Share

Bab 3

"Emm, kok bisa sampai ke sini?" tanyaku padanya. 

"Aku nggak dipersilakan duduk gitu?" tanya Gea sambil menunjuk kursi di teras. Aku menganggukkan kepala dan menggiringnya ke teras. Kami duduk berjejer, sedangkan Mas Haris mendadak masuk lagi ke dalam. 

Aku terdiam sejenak, mengingat ia yang sempat membuatku marah pada Mas Haris, tidak ada yang memulai pembicaraan, hingga akhirnya Gea bangkit. 

"Loh mau ke mana? Belum aku suguhkan minum," kataku spontan ketika melihat Gea berdiri. 

"Aku kayak patung, jadi mendingan pulang," sindir Gea. 

"Oh memang kalau pulang ke mana?" tanyaku basa-basi. 

"Rumahku lagi renovasi, baru beli seminggu yang lalu di perumahan ini juga, tapi blok depan, yang lebih komersil," terangnya sambil menunjuk ke arah depan. 

Aku menggigit bibir mendengar ucapannya, blok paling depan termasuk mahal, hebat juga dia bisa beli rumah di sini tanpa ambil yang subsidi pula. 

"Oh ya, Gea, aku mau tanya sedikit, beberapa hari lalu kamu yang berikan screenshot status suamiku, lalu kamu sempat bilang bahwa Mas Haris tega mengkhianati padahal sudah dibantu keuangannya, ini aku lupa tanya memang kamu tahu apa tentang keuangan keluargaku? Perasaan nih, aku nggak pernah cerita tentang hal ini."

Selagi ingat aku lontarkan pertanyaan yang beberapa hari lalu lupa aku tanyakan, karena terlalu emosi dengan screenshot yang Gea berikan. 

"Oh aku tebak aja kok," jawabnya. "Terus, bagaimana tentang wanita yang ditulis suamimu itu, bener kan Mas Haris selingkuh? Dia nulis status di grup desa, sekarang satu desa ramai loh, kamu sih nggak ikut grup," kata Gea lagi dengan penuh antusias. 

Aku menghela napas, Kamu nggak jadi pulang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

Gea melihat jam tangan, lalu menjatuhkan lengannya lagi. 

"Aku boleh bermalam di sini nggak, Len? Rumahku kan lagi renovasi, masa iya aku tidur di rumah yang berantakan." Aku terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sembarang tempat. 

"Maaf, Gea, rumahku hanya ada satu kamar, yang kamar belakang untuk barang-barang Sisil, maaf ya," ucapku sengaja menolak. 

"Memang kamu nggak punya saudara? Lagian kan kamu udah bersuami, kalau nginap di sini ya nanti rumahku penuh," sanggahku mencari alasan. 

"Aku sekarang sendirian, Len, suamiku udah pergi entah ke mana, surat cerai udah kupegang kok," jawab Gea. 

Aku mengangguk dengan dada bergetar. Janda? Gea itu janda? Kenapa aku baru tahu hal ini sekarang? 

"Apalagi kamu janda, kalau bermalam di rumahku bisa timbul fitnah," tambahku lagi. 

"Ya sudah, kalau nggak boleh nggak apa-apa, semoga rumah tangga kamu langgeng ya, Len," ujar Gea sambil mengelus-elus bahuku. 

Kemudian, Gea pergi dari rumah ini. Aku pun masuk ke dalam dan menghampiri Mas Haris. Ia sedang menerima telepon serius. Beberapa menit kemudian, Mas Haris meletakkan ponselnya dan bicara padaku dengan raut wajah yang semringah. 

"Sayang, barusan bos aku telepon, mulai besok dia pensiun dan aku naik jabatan jadi manager," terang Mas Haris dengan senyum mengembang. Aku pun ikut bahagia, karena akhirnya impiannya menjadi nyata, kerja sudah 15 tahun lamanya kini diangkat menjadi manager. Kemungkinan gajinya pun akan ikut naik menyesuaikan jabatan yang ia punya. 

"Selamat ya, Mas, otomatis gaji kamu naik, aku ikut bahagia," tuturku dengan rona merah di pipi. Saking bahagianya, aku mengurungkan niat untuk menanyakan gosip di desanya yang kata Gea santar dan ramai mendulang komentar. Aku takut merusak kebahagiaan kami. 

"Iya, terima kasih juga kamu sudah temani aku dari nol, Elena, sudah membantuku mencari nafkah juga," jawabnya disertai membelai rambut ini dengan mesra. 

***

Dua bulan sudah Mas Haris naik jabatan, dan dua bulan berlalu juga Gea tak pernah menunjukkan batang hidungnya. 

Mas Haris sudah sah mendapatkan jabatan manager, ia beranikan diri untuk membeli mobil dengan cara kredit. Aku tidak melarangnya, karena semenjak menjadi manager, Mas Haris memberikan aku jatah bulanan tiga juta rupiah. Gaji menulisku pun tak lagi dipakai olehnya untuk menutupi sehari-hari. 

"Akhirnya kita nggak kehujanan dan kepanasan lagi kalau pergi," ucap Mas Haris. 

"Iya, Mas. Itu Sisil bahagia banget lihat mobil terparkir depan rumah," timpalku sambil menoleh ke arah Sisil. Posisi kami berdua menyandar di dekat mobil sambil melihat anak kami yang turun naik ke mobil barunya. 

Kami berjalan-jalan sekadar keliling perumahan, dan melewati rumah yang sudah hampir jadi. Ada Gea berdiri di depan rumahnya sambil mengamati tukang yang sedang merapikan alat-alat. 

"Mas, itu Gea, kita berhenti dulu," kataku sambil menepuk tangannya. 

"Nggak ah, kita pulang aja ya," sahut Mas Haris. Ia menolak untuk mampir. 

Aku terdiam sambil gerutu dalam hati. 'Kenapa tiap bicara tentang Gea, ia berusaha mengelak atau menghindar, atau karena almarhumah kakaknya adalah mantannya?' 

Mobil Mas Haris melaju kembali ke rumah, terparkir di teras yang biasanya hanya ada motor matic saja. Kini mobil Terios putih yang mengisi parkiran. 

Selang satu jam, saat matahari hampir tenggelam, kami yang sedang duduk di teras kedatangan tamu tak diundang. Gea menghampiri dengan berjalan kaki, lenggak-lenggok dengan mengenakan baju hitam bawahan rok mini, kakinya yang sedikit seksi dibalut sepatu high heels warna hitam. 

Mas Haris menutup wajahnya dengan telapak tangan seraya tak mau menatap Gea yang datang. Aku yang sesekali melihat wajah Gea pun sempat memergoki ia melirik ke arah Mas Haris. 

"Hemm, mobil barunya sudah sampai rumah nih, traktir dong!" ejek Gea membuatku menautkan kedua alis. Terkejut dengan ucapannya barusan yang menggoda mobil baru kami, padahal dua bulan aku tidak pernah bertemu bahkan bertukar kabar sekali pun tidak pernah. Dari mana wanita ini tahu bahwa Mas Haris ambil mobil? 

Mas Haris pun ikut terkejut dengan ledekan Gea, ia membuka telapak tangannya yang menutupi wajahnya. 

"Kok Gea bisa tahu kamu ambil mobil, Mas?" tanyaku dengan disertai sorotan tajam, mata ini sesekali berpindah ke arah wanita yang sudah menyandang gelar janda itu. 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status