Share

Tertangkap

"Aku akan menemuinya."

Sosok cantik yang masih terlihat muda berumur empat puluh tahun, menggunakan jubah emas dan mahkota tertinggi bergelar wanita nomor satu di kerajaan, berjalan cepat menuju penjara ruangan bawah tanah dengan pencahayaan obor. Perasaannya bergelud tidak sabar menemui seseorang yang sangat dibencinya.

“Bukalah!”

Prajurit dengan sigap melakukannya. Kakinya melangkah pelan memasuki ruangan berdebu sangat panas.

“Apa yang kau inginkan?” tanya seorang wanita menahan perihnya rantai yang mengikat kaki dan kedua tangannya.

“Aku akan tetap memimpin kerajaan ini. Anakku sangat berhak dengan kedudukannya!” teriak Sang Ratu dengan keras.

“Kau bisa memenggalku dengan mudah. Kenapa kau tidak melakukannya,” ucap pelan wanita yang masih terikat dengan senyuman sinisnya.

“Aku akan membuatmu menderita, saat kau melihat anakmu itu mati di depanmu,” jawab Ratu membuat sang Wanita terkekeh.

“Haha! Apa kau tidak mendengar ahli ramal yang kau usir dengan mengenaskan itu? Mereka tidak pernah bohong. Anakku Sri Sultan Mustafa Zukfikar akan membebaskanku. Kau--.” Kedua matanya semakin melotot tajam, dengan telapak tangannya yang mengepal, sedikit melangkah mendekati wanita yang sebenarnya bisa memenggalnya saat itu juga. “Akan terbakar di dalam ranting yang sudah aku siapkan itu,” bisiknya membuat Ratu meraih pedang, menghunuskan tepat di leher Akasma.

“Kau, yang akan terbakar di sana!”

***

Senyuman kembali terlihat saat Mustafa sampai di atas bukit. Dia mengikat kudanya di batang pohon dengan kuat. “Aku harus pulang. Kau sebaiknya menungguku di sini,” ucapnya menepuk-nepuk tubuh kuda yang mengeluarkan suaranya seakan menjawab apa yang Mustafa sampaikan.

Dia segera mengambil pedang Azeam, sejenak menatapnya dengan senyuman. “Kau sangat indah,” batinnya sembari memasukkan ke dalam sarungnya kembali dan menyelampirkan ke tubuhnya.

Dari ketinggian, Mustafa melompat ke bawah. Derasnya air terjun, dan semilir angin, membuat dia memejamkan kedua mata saat tubuhnya masih melayang. Dengan tersenyum, dia masuk ke dalam sungai. Kekuatannya membuat dia dengan mudah melakukannya. 

Dia berenang ke tepian, melihat Agha sudah berdiri tegak menunggunya. “Pangeran, kenapa Anda melompat dari bukit setinggi itu? Ada jalan pintas jika kita melewati goa di sebelah bukit itu. Kita bisa menuju ke atas.”

Mustafa berkacak pinggang sedikit menggeleng. “Kau selalu terlambat mengatakannya, Agha,” jawab Mustafa tersenyum kemudian berjalan cepat menuju pemukiman penduduk bawah bukit.

Agha sejenak menganga sembari menggeleng, membayangkan kembali saat Mustafa melompat dari atas. Memang itu adalah hal mustahil yang bisa dilakukan oleh orang lain. “Pangeran Mustafa memang yang terhebat,” batinnya segera berlari menyusul Mustafa.

Sebuah pemukiman dengan penduduk tidak lebih dari lima ratus orang, tinggal di bawah bukit. Mereka tinggal di sana sudah puluhan tahun. Saat itu Ayah Mustafa membiarkan hal itu karena keinginan mereka ingin memiliki budaya sendiri. Sultan Ali merahasiakan keberadaan mereka untuk kebaikan. Dia tidak mau jika pertentangan akan menimbulkan pertumpahan darah. Hingga Ratu mengetahui keberadaan Mustafa di sana dan selalu saja menyerangnya, namun gagal.

“Anakku Mustafa, kau sangat membuat kami cemas.” Seorang wanita yang sudah mengasuhnya bernama Safa memeluk Mustafa dengan erat. Sementara, Sarman suami dari Safa tersenyum mendekati Mustafa dan membelai kepalanya.

Agha sudah menceritakan siapa Mustafa kepada semua warga yang semula tidak mempercayainya. Namun mereka melihat air terjun yang seketika hening menghentikan arusnya. Semua dupa yang terletak di bebatuan terhempas mengeluarkan cahaya leluhur. Dengan cepat cahaya itu mengelilingi tubuh Agha. Warga seketika menunduk dan mempercayai perkataan Agha. Kini semua warga menyambut Mustafa dengan kebahagiaan.

Sementara, di atas bukit, panglima kerajaan Zengini bersama ratusan prajurit tersenyum sinis menatap daerah bawah bukit.

“Serang mereka, dan bawa Mustafa.”

“Baik, Panglima!”.

