Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak.
"Amarah masih menutup logikamu, anak manis." Tegas Kakek mengurai belitan tangannya pada kedua lengan sang cucu. Merasa tercambuk jiwa raga, Srikandi melepaskan diri, bergerak menjauh dengan kembali memasang kuda-kudanya. Bersiap menyerang Kakek.
Serangan kedua pun gagal, kakek masih dengan mudahnya mematahkan pukulan dan tendangan dari sang gadis. Hingga Srikandi menyerah, melarikan diri dan duduk kesal di atas batu melebar.
Suara terkekeh, membuatnya melepas nafas kasar. Biar bagaimanapun, ia masih belum bisa menandingi Kakek yang tingkat keilmuannya telah menggunung. Tak hanya itu, pengalaman lebih banyak mengajarkan segalanya.
"Sampai kapanpun, penyerang tak akan pernah menang saat dibarengi dengan amarah. Amarah hanya akan menghilangkan konsentrasimu, nak." Kakek menyusul duduk di sebelah Srikandi.
"Pikiran apa yang sedang mengganggu benakmu, cucuku?" Tanya Kakek menatap serius gadis tertunduk menetralkan desak nafas yang masih memburu.
"Tidak ada, Kek. Mungkin karena sudah terlalu lelah," Jawabnya tak ingin diketahui pikiran telah terberat sebenarnya.
"Minumlah." Sebuah tempat minum dari bambu terangsur ke depan Srikandi, ia menerimanya meneguk air dingin itu hingga tak tersisa. Air dingin menyejukkan, yang dapat meredam gemuruh dalam hati dan dadanya sejak tadi.
Gadis muda itu bersiap kembali, berdiri tegak untuk mengatur hati dan nafas. Tangan dan kakinya bergerak perlahan memasang kuda-kuda. Disambut angin bertiup sejenak, memainkan rambut panjang dan ujung pakaiannya.
"Tingkatkan konsentrasi. Jangan terkecoh oleh apapun!" Kakek memberikan komando.
Srikandi berputar, satu pukulan terlempar, menimbulkan kilatan cahaya. Kilatan-kilatan itu semakin sering, dan menerbangkan dedaunan kering yang ada di tanah dan di ujung dahan, seiring dengan pukulan tangan serta tendangan yang tersaji.
Gadis itu kembali dari atas, berdiri sigap di depan Kakek yang tersenyum bangga. Keduanya mengangguk bersamaan, seperti telah sepakat untuk sesuatu.
Srikandi rupanya ingin mencoba jurus yang pernah diberikan sang Kakek guru. Gadis muda itu berdiri tegak, memejamkan matanya sejenak untuk memusatkan pikiran.
"Percayalah pada dirimu sendiri, Srikandi. Tenangkan pikiran, jangan mudah memanjakan amarah yang akan menjadi bumerang bagimu." Ucap Kakek menjadi penghantar baginya untuk mulai menggerakkan tangan.
Gerakan kedua tangan sang gadis membentuk cahaya menyilaukan, saat telah siap, ia lepaskan ke segala penjuru. Menimbulkan ledakan-ledakan besar di sana. Efek kejutnya menerbangkan dedaunan kering, juga merontokkan sebagian besar daun dari atas pohon. Berjatuhan mengenai kepala kakek dan Srikandi yang mengakhiri jurusnya.
Malam sepi itu menjadi bergemuruh beberapa saat, menyambut riuh jurus yang berhasil Srikandi lepaskan tadi. Ia sigap, spontan menangkis tangan Kakek yang tiba-tiba datang menyuguhkan pukulan.
Srikandi yang mengira akan kembali mendapatkan serangan, terus mempertahankan posisinya. Namun Kakek tersenyum, mendekat dan menepuk pundaknya beberapa kali.
"Bagus. Kakek bangga padamu." Suara tegas bernada lembut itu menutup gerakan Srikandi, ia pun turut mengulas senyum. Menyatukan kedua tangan ke depan dada, membungkuk takzim.
___________Sudah sejak subuh tadi Srikandi terjaga, bahkan dirinya menyambut surya pagi yang masih malu-malu menampakkan kilaunya beberapa saat lalu. Kini, ia bisa rasakan hangatnya cahaya keemasan menerobos celah-celah dinding kayu di salah satu sisi kamar.
Bungkusan kain telah siap di samping badan, juga pedang tersarung yang kata kakek sebagai teman setia seorang pengembara. Berdasarkan kesepakatan bersama kakek kemarin, pagi ini ia akan berangkat meniti perjalanan dunia luar.
Derit pintu kayu membuatnya menoleh ke asal suara. Kakek muncul dengan wajah tak seperti biasanya. Pria tua itu duduk dengan wajah tertunduk lesu.
"Kau akan berangkat pagi ini?" Suara serak terdengar membuat hati mendadak ragu, tetapi Srikandi telah bertekad. Maka ia menjawab, "iya, Kek."
"Kakek sejak awal telah menyiapkan semua ini, cucuku. Cepat atau lambat kita pasti akan berpisah, kau pasti akan pergi meninggalkan kakek. Karena Kakek harus menyambut masa tua ini, sementara kau telah ditunggu tugas di luar sana." Kakek menjeda kalimatnya, menunggu sang cucu menyahut. Namun, gadis muda itu hanya menunduk dengan anggukan samar.
"Kau harus pergi, dan ingat selalu pesan Kakek."
"Iya, Kek."
Kemudian, seiring dengan merangkaknya bola berpijar di atas sana, Srikandi tiba di pinggir hutan. Di sini, ia kenakan topeng yang akan menutup semua identitasnya dari siapapun.
Gadis itu berdiri di atas dataran lebih tinggi dari yang lain, memungkinkan wilayah istana di sana terlihat dengan jelas. Semilir angin mengibarkan rambut dan ujung pakaian panjang, usai menarik nafas dalam-dalam, ia pasang pedang di belakang.
Dengan tekad membara, ia berlari mengiringi angin. Kencang dan semakin kencang, ia rasakan badan dan langkah kaki seringan kapas. Bahkan langkahnya kian panjang dan tinggi menyamai pucuk pohon, membuatnya bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.
Ilmu meringankan tubuh yang kakek berikan kala itu, dapat ia praktikkan dengan baik. Langkah itu berhenti, lalu berjalan pelan saat tiba di ujung pasar.
Pasar yang sejak dulu tak banyak berubah. Pasar luar istana yang menjadi pusat kegiatan masyarakat kota. Ia melipir ke belakang bangunan warung saat melihat iring-iringan kereta istana.
Di atas kereta mewah itu, duduk seorang pria tinggi besar dengan kumis lebat di bawah hidung tinggi. Memamerkan betapa tinggi ambisinya sebagai seorang penguasa.
Mahkota emas yang bertahta di atas kepala, menutup rambut keriting sebahu, juga tatapan tegas, menampakkan betapa berkuasa dirinya atas semua yang ada di negeri ini. Melihat sosok itu, rahang Srikandi mengeras. Karena titah raja sombong itu, seluruh keluarganya habis dibantai saat ia masih kecil.
Maka tekad kuat kembali mencokol dalam hati, membuatnya berpikir keras untuk bisa masuk ke istana. Sepeninggal iring-iringan kereta istana tadi, Srikandi singgah di sebuah warung makan tengah pasar. Mengabaikan tatapan aneh dari semua orang di sana.
Ia menyibukkan diri dengan makanan, agar tak menjadi pusat perhatian orang-orang karena dirinya yang mengenakan topeng.
"Lihat, lihat. Ada lowongan pekerjaan di istana, jadi pelayan keluarga baginda Raja. Ada yang mau apa tidak?"
"Wah, yang benar? Memangnya butuh berapa orang? Aku mau ikut."
"Aku juga."
"Aku juga."
Percakapan beberapa gadis muda menarik perhatian Srikandi di tempatnya. Ia mendengarkan dengan seksama, tanpa memperlihatkannya pada siapapun. Mendadak, gagasan bagus melintas dalam benak.
Bukankah baru saja ia menginginkan agar bisa masuk istana. Maka dengan perekrutan pelayan itu, membuka peluang besar baginya. Tak menunggu gerombolan gadis yang sedang membahas caranya mendaftarkan diri itu, ia melangkah pergi.
Menyendiri di pinggir hutan tak jauh dari kota raja. Yang ia lakukan saat ini adalah mengganti pakaian seperti gadis desa kebanyakan, dengan melepas atributnya sebagai seorang pendekar. Pedang yang masih tersarung itu, ia lebur membentuk cahaya kecil dan masuk ke dalam urat nadi.
Penyamaran berhasil. Pendekar perempuan muda itu telah berubah menjadi gadis desa yang benar-benar ingin mencari pekerjaan di kota raja. Kini langkahnya tergesa menghadap penjaga pintu gerbang istana.
Pintu gerbang yang tingginya tiga kali lipat dari tinggi gadis itu. Srikandi bahkan sempat memicingkan mata saat penasaran melihat ke atas pintu.
Ia berhasil mendaftar sebagai pelayan keluarga raja. Serangkaian tes telah diikuti, saat ini ia duduk bersimpuh bersama belasan pendaftar lainnya, untuk menunggu hasil pengumuman tiba.
Seorang wanita berbadan gempal datang, berdasarkan perkenalan tadi, ia adalah kepala pelayan di istana ini.
"Baiklah, saya akan mengumumkan hasil tes tadi. Seperti yang dibutuhkan yaitu sebanyak lima orang." Kepala pelayan itu mulai mengumumkan. Satu persatu nama telah disebut, hingga genap empat orang. Tinggal seorang lagi, Srikandi mendongak penasaran.
"Nama yang terakhir adalah, Tirta Amarta." Srikandi tersenyum sumringah.
***
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu