Share

Srikandi Antara Dendam Dan Cinta
Srikandi Antara Dendam Dan Cinta
Penulis: Siti Marfuah

Amarah

Sepasang netra bening itu menatap nanar, pada daratan luas yang dipenuhi puing-puing berserakan. Reruntuhan perumahan menjadi pemandangan memilukan di sepanjang penglihatan. 

Menampilkan slide demi slide, rentetan kekejaman di masa lalu. Bagaimana puluhan orang berseragam prajurit, dengan tombak tajam di tangan kanannya, menyerbu tanpa ampun pemukiman itu. 

Langkah gadis dua puluh tahunan itu terhenti pada sebuah bekas rumah tak berbentuk. Sepasang netra menatap tajam, memerah, hingga tanpa terasa genangan mulai memenuhi pada sudut-sudutnya. 

Masih terlihat jelas orang-orang di rumah itu. Sepasang suami istri dengan segala upayanya, melindungi ke empat anak yang masih kecil. Masih terlihat jelas, bagaimana beberapa orang asing menerobos masuk, menghajar seorang pria hingga limbung. 

Nasib pria itu berakhir saat sebuah tombak terlempar kuat, dan menghujam tepat pada jantungnya. Ia ambruk dengan diiringi teriakan histeris dari istri dan ke empat anaknya. Ia menghembuskan nafas terakhir, dengan tangan terulur ke arah sang istri yang telah dicekal tiga orang asing. 

Dua orang anak telah berhasil dilumpuhkan, darah segar mengalir di leher dan mulutnya. Tak menunggu hitungan menit, tubuh mungil itu jatuh tak bergerak. Dua lainnya berteriak ketakutan, melihat sang ibu tanpa busana dan menjadi bulan-bulanan beberapa orang asing itu. 

Sang Ibu menjadi pemuas hasrat bejat, hingga tak sadarkan diri dan salah satu lantas membebaskannya dari siksaan kejam. Membebaskannya dengan cara memisahkan nyawa dari raga, setelah dirasakan telah mampu menuntaskan kehausan nafsu masing-masing orang. 

Tersisa dua orang anak, mereka berlari sekuat tenaga. Salah satu menyelinap di bawah rerimbunan, dan satu lagi menghembuskan nafas terakhir tak jauh darinya. 

Srikandi. 

Gadis enam tahunan itu membekap mulut kuat-kuat, dengan mata berair hingga terasa perih. Tetap berada di tempat tanpa berani menggerakkan badan sedikitpun, apalagi saat rombongan orang asing tadi mondar-mandir tak jauh darinya. 

Mereka pasti mencari anak yang kabur tadi, karena berdasarkan titah sang Raja, daerah ini harus luluh lantah. Tak boleh ada satupun yang tersisa, sebab bisa saja menumbuhkan benih baru sisa-sisa pemberontakan itu. 

Maka Srikandi pun tetap bertahan di sana, hingga mereka pergi dengan sumpah serapah. Saat di rasa telah aman, gadis kecil itu keluar dari tempat persembunyian, mendekati kakak lelakinya yang telah terbujur kaku. Rupanya, punggung sang kakak telah bersarang mata tombak, hingga menembus dada. 

"Kakak .... " Rintih sang gadis memeluk erat badan Lakak yang telah memayat.

Srikandi. 

Gadis kecil yang harus menyaksikan semua kejadian tak beradap itu. Ia tergugu seorang diri, di tengah wilayah penuh  genangan darah dan aroma kematian mencekam. 

Kesadarannya memulih pada waktu masa kini. Gadis dua puluh tahunan itu ambruk, kedua tangannya mencengkeram bumi. Dengan mata berair dan rahang mengeras, mewakili hasrat dendam yang kian membara. 

"Ayah, Ibu. Aku akan menuntut balas, atas ketidakadilan ini!" Lirihnya dengan tekad kuat menggelegak. 

__________________

"Srikandi, cah ayu. Kakek perhatikan dari tadi kau terus melamun," Ucap Kakek menyusul duduk di depan sang gadis. Srikandi, ia hanya melirik Kakek dengan seulas senyum tipis dipaksakan. "Ada apa?" Tanya Kakek. 

Tak lantas menjawab, Srikandi malah membuang tatapan ke arah persawahan luas membentang di bawah sana. Entah telah berapa tahun ia dibesarkan oleh Kakek baik hati, di rumah terpencil ini. 

Satu-satunya rumah di atas bukit, yang disuguhi pemandangan memanjakan pada kanan dan kirinya, di sepanjang mata memandang. Indah, nyaman dan tenang. Itulah kesan yang ia dapatkan selama berada di sini. Namun, sejak ia melihat bekas pembantaian di wilayah masa kecilnya, entah mengapa jiwa mudanya kian bergolak. 

"Kek, sampai kapan Srikandi akan tetap tinggal di rumah ini?" Tanya sang gadis, tatapannya masih menerawang ke pemandangan luas di bawah sana. Kakek, pria lima puluh tahunan itu tersenyum lembut, beliau paham apa maksud yang ditanyakan Srikandi. 

"Apa kau sudah bosan hidup di sini dengan kakek?" Tanyanya, Srikandi mendongak. Menemukan sepasang manik tegas menatap lembut, dari balik rambut memutih menjuntai di luar ikat kepala. Mengetahui sang Kakek menebak sangat tepat, gadis itu menurunkan sorot netra. 

"Srikandi ingin sekali melihat keadaan dunia luar, Kek." Ia mendongak, sepasang tangan kokoh yang mulai berkerut halus itu menyentuh pundaknya. Kedua tangan itulah yang sejak kecil merawat, juga memberikan bekal hidup berupa ilmu bela diri. 

"Srikandi, cucuku. Ingatlah, jangan sekali-kali berniat mengembara hanya karena menyimpan dendam. Akan sia-sia semua ilmu yang Kakek ajarkan padamu selama ini," Pesan sang Kakek seraya menatap lekat sepasang netra bening berwarna hitam kehijauan. Srikandi menunduk, menyimpan wajah yang bisa saja berubah akibat pesan Kakek barusan. Ia mengangguk takzim. 

"Jadikan pengalaman memilukan itu sebagai cambuk kekuatan, untuk tetap kuat melangkah di bumi fana ini. Jangan sekalipun terbersit dalam pikiranmu, untuk balas dendam, cah ayu. Ingat itu."

"Iya, Kek. Saya tau." Hanya itu jawaban singkat yang keluar dari mulut sang gadis. Maka Kakek tersenyum bangga, menepuk lembut pundak yang dulu ringkih dan pilu itu. 

"Kakek percaya padamu," Ucap Kakek. "Memang telah waktunya kau pergi mengembara, cucuku. Kau pasti ingin seperti Kupu-kupu di luar sana, yang bebas mengepakkan sayap kemanapun sesuai kata hati."

"Bukankah telah waktunya saya untuk  mengamalkan ilmu yang Kakek ajarkan pada saya selama ini," Sang gadis bersurai panjang menimpali. Kakek mengangguk tegas, membenarkan ucapan murid yang telah dianggap seperti anak sendiri. 

"Asalkan kau mau berjanji dengan Kakek."

"Apa itu, Kek?" Tanya Srikandi penasaran. 

"Pergunakan ilmu yang kau miliki itu hanya pada jalan yang benar. Kakek khawatir, masih ada setitik amarah dalam dirimu." Pesan sang kakek, Lagi-lagi membuat mata bening berhias bulu lentik itu mengerjap. 

Sepak terjang Kakek yang telah puas dengan kejamnya dunia persilatan, membuat pria tua itu tau,  hati mana saja yang tulus dan palsu. 

___

Ketika langit mendatangkan kelam malam, menggilas terang menjadi gulita. Lalu menghamparkan benda berpijar, berserakan di angkasa raya. Menggiring angin lembut beraura mistis, menuntun sebagian makhluk melepas lelah dalam peraduan masing-masing. 

Namun, hal itu tak berlaku bagi seorang gadis muda. Tak peduli pekatnya malam kian mencekam, burung hantu dan longlongan hewan buas terdengar pada setiap sudut hutan. 

Tak peduli dengan badan bersimbah peluh, Srikandi terus bergerak. Mengayun pedang, menebas ruang kosong, mencipta keseimbangan seperti yang telah diajarkan dari sang Maha guru. 

Bayangan darah segar memuncrat dari mulut Ayah, membuat gerakannya semakin membabi buta. Tak peduli apapun di depan, tangannya terus menebas. Bayangan Ibu yang berteriak memilukan, digilir beberapa orang prajurit istana, membuat badan Srikandi melenting ke udara. 

Satu teriakan tertahan, dibawanya kembali. Sebuah pohon besar menjadi sasarannya, hanya dengan sekali tebasan ia tinggalkan dengan menjejak bumi. Pohon besar itu patah dan terjatuh ke tanah, menyisakan nafas memburu dalam dada yang masih bergolak. 

Samar suara tepukan tangan mengembalikan kesadarannya. Ada Kakek berdiri di hadapan dengan memasang kuda-kuda. Tanpa aba-aba, pria tua yang telah kenyang asam garam dunia persilatan itu melancarkan serangan bertubi. 

Srikandi yang masih menata nafas, ia kehilangan keseimbangan. Pedang ditangan malah tertangkis sang kakek, dan terlempar entah kemana. Beberapa kali hendak menangkis tangan Kakek yang bergerak seperti angin, ia tak kuasa. 

Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak. 

"Amarah masih menutup logikamu, anak manis."

----***----

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sipik Rusli
ingin ikut baca tapi takut kecewa ceritanya takut tidak tamat juga. thor kira kira sampai tamat dak nulis novel ini?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status