***

Mustafa menemui semua warga yang berkumpul dengan bersuka cita. Mereka tidak percaya jika penerus Sultan Ali yang sah ternyata ada di antara mereka. Jasa Sultan Ali terhadap kedamaian kehidupan mereka selalu membekas. Mereka saat itu mendengar jika Sultan Ali mengalami nasib buruk dari salah satu penduduk yang memang bertugas mengamati keadaan atas bukit. Mereka segera melakukan penghormatan leluhur untuk mendoakannya, hingga menemukan Agha dan Mustafa ketika bayi.

“Ayah akan membantumu mengambil kembali kerajaan yang menjadi milikmu, anakku. Pasukan Ayah cukup banyak.”

“Mustafa tidak akan mengorbankan penduduk bawah bukit, Ayah. Ada pasukan yang memang sudah ditakdirkan untuk membantuku,” ucap Mustafa membuat Sarman memeluknya. “Jagalah dirimu, dan bebaskan semua rakyat.” Mustafa menganggukkan kepala sembari tersenyum.

“Pedang itu …” Sarman terkejut saat Mustafa menyodorkan tepat di hadapannya. Sarman bergetar menyentuhnya. Dia tidak percaya jika legenda itu benar nyata. “Ayah hanya mendengar dari semua orang. Sekarang pedang ini benar-benar ada.”

“Jagalah, pedang ini, Ayah. Hingga aku datang kembali untuk mengambilnya.” Tangan Sarman bergemetar, menerimanya. Anggukan senyuman, membuat Mustafa membalasnya, “Terima kasih, Ayah.”

“Bagaimana jika kita merayakannya.” Safa mendadak menarik Mustafa keluar rumah. Dia tidak percaya melihat nyanyian dan tarian membuat semua orang larut dalam suasana sukacita. Mereka saling menarik untuk melakukan dansa bersama di tengah-tengah halaman dengan api unggun.

Ketika sedang asik berdansa, Mustafa spontan terdiam mengangkat tangan kanannya. Dia merasakan sesuatu yang semakin mendekat. “Hentikan!” teriaknya sembari melompat ke arah Sarman dan menangkap anak panah yang hampir saja menembus jantungnya. Sarman melotot tegang melihat itu.

Semua mata lantas langsung terbelalak dan teralihkan. Dalam kegelapan, perlahan Panglima muncul dengan tegak berdiri bersama puluhan prajurit. Mustafa mengkerutkan alis, menarik Safa ke belakang tubuhnya.

“Apa kau mau diriku?” tanya Mustafa. Saat kedua matanya bertumbukan dengan sorot tajam Panglima, dia semakin berteriak, “Bawa aku!”

Tanpa berbicara, Panglima mengangkat tangannya. Puluhan prajurit mengikat tangan Mustafa dan membawanya.

“Mustafa …,” lirih Safa sembari berlinang air mata.

Sarman mengepalkan kedua tangannya dan bersiap untuk menyerang. Namun dia mendadak menahan semua penduduk yang sudah siap dengan senjatanya, saat melihat Pangeran meliriknya dengan senyuman. Sarman yakin jika Mustafa memberikan keputusan yang terbaik.

“Kenapa kita tidak menolongnya?” tanya Safa sendu.

“Dia tidak akan terluka. Jika kita melawan, bukit ini akan dihiasi darah. Mustafa terlahir dengan kekuatannya. Aku percaya kepadanya. Dia akan meminta bantuan kita jika saatnya tiba. Saat itu, kita akan menolongnya dengan nyawa kita.”

“Hidup Sri Sultan Mustafa!” teriak keras Sarman membuat semua penduduk mengikutinya.

“Hidup Sri Sultan Mustafa!”

***

Mustafa berjalan dengan kedua tangan yang terikat dan tersambung dengan tubuh kuda. Dia sesekali menerima pecutan yang menebas punggungnya. Panglima semakin tersenyum puas saat melihat Mustafa menerimanya. Luka yang tergores sama sekali tidak membuat Mustafa lemah. Bahkan pecut hitam berserabut terlepas menjadi dua saat menghempas punggung kekar itu ketiga kalinya.

“Dia memang sangat kuat. Apa yang dikatakan Burak adalah sebenarnya.” Panglima mengangkat tangan agar prajurit menghentikannya. “Hentikan! Mungkin lebih baik kita berlari agar dia terseret,” ucap Panglima tersenyum sinis.

“Hiya!” Panglima mulai menghentakkan kudanya diikuti seluruh prajurit.

Mustafa berlari kencang saat Panglima dan seluruh prajuritnya semakin menghentakkan kuda. Mereka tidak percaya melihat Mustafa bisa berdampingan dengan kuda saat berlari. Kakinya sekuat singa, membuat Mustafa mudah melakukannya.

Tatapan tajamnya terus menjurus ke depan, saat kerajaan megah Zengini berada di hadapannya. Mendadak Mustafa menghentikan kakinya. "Aku merasakan aroma itu," batin Mustafa merasakan seorang wanita yang sedarah dengannya memberikan senyuman, merasakan kehadirannya.

***

“Mustafa Zulfikar …” Akasma berdiri tegak memandang pintu yang masih bergembok besi. Dia memejamkan kedua matanya dengan tersenyum. Hatinya bergetar merasakan kehadiran anaknya semakin dekat. Aroma keringat Mustafa menusuk penciumannya.

“Mustafa, anakku …”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status