"Emm, kok bisa sampai ke sini?" tanyaku padanya.
"Aku nggak dipersilakan duduk gitu?" tanya Gea sambil menunjuk kursi di teras. Aku menganggukkan kepala dan menggiringnya ke teras. Kami duduk berjejer, sedangkan Mas Haris mendadak masuk lagi ke dalam.
Aku terdiam sejenak, mengingat ia yang sempat membuatku marah pada Mas Haris, tidak ada yang memulai pembicaraan, hingga akhirnya Gea bangkit.
"Loh mau ke mana? Belum aku suguhkan minum," kataku spontan ketika melihat Gea berdiri.
"Aku kayak patung, jadi mendingan pulang," sindir Gea.
"Oh memang kalau pulang ke mana?" tanyaku basa-basi.
"Rumahku lagi renovasi, baru beli seminggu yang lalu di perumahan ini juga, tapi blok depan, yang lebih komersil," terangnya sambil menunjuk ke arah depan.
Aku menggigit bibir mendengar ucapannya, blok paling depan termasuk mahal, hebat juga dia bisa beli rumah di sini tanpa ambil yang subsidi pula.
"Oh ya, Gea, aku mau tanya sedikit, beberapa hari lalu kamu yang berikan screenshot status suamiku, lalu kamu sempat bilang bahwa Mas Haris tega mengkhianati padahal sudah dibantu keuangannya, ini aku lupa tanya memang kamu tahu apa tentang keuangan keluargaku? Perasaan nih, aku nggak pernah cerita tentang hal ini."
Selagi ingat aku lontarkan pertanyaan yang beberapa hari lalu lupa aku tanyakan, karena terlalu emosi dengan screenshot yang Gea berikan.
"Oh aku tebak aja kok," jawabnya. "Terus, bagaimana tentang wanita yang ditulis suamimu itu, bener kan Mas Haris selingkuh? Dia nulis status di grup desa, sekarang satu desa ramai loh, kamu sih nggak ikut grup," kata Gea lagi dengan penuh antusias.
Aku menghela napas, Kamu nggak jadi pulang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Gea melihat jam tangan, lalu menjatuhkan lengannya lagi.
"Aku boleh bermalam di sini nggak, Len? Rumahku kan lagi renovasi, masa iya aku tidur di rumah yang berantakan." Aku terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sembarang tempat.
"Maaf, Gea, rumahku hanya ada satu kamar, yang kamar belakang untuk barang-barang Sisil, maaf ya," ucapku sengaja menolak.
"Memang kamu nggak punya saudara? Lagian kan kamu udah bersuami, kalau nginap di sini ya nanti rumahku penuh," sanggahku mencari alasan.
"Aku sekarang sendirian, Len, suamiku udah pergi entah ke mana, surat cerai udah kupegang kok," jawab Gea.
Aku mengangguk dengan dada bergetar. Janda? Gea itu janda? Kenapa aku baru tahu hal ini sekarang?
"Apalagi kamu janda, kalau bermalam di rumahku bisa timbul fitnah," tambahku lagi.
"Ya sudah, kalau nggak boleh nggak apa-apa, semoga rumah tangga kamu langgeng ya, Len," ujar Gea sambil mengelus-elus bahuku.
Kemudian, Gea pergi dari rumah ini. Aku pun masuk ke dalam dan menghampiri Mas Haris. Ia sedang menerima telepon serius. Beberapa menit kemudian, Mas Haris meletakkan ponselnya dan bicara padaku dengan raut wajah yang semringah.
"Sayang, barusan bos aku telepon, mulai besok dia pensiun dan aku naik jabatan jadi manager," terang Mas Haris dengan senyum mengembang. Aku pun ikut bahagia, karena akhirnya impiannya menjadi nyata, kerja sudah 15 tahun lamanya kini diangkat menjadi manager. Kemungkinan gajinya pun akan ikut naik menyesuaikan jabatan yang ia punya.
"Selamat ya, Mas, otomatis gaji kamu naik, aku ikut bahagia," tuturku dengan rona merah di pipi. Saking bahagianya, aku mengurungkan niat untuk menanyakan gosip di desanya yang kata Gea santar dan ramai mendulang komentar. Aku takut merusak kebahagiaan kami.
"Iya, terima kasih juga kamu sudah temani aku dari nol, Elena, sudah membantuku mencari nafkah juga," jawabnya disertai membelai rambut ini dengan mesra.
***
Dua bulan sudah Mas Haris naik jabatan, dan dua bulan berlalu juga Gea tak pernah menunjukkan batang hidungnya.
Mas Haris sudah sah mendapatkan jabatan manager, ia beranikan diri untuk membeli mobil dengan cara kredit. Aku tidak melarangnya, karena semenjak menjadi manager, Mas Haris memberikan aku jatah bulanan tiga juta rupiah. Gaji menulisku pun tak lagi dipakai olehnya untuk menutupi sehari-hari.
"Akhirnya kita nggak kehujanan dan kepanasan lagi kalau pergi," ucap Mas Haris.
"Iya, Mas. Itu Sisil bahagia banget lihat mobil terparkir depan rumah," timpalku sambil menoleh ke arah Sisil. Posisi kami berdua menyandar di dekat mobil sambil melihat anak kami yang turun naik ke mobil barunya.
Kami berjalan-jalan sekadar keliling perumahan, dan melewati rumah yang sudah hampir jadi. Ada Gea berdiri di depan rumahnya sambil mengamati tukang yang sedang merapikan alat-alat.
"Mas, itu Gea, kita berhenti dulu," kataku sambil menepuk tangannya.
"Nggak ah, kita pulang aja ya," sahut Mas Haris. Ia menolak untuk mampir.
Aku terdiam sambil gerutu dalam hati. 'Kenapa tiap bicara tentang Gea, ia berusaha mengelak atau menghindar, atau karena almarhumah kakaknya adalah mantannya?'
Mobil Mas Haris melaju kembali ke rumