Share

Pembagian Tugas

"Baiklah, saya akan mengumumkan hasil tes tadi. Seperti yang dibutuhkan yaitu sebanyak lima orang." Kepala pelayan itu mulai mengumumkan. Satu persatu nama telah disebut, hingga genap empat orang. Tinggal seorang lagi, Srikandi mendongak penasaran. 

"Nama yang terakhir adalah, Tirta Amarta." Srikandi tersenyum sumringah.  Nama yang baru saja ia gunakan untuk mendaftar tadi, rupanya lolos juga. Maka, mulai saat ini dan seterusnya, namanya adalah Tirta Amarta. 

"Yang merasa namanya saya panggil tadi, silahkan ikut saya," Kepala pelayan itu menegaskan, membuat sebagian besar gerombolan gadis desa itu mendesah gelisah. Bubar dengan langkah lunglai. 

Rata-rata mereka adalah berasal dari kalangan petani, yang benar-benar sangat menginginkan pekerjaan ini. Menurut mereka, gajinya cukup besar. 

Sementara lima orang dengan nama terpanggil, menyusul wanita gempal memasuki lorong ruang panjang hingga tiba di ujungnya. Wanita tadi berhenti di depan pintu berjajar menyerupai deretan kamar. 

"Ini kamar kalian, kalian bisa memilihnya satu-satu." Sesuai instruksi itu, pelayan baru segera masuk ke kamar masing-masing. Amarta yang bergerak belakangan kebagian kamar paling ujung. 

Namun keuntungan tersendiri baginya, karena di samping kamar itu terdapat teras yang langsung terhubung ke halaman belakang seluas lapangan. Tak segera masuk seperti yang lain, ia malah sibuk mengamati sekeliling. 

"Kau, siapa namamu tadi?" Sebuah suara mengagetkannya. "Oh, saya Amarta, Bu."

"Panggil saya Bibi. Kenapa kau tak segera masuk? Apa kau tidak suka mendapatkan kamar paling ujung?" Tanya Bibi itu menyelidik. Dari cara menatapnya, terlihat sekali ia wanita yang telah terlatih dan berpengalaman di bidangnya. 

Amanah sebagai seorang kepala pelayan istana, Bibi pasti dituntut untuk selalu teliti dengan semua pelayan dan yang dikerjakannya. "Oh, bukan begitu, Bibi. Saya malah senang di sini," Amarta menjawab jujur. 

Ia kembali mengamati arah teras dan halaman di belakang, memungkinkan baginya untuk bisa keluar kapan saja tanpa ada yang tau. Saat mengembalikan arah pandang, ternyata Bibi masih menatap heran padanya. 

"Apa ada yang aneh? Kau cukup mencurigakan," Komentar bibi harusnya membuat Amarta terkejut, tapi ia bisa menyembunyikan rasa itu. Karena paham, ucapan Bibi itu adalah wajar. Siapapun yang akan bekerja di istana harus dipastikan orang-orang mencari upah, bukan yang lain. 

Hal ini menjadikan pengalaman pertama baginya, bahwa pegawai di sini tidak boleh terlihat mencurigakan. Jika itu terjadi, hukuman dan pemecatan pasti terjadi. Maka Amarta tersenyum santun, membungkuk untuk memberikan penghormatan pada pelayan seniornya. 

"Tidak, Bibi. Maaf atas kelancangan saya. Saya masuk dulu."

"Bergegaslah. Satu jam lagi, kita berkumpul di tempat tadi untuk pembagian tugas, sekaligus pengenalan istana ini pada kalian semua."

"Baik, Bibi." Bibi pergi, Amarta pun masuk ke dalam ruangan untuk tempatnya beristirahat selama bekerja di istana ini. 

Di dalam, ia masih sibuk mengamati ruangan tak luas itu. Namun, cukup nyaman jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya bersama kakek selama ini. Jika di sana, ia hanya tidur di atas dipan beralaskan tikar pandan. Di sini, ia dapat tidur nyenyak di atas kasur lentur, juga selimut tebal. 

Yang ia sayangkan adalah, kamar ini tak memiliki jendela. Dari bentuknya, mungkin kamar para pembantu di sini memang didesain  tak memiliki jendela. Hanya ada dua hal di kamar ini, yang menguntungkan baginya. 

Dekat dengan teras, juga daun pintu yang berkunci. Maka ia bebas melakukan apapun di kamar ini, tanpa ada siapapun yang melihatnya. 

Waktu satu jam yang diberikan, ia gunakan untuk menata pakaian dan istirahat. Jika yang lain benar-benar menggunakan waktunya untuk beristirahat, maka tidak dengan dirinya. Amarta malah sibuk memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti. Bisakah ia berhubungan langsung dengan keluarga raja? Lalu bagaimana caranya? 

Hampir setengah jam ia merenung, hingga tanpa sadar matanya terpejam entah berapa lama. Ingatannya mendesak terkumpul saat terdengar gedoran tak sabar dari arah pintu. 

