. Tiga orang laki-laki, dan dua orang perempuan. Dari penampilannya, mereka sepertinya sekitar 11 hingga 13 tahun. Mereka tampak senang
“Soul masuk rumah sakit?” tanya Abraham kepadaku. Aku hanya menganggukkan kepala. Malam di Enschede memang berbeda dengan malam di Indonesia. Salju berhamburan di seluruh kota ini. Kota yang berada dekat perbatasan dengan Jerman ini.“Kamu sudah mengerjakan tugas?” tanyanya lagi. Aku menganggukkan kepala.“Boleh pinjam? Aku mau cek aja,” tanyanya lagi. Aku serahkan satu kertas hasil pekerjaanku.“Terima kasih. Oh ya, mending kamu tidur aja. Ini dingin banget cuacanya,” komentar Abraham. Aku tetap memandang salju yang berjatuhan.“Tidak apa,&rdquo
Praktikum ke-4 akan dimulai minggu depan. Aku mencatat hal itu di buku catatanku. Tidak terasa aku mencapai minggu ke-10 kuliah.“Nuriya, waktunya tidur,” ucap ibuku dengan lembut dari depan pintu.“Siap bu.”Aku menutup buku catatan itu, lalu pergi tidur.Pagi hari itu, angkatanku dipanggil oleh senior-senior kami. Biasanya, aku tidak pernah peduli dengan kegiatan-kegiatan konyol dari para senior seperti ini, namun kali ini mereka mendesak dengan berbagai ancaman omong kosong yang membuat teman-temanku yang rajin panik luar biasa. Dengan b
Putri : “Assalamu’alaikum, baru dapat kabar dari Mas Arrow kalau praktikum ke-4 asistensinya akan di urus oleh Mas Mpu. Mas Soul sedang di opname.”Reza : “MAMPUS.”Lesmana : “Innalillahi, bagaimana bisa Dik Putri?”Putri : “Nggak tahu mba. Saya belum dapat informasi apa-apa.”Alisa : “GWS Mas Soul.”Ryanho :
“Kamu tampak lelah,” komentar Mas Fath. Aku hanya menggelengkan kepala. Di depan mataku ada laptop yang masih ku pakai untuk menyelesaikan tugas-tugasku. Tugas mata kuliah Proyek Besar lumayan menguras tenaga, apalagi tugas ini dilakukan selama satu semester. Besok jam 9 adalah kelasnya dan teman-temanku sangat kacau dalam membuat rancangan sistem alat yang ingin kami buat. Oh, aku menyesal mempercayakan mereka untuk hal ini.“Biarkan dia Mas Fath, dapat kelompoknya ampas di gacha,” komentar si menyebalkan Arrow. Komentar itu langsung di balas oleh Reynald yang duduk di sebelahku. Mas Fath berlal