Perjalanan menuju Gang Soang, untuk mencari seorang tunangan yang hilang, tetap aku lanjutkan. Walau dengan hati yang galau dan merana, aku tetap bertekad untuk membantu Reyhan.
Tak akan aku biarkan Reyhan tahu kalau aku sedang galau karena sudah dengan cepat mengharap cintanya.Oh, Tuhan ... kenapa Engkau hukum Siska dengan jatuh cinta secepat kilat kepada Reyhan ini?"Masih jauh ya?" tanya Reyhan secara tiba tiba. Mungkin dia bosan karena sedari tadi aku hanya diam dan membiarkan mulutku ini bungkam dari ocehan."Bentar lagi." Aku menjawab sekenanya. Karena memang, Gang Soang sebentar lagi akan dijumpai."Neng Siska?" Seseorang memanggil. Aku menoleh sinis. Dari suaranya saja, aku sudah tahu bin hapal, kalau itu adalah suaranya di mas Jaka buncit. Manusia badut yang hobinya kawin terus. Ialah si mas Jaka, pemeran antagonis yang semalam ada dalam mimpi burukku.Hii ... Mengingat kembali soal mimpi buruk semalam, rasanya aku pengen nendang dia saat ini juga.Huh! Dalam mimpi aja dia bikin aku kesal. Dan bisa bisanya dia sekarang muncul di hadapanku.Dasar sial! Dan memang sial hari ini. Udahlah aku galau gara gara cinta tak sampai. Sekarang, aku kesal karena di samperin badut gang sebelah."Neng? Neng Siska?" panggilnya lagi. Aku tetap cuek. Tak mau menyahut, apalagi sampai menunjukkan senyumku yang manis ini padanya.Idih, amit amit deh!"Mas Jaka manggil manggil, kok Neng Siska gak nyahut sih?" tanyanya sambil melirik tak suka ke arah Reyhan yang memang berada di sebelahku.Ya Tuhan ... Siska kesel!Sejak kapan dia ada di hadapanku? Pakai menghadang alias ngalangin jalan segala lagi. Bikin mood tambah rusak aja!"Mau apa?" tanyaku ketus.Si Mas Jaka buncit itu cengengesan, persis banget kayak orang kesambet Saiton."Ini siapa, Neng?" tanya mas Jaka tak suka.Hem, kayaknya ini bisa dijadikan kesempatan buat menjauhi Mas Jaka agar laki-laki itu menjauh dan tidak terus menerus mengganggu hidupku."Emh, ini? Kenalin mas Jaka. Ini pacar baru Siska. Jadi, gak usah ganggu Siska lagi, oke?"Tuh, tuh, tuh ... Lihat deh wajahnya si mas Jaka buncit itu. Wajahnya langsung merah, udah persis kayak tomat busuk.Syukurin! Emangnya enak di kerjain?!"Neng Siska pasti bercanda 'kan?" Si Mas Jaka masih saja tetap tak mau percaya.Haduh! Ribet banget ini orang. Tinggal percaya aja apa susah nya sih?"Terserah, mau percaya atau enggak, itu urusannya mas Jaka. Bukan urusan Siska!"Aku pergi meninggalkan Si mas Jaka buncit itu sambil menggandeng tangan Reyhan. Dapat aku lihat, jika saat ini wajahnya tengah kebingungan karena ulah aku yang mengatakan Jika dia ini adalah pacar baruku.Dari belakang aku dengar jika si masnya Kak buncit itu berteriak memanggil namaku sambil meneriakkan rasa ketidakpercayaannya akan hubunganku dengan Reyhan.Ah, peduli amat. Kutinggalkan saja dia dengan hatinya yang patah akibat aku tolak.Hari ini kembali cerah. Walau hatiku tetap mendung. Tapi tak apa, aku sudah bertekat untuk membantu laki laki tampan ini untuk mengarungi Gang Soang, tempat yang katanya sedang ia cari. Karena di sini, sedang berada tunangannya yang hilang.Aku melihat Reyhan mengernyitkan dahi saat melihat sebuah plang bertuliskan 'Gang Soang lehernya panjang.'"Beneran ini gangnya?" tanya Reyhan padaku. Ia seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat di plang tersebut. Aku langsung menganggukkan kepala dengan yakin."Heem. Let's go! Kita cari tunangan kamu yang ilang itu di gang leher panjang!""Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s