"Iya, sebentar," Ucap gadis itu menegakkan badan dengan mengucek mata. Perjalanan panjang, juga olah fisik semalam, rupanya membuat mata tak bisa diajak berkompromi. 

"Kau ini benar-benar mau bekerja apa tidak? Teman-temanmu sudah berkumpul, kau masih tidur seperti ini!" Baru saja membuka pintu, langsung disambut dengan kalimat pertanyaan mengomel pedas. 

Mendengar hal itu, jiwa mudanya bergolak seketika. Ditatapnya tajam tanpa takut kepala pelayan itu sambil mengeraskan rahang, hingga membuat wanita di depannya mengerjap panik. 

Namun tak berlangsung lama, Amarta segera mengendalikan diri. Teringat akan tekad dan janjinya untuk bisa masuk istana ini dengan cara apapun. 

"Iya, Bibi, maaf. Aku tertidur terlalu lama, maklum saja, Bibi. Sebagai gadis desa, baru di sini aku bisa merasakan tempat tidur hangat," Ujarnya berkelakar, berharap suasana tegang sesaat itu segera mencair. Namum ia tak mendapatkan respon yang berarti, hanya dengusan singkat dari Bibi kemudian berlalu. 

"Sudah ayo. Aku heran, di antara kalian, kau paling aneh!" Masih terdengar jelas Bibi itu merutuk sambil melangkah cepat, dan Amarta mengekor di belakangnya hingga tiba di aula tadi. 

Pembagian tugas berlangsung dengan cepat, memang ada yang ditugaskan menjadi pelayan pribadi Raja dan Permaisuri, tetapi bukan Amarta. Ia malah mendapat tugas di dapur, melayani keluarga Raja saat makan saja. 

"Bibi, apa tugas ini tidak boleh diganti?" Tanya Amarta, sejujurnya kecewa dengan tugas yang hanya menjadi pelayan dapur. Padahal keinginannya adalah selalu bisa dekat dengan Raja. 

"Untuk sementara tidak. Memangnya kau ingin tugas yang mana?"

"Pelayan Raja, Bibi. Bukankah upahnya lebih besar?" Amarta memberikan alasan yang tidak mencurigakan, dengan cara berfikir seperti yang lainnya. Menginginkan upah besar. 

"Untuk sementara upahnya sama. Namun, jika pekerjaan makin bagus. Nanti bisa digeser jadi pelayan Raja. Saya menempatkan kau di dapur adalah, karena sikapmu yang tak seperti yang lain. Juga teledor."

Benar. Amarta membenarkan dalam hati, dan ia memang harus sabar untuk itu. "Iya, Bibi. Saya mengerti."

"Baik, kalau begitu, mari saya antarkan kalian ke tempat tugas masing-masing." Ajak wanita itu berjalan mendahului semua pekerja baru itu. 

Semua orang terkagum-kagum setiap melewati ruangan mewah bernuansa klasik. Terangguk paham mendengarkan penjelasan dari Bibi sebagai kepala pelayan itu. 

Sebelum berjalan ke tempat terakhir, yaitu di kamar sang Raja, Bibi terlebih dahulu berhenti. Menatap satu persatu pekerja barunya itu. "Ada yang ingin ditanyakan?" 

"Tidak, Bi."

"Kalau begitu, kita akan ke depan kamar baginda Raja. Tapi ingat, jaga sikap dan jangan berbicara apapun di sana, kecuali penjelasan saya. Paham?"

"Paham, Bibi." Semuanya berjalan. Amarta yang melangkah paling belakang mendadak tegang entah kenapa. Baginya, masuk ke ruangan pribadi petinggi negeri ini, seperti hendak menunggu putusan agung. 

Pintu lebar terbuka, semua masuk setelah bibi berada di dalam. Seperti yang perintahkan sebelumnya, di kamar luas nan menakjubkan ini mereka semua terdiam. Tegang tanpa berani menggerakkan badan, termasuk Amarta. 

Apalagi melihat seorang ratu sedang duduk di depan cermin, meski pada usia yang tak lagi muda, tetapi wajah cantiknya tetap melekat. Seumur hidup, baru kali ini Amarta melihat langsung Permaisuri sang Raja. 

"Siapa yang akan bertugas di sini, Bibi?" Tanya Permaisuri melangkah mendekati enam orang perempuan yang masih berdiri tak jauh dari pintu. 

"Yang ini, Permaisuri. Dia yang akan menggantikan pelayan lama, untuk menjadi pelayan pribadi Permaisuri dan Baginda Raja." Hanya anggukan samar, lalu kembali pada posisi semula. Mungkin memang begitulah sikap seorang ningrat pada kasta rendah. 

Amarta meremang di tempatnya, tak sabar ingin menggantikan temannya itu untuk bisa bekerja di kamar luas ini. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status