Sosok wanita berdiri tegak menggunakan mahkota kebanggaannya menjulang tinggi bersama jubah sutra berwarna merah. Di sebelahnya, Sri Sultan Evren anaknya yang kini memimpin kerajaan Zengini. Mereka segera menuju aula kerajaan saat mendengar kabar dari salah satu prajurit jika Mustafa sudah memasuki istana.
Masih sambil terikat, Mustafa berjalan masuk ke dalam aula bersama Panglima dan beberapa prajurit.
“Menunduk!” teriak Panglima Asmat. Dia adalah pengawal setia Ratu yang sekarang menggantikan Akasma.
“Apa? Menunduk kepada siapa?” tanya Mustafa masih saja berdiri tegak. Sebilah pedang terangkat tinggi mengarah tepat di leher Mustafa yang masih sangat santai menerimanya. “Menunduklah,” ucap Asmat dengan pelan namun tegas.
“Aku akan menunduk kepada Ratu …” Mustafa menghentikan perkataannya. Dia menginginkan sebuah nama yang keluar dari mulut Ratu sendiri. “Ratu Deriya. Sebut namaku,” jawabnya singkat dengan tatapan tajam.
“Aku menghormatimu, Ibu Deriya,” jawab Mustafa menundukkan kepalanya.
“Aku bukan ibumu!” balas tegas Deriya.
“Sudahlah! Kau, Mustafa! Aku Sri Sultan. Menunduklah kepadaku, atau Panglima memenggalmu!” teriak Evren tidak membuat Mustafa melakukannya. Dia hanya diam berdiri terus menatapnya. Evren mengepalkan kedua tangannya. Dia meninggalkan singasana emasnya, berjalan mendekati Mustafa.
“Aku bilang menunduk!” teriak Evren semakin keras. Tangan kananya bergerak cepat mengambil pedang dari tangan Asmat yang akan menghempas leher Mustafa.
“Kau …” Evren tidak bisa menggerakkan tangannya. Dia tertahan tangan Mustafa yang mencengkeram pedang. Mustafa tidak merasakan sakit saat telapak tangannya mengeluarkan darah akibat goresan pedang. Kedua mata Evren semakin melotot tajam melihat Mustafa yang menyorotkan tatapan setajam pedang yang dia genggam.
“Aku hanya akan menundukkan tubuhku kepada ibumu, saudaraku,” jawab Mustafa menghentakkan tangannya membuat Evren tersungkur ke lantai.
“Masukkan dia ke dalam penjara!” teriak Deriya keras.
Panglima Asmat segera menarik Mustafa yang melempar senyum ke arah Deriya. Sang Ratu hanya memasang wajah dingin saat membalasnya.
“Kau sudah aku peringatkan untuk tidak melawannya. Kenapa kau langgar, Evren!” bentak Deriya membuat Evren memandangnya tegang. “Jangan pernah kau lakukan itu tanpa perintahku! Apa kau mendengarnya!”
“Aku adalah Sri Sultan! Jaga bicaramu, Ibu!” balas Evren berdiri, segera berjalan cepat mendekati ibunya sambil menunjukkan salah satu jarinya tepat di wajah Deriya. “Ingat, siapa yang membuatmu menduduki singasana ini,” balas Deriya pelan namun tegas. Dia membalikkan tubuhnya meninggalkan Evren yang semakin berteriak kesal.
“Argh! Aku akan membunuhmu, Mustafa!”
***
Mustafa mengamati istana yang sangat indah. Dia takjub dengan semua ukiran khas yang semakin membuatnya terpana. “Indah sekali,” batinnya.
Kini dia memasuki bagian istana yang semakin gelap dengan penerangan yang sangat sedikit. Penjara bawah tanah yang sangat mengerikan. Pandangan kekaguman mendadak berubah menjadi tajam.
“Jalan!” Asmat mendorong tubuh Mustafa namun sama sekali tidak bergerak.
Mustafa melangkah masuk ke dalam, membuat semua tawanan berdiri menatapnya. Kedua matanya membalas tatapan mereka dengan tegang. Semua tawanan yang sangat setia kepada Sultan Ali ayahnya, seakan merasakan jika sosok yang ditunggu mereka telah tiba. Wajah Mustafa yang sangat mirip dengan Sultan Ali, membuat semua tawanan tersenyum.
“Dia telah tiba! Mustafa!” teriak salah satu dari mereka.
Semua tawanan semakin berteriak menyebut nama Mustafa. “Sri Sultan Mustafa!” teriak mereka membuat Asmat kesal. Dia menghunuskan pedang sangat tinggi. “Diam! Atau kalian akan aku penggal!”
“Mereka … mengetahui namaku?” batin Mustafa semakin menatap semua tawanan yang menunduk seketika.
“Argh!”
Mustafa terkejut mendengar teriakan keras tiba-tiba terdengar berasal dari ruangan paling gelap.
“Mustafa …” Langkah Mustafa terhenti saat suara memanggil namanya semakin menyeringai di telinganya. Dia menatap sudut ruangan tergelap tanpa penerangan obor.
“Jalan!” teriak Asmat sama sekali tidak dihiraukan Mustafa. Dia masih berdiri tegak. “Aku bilang jalan!” Sekali lagi teriakan Asmat yang masih diabaikan Mustafa, membuatnya kesal. Dia melayangkan tangan kanannya untuk menampar Mustafa. “Rasakan!”
Mustafa dengan cepat menahan tangan Asmat, mencengkeramnya hingga urat nadinya sedikit membuat sesak. Mustafa masih diam menatap ruangan gelap yang seakan memanggilnya.
“Jika kau menggangguku, aku akan membunuhmu sekarang juga,” ucap Mustafa pelan penuh ancaman. Asmat melotot tajam dalam diam setelah Mustafa melepaskan cengkeramannya.
“Mustafa!” teriakan sosok laki-laki yang semakin keras, membuat Mustafa berlari kencang. Sekali tendangannya, membuat pintu bergembok sepuluh besi terbuka begitu saja. “Brak!”
“Mustafa,” ucap Burak tersenyum.
Selama dua puluh tahun, dia menguatkan tubuhnya di dalam penjara tergelap. Saat Agha membawa Mustafa pergi, Asmat masuk ke dalam kamar Akasma dan menangkapnya bersama para prajurit yang mengikutinya. Janji Asmat untuk memberikan kekuasaan, membuat semua prajurit melakukan itu. Burak yang sangat marah, berusaha melawan mereka. Namun dia terkena panah bius yang membuatnya pingsan seketika.
Asmat mengikatnya dengan rantai besi di kedua kaki dan tangannya. Dia berusaha menjalani kehidupan dengan makanan yang ada untuk menunggu Mustafa yang akhirnya datang.
“Siapa kau?” tanya Mustafa membuat Burak semakin tersenyum. “Panglima tertinggi prajurit Sri Sultan Ali ayahmu, Pangeran,” jawabnya membuat Mustafa semakin mendekat.
“Hentikan!” Asmat masuk ke dalam, bersama puluhan prajurit menghunuskan senjata.
“Mustafa, kembalilah tanpa diketahui mereka. Saat itu, lepaskan aku,” bisik Burak membuat Mustafa menganggukkan kepala.
Mustafa keluar dari ruangan Burak mengikuti Asmat yang kembali mengikatnya. Mustafa terus berjalan, kembali mendadak menghentikan langkahnya. Dia merasakan aroma darah yang menggetarkan jiwanya.
“Kau merasakan sesuatu? Yah, kau akan bersamanya. Wanita yang selalu saja membuatku sengsara. Kau akan tinggal di sana. Hahaha, masuklah!”
Asmat membuka ruangan Akasma. Perlahan Mustafa melangkah masuk ke dalam, tidak percaya melihat sosok wanita berdiri dengan tersenyum. “Ibu ..,” ucapnya lirih.
Akasma tertawa bahagia. Tawaan bercampur tangisan membuat Mustafa mengencangkan tangannya hingga tali yang mengikatnya terlepas. “Argh!” Dia berlari memeluk Akasma.
“Anakku, kau sangat gagah dan kuat. Ibu menunggumu,” ucap Akasma terus berlinang air mata kebahagiaan.
“Brak!”
Asmat menutup pintu rapat dengan puluhan gembok besi. Mustafa tidak mempedulikannya. Dia masih memeluk Akasma. Kedua mata Mustafa kembali memerah saat melihat tubuh ibunya menahan rantai dengan mengenaskan. Kedua tangannya spontan menarik semua rantai dengan keras. “Argh!” Kini rantai yang mengikatnya cukup lama terlepas. Akasma bisa menyentuh Mustafa dengan bebas. Mereka kembali saling berpelukan.
“Mustafa, dengarkan Ibu,” ucap Akasma membuat wajah Mustafa kembali tegang. “Keluarlah dari sini.” Mustafa tidak mengerti dengan permintaan Akasma. “Ibu, kenapa?”
“Dekati rakyat. Tunjukkan dirimu. Rakyat mengetahui namamu, Mustafa Zulfikar. Kau harus menjadi panutan mereka. Selir Deriya sudah merencanakan konspirasi ini. Dia bersama pengawal setianya Asmat yang melakukannya. Dua belas kerajaan ikut dalam konspirasi itu. Jika kau membawaku, maka rakyat akan menjadi korban."
“Bagaimana jika Deriya memenggal Ibu?”
“Dia tidak akan pernah tenang jika tidak melihatku menderita. Jaga rakyat, kembalilah untukku, anakku."
Mustafa memeluk Akasma sekali lagi. “Aku akan secepatnya kembali,” ucapnya membalikkan tubuh menuju pintu kemudian menghancurkannya. “Argh!”
"Dua hari lagi aku akan menjemputmu, Ibu." Mustafa melangkah keluar, kembali membuat semua tawanan sontak berdiri dan menunduk.
“Aku akan kembali. Kalian, berjuanglah di sini. Aku membutuhkan kalian untuk merebut milikku.”
“Kami akan menunggumu, Sri Sultan Mustafa!” teriak salah satu dari mereka disusul lainnya.
“Hidup Sri Sultan Mustafa!”
Mustafa berjalan memasuki ruangan Burak yang sekarang tidak tertutup rapat. “Panglima. Jaga ibuku sampai aku kembali,” ucapnya menarik semua rantai Burak hingga terlepas. “Argh!”
Dengan gagah Burak menatap Mustafa. Umurnya yang sudah setengah abad, tidak membuatnya lemah. “Aku akan melakukannya, Pangeran,” ucapnya sambil menundukkan kepala.
“Dua hari lagi, bertahanlah di sini. Aku akan kembali.”
Mustafa berlari saat prajurit mengetahui dirinya terlepas. Mustafa mengecoh mereka dan berhasil membuat dia menuju istana. Kedua matanya kembali terpana melihat keindahan istana megah dengan semua isinya.
“Cepat, cari dia!” Asmat sangat marah, membuat semua prajurit menutup jalan keluar istana.
Mustafa tersenyum melihat semua prajurit kebingungan mencarinya. Dia masih mengamati semua arah, hingga menemukan pintu yang berada di depannya.
“Bawakan kepalanya!” teriak Evren yang sangat marah saat mengetahui jika Mustafa berhasil kabur. Mustafa memutuskan membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya. Dia melihat kamar indah dengan semua bunga mawar yang sangat harum menyeruak penciumannya. Mustafa berjalan, lebih masuk ke dalam.
“Kau …”
Sosok Putri yang ditemui Mustafa di hutan, terkejut melihatnya. Dia tanpa berbusana, kebingungan berada di dalam kolam mandi melihat Mustafa tiba-tiba ada di hadapannya.
“Tangkap dia!” teriakan Evren di luar kamar membuat Putri Aigul melotot.
“Ceklek!”
Mustafa mendengar seseorang membuka pintu kamar. Mustafa kembali menatap Putri yang masih bergeming. Mustafa mendadak masuk ke kolam. Aigul semakin melotot, namun terdiam saat Mustafa tersenyum tampan dan menyentuh bibir sang Putri dengan jarinya. “Ssst!” Perlahan Mustafa masuk ke dalam air.
“Aigul!” teriak Evren masuk begitu saja. “Apa kau melihat seseorang?”
“Sangat tidak sopan masuk ke kamarku tanpa mengetuknya. Apa kau tidak melihat aku sedang mandi!” bentak Aigul membuat Evren diam menatapnya. Tanpa berbicara dia keluar begitu saja.
Aigul kembali menatap air yang sangat tenang. “Hah!” Mustafa keluar begitu saja di hadapannya. Mereka saling memandang.
“Ah!”
“Ah!” Aigul terkejut melihat Mustafa berdiri meraih kain yang berada di pinggir kolam. Dia menarik tubuh Aigul hingga berdiri, dengan kedua mata yang memejam. Aigul menarik napas saat Mustafa mendekapnya untuk terus melilitkan kain hingga akhirnya menutup tubuh indahnya. Iris cokelat indah milik Mustafa kini terlihat jelas saat terbuka. Mereka saling berpandangan dalam dekat. Aigul semakin bergetar. Kedua mata hitam miliknya sama sekali tidak berkedip menatap sosok tampan yang masih menyorotkan pandangannya. “Untuk apa menutupnya. Kau pasti sudah melihatnya di dalam air,” ucap Aigul terus menatap Mustafa yang masih diam membalasnya. “Apakah kau buronan?” bisik Aigul membuat Mustafa meliriknya. “Aku menutup kedua mataku. Maafkan aku, Putri Aigul,” balas Mustafa menunduk, melepaskan tangannya yang masih mendekap. Sejenak Mustafa masih menatapnya, hingga dia akhirnya melangkah untuk pergi. “Bukankah seorang laki-laki selalu mengambil kesemp
Rakyat masih saja menyambut kedatangan Mustafa. Mereka bersuka cita merayakannya. Namun tidak dengan beberapa pejabat istana yang menatap mereka dari kejauhan sambil menunggangi kuda berpelana emas. Pejabat yang sangat senang menyiksa rakyat dengan meminta pajak melebihi hasil setiap panen.“Ini sangat buruk. Kita harus melakukan sesuatu,” ucap Kepala Pejabat istana dengan tatapan dinginnya kepada pejabat bawahan lainnya.“Kita bisa memenangkannya. Kekuatan Ratu Deriya sangat hebat,” balas salah satunya.“Kau sangat tahu jika Panglima Asmat saja tidak berani turun sendiri saat menyerang bawah bukit selama bertahun-tahun. Bahkan saat dia memberanikan diri menemui Mustafa, berakhir dengan pelarian.” Kepala Pejabat berusaha menenangkan hatinya. Dia sangat paham jika perkataan Trisula tentang kekalahan Deriya setelah dua puluh tahun, akan segera terjadi.“Kita akan segera membicarakannya.” Kepala Pejabat memutar
Mustafa menarik Aigul menuju kursi, dan mendudukkannya. Dia masih diam tidak berkata apapun. Agha mendekatinya dengan membawa kain panjang bewarna merah yang dia ambil dari sandaran kursi. Kain yang biasa Aigul gunakan untuk menghiasi tubuhnya.“Agha ikat dia,” ucap Mustafa tegas sembari berdiri tegak di hadapan Aigul yang masih menatapnya dengan sedikit senyuman.“Agha, kau menunggu di sini. Jika dia berteriak, bungkam mu--.”“Dia berada di lapangan penggal. Ratu mengetahui rencanamu dari pejabat istana yang melihatmu datang menemui rakyat. Hanya dengan memenggal ibumu, kau pasti akan me-nye-rah.” Aigul mendadak membuat Mustafa menghentikan ucapannya. Kini Aigul semakin berbinar saat sosok idamannya berjalan ke arahnya dan melepaskan ikatan yang sudah dilakukan Agha.“Asal dekat denganmu, aku sudah sangat senang, Mustafa,” bisik Aigul sekali lagi yang masih tidak mendapat tanggapan dari Mustafa.&ldq
Pembebasan akhirnya berhasil dilakukan oleh Mustafa dengan bantuan rakyat, serta Burak bersama tawanan. Mereka sangat hebat melawan semua prajurit Deriya. Satu hal yang membuat Mustafa merasa lega, akhirnya sang ibu terselamatkan.“Akhirnya kau terselamatkan, Ibu,” batinnya terus menatap depan.Aslan masih saja menghentakkan kakinya diatas tanah dengan sangat cepat menyusul rakyat dan semuanya yang sudah berada di pemukiman.Mustafa yang masih berada di atas punggung Aslan, sebenarnya masih merasakan kegelisahan. Dalam perasaannya, dia sangat khawatir jika Deriya mengirimkan semua pasukannya untuk menyerang pemukiman, dan membuat semua rakyat akan kehilangan nyawa.“Aslan, kita harus cepat,” bisiknya sembari mengelus kepala Aslan yang semakin menambah kecepatan berlarinya.Rakyat bersuka cita menyambut kedatangan Mustafa bersama Aslan. Dia menepuk-nepuk Aslan, untuk mengurangi kecepatannya saat sampai di pemukiman. Mustafa s
Ciuman pertama terasa sangat indah. Mustafa dengan lembut bersama perasaan yang bergetar, melakukannya. Perlahan lidah mereka bersentuhan di dalam. Kenikmatan bercampur rasa cinta semakin membuat mereka enggan melepaskannya. Ciuman semakin dalam terjadi.Burak dari kejauhan menatapnya. Dia sangat bahagia melihat Mustafa tumbuh menjadi pemuda hebat. “Aku akan selalu melindungimu, Pangeran,” batinnya kemudian berlalu.***Mustafa melepaskan bibirnya dengan senyuman. Zivana sedikit menundukkan kepalanya karena rasa malu. Sontak jemari kanan Mustafa memegang dagu lancip Zivana untuk kembali terangkat. Kini mereka kembali berpandangan.“Kerajaan Alcatraz berada di bawah kekuasaan Ratu Deriya. Aku tidak akan pernah mengorbankan itu.” Zivana menggelengkan kepalanya. “Tidak!” ucapnya keras. “Bebaskan aku, Pangeran,” sambungnya.“Mustafa. Panggil aku dengan sebutan itu,” balas Mustafa membuat Zivan
Zivana merasa resah. Di dalam kamarnya, dia selalu menahan hatinya. Pikirannya bergelud tanya. Apakah Mustafa akan memegang janjinya? Hingga lamunannya teralihkan suara ketukan pintu.“Masuklah,” ucap Zivana sedikit keras.Pelayan wanita masuk membawa nampan dengan buah-buahan segar. Jemarinya dengan sigap mengatur semua isi nampan di atas meja. Zivana masih saja duduk sembari menggeleng pelan karena perasaan gelisah. Pelayan melirik Zivana, perlahan mendekatinya. “Apakah Putri ada masalah? Maafkan hamba yang lancang menanyakannya,” kata Pelayan masih menundukkan kepala.Zivana hanya sedikit tersenyum. Dia menganggap perasaan yang dia rasakan adalah pribadi. “Kau boleh keluar,” ujarnya membuat Pelayan masih diam di tempat.“Putri, maafkan hamba. Mungkin hamba terlambat mengantar buah kesukaan, Anda. Hamba harus mengantar Putri Aigul di sungai.” Pelayan masih saja menundukkan kepala sembari tersenyum dengan l
Mustafa bersama Zivana menemui Akasma yang sudah terbangun dan mendapatkan perawatan Safa. Mereka terkejut melihat Mustafa bergandengan tangan dengan seorang wanita sangat mesra.“Apakah ini Putri Zivana?” tanya Akasma masih mengembangkan senyuman. Akasma sangat mengenal kedua orang tua Zivana karena memang mereka bersahabat hingga Deriya melakukan konspirasi untuk menghabisi semuanya. Deriya tidak membunuh Zivana karena jika persembahan Aigul gagal, maka Zivana adalah sasaran selanjutnya.“Ratu, sangat bahagia, saya bisa bertemu dengan Anda,” balas Zivana menundukkan kepala, namun Akasma menahannya.“Jangan. Aku adalah ibumu. Dan Safa juga ibumu. Kami merestuimu, Putri.”Safa menganggukkan kepala, memeluk Zivana.Mustafa mengarahkan kepalanya kepada Sarman untuk mengikutinya. Mereka menuju ruangan pertemuan, diikuti Burak dan Agha.“Kerajaan mana yang harus aku taklukkan untuk pertama kalinya?&rdquo
Suasana malam semakin mencekam. Ribuan perajurit sudah siap dengan senjata mereka masing-masing. Mustafa menatap ke depan, melihat sesuatu yang sangat janggal. Seorang wanita terikat di atas menara kerajaan paling tinggi.“Panglima, sepertinya aku berubah pikiran. Aku akan melawan Spaden saja. Sampaikan tantangan ini kepada Panglima Spaden.”“Apakah ini cara terbaik?” tanya Burak memastikan.“Perhatikan atas istana. Jangan sampai raja itu merencanakan hal licik untuk kita.” Burak mengedarkan pandangan, kemudian menganggukkan kepalanya. Dia segera menghampiri Emir dan membisikkan sesuatu. Emir bersama pasukannya melakukan apa yang Burak katakan.Burak kembali mendekati Mustafa. “Pangeran, dia memiliki golok hebat.” Burak sedikit resah membiarkan Mustafa melawan raja yang terkenal pemangsa hewan melata.“Dia memiliki ilmu hitam dari Ratu Deriya. Ini kabar yang aku dapat dari salah satu pelayan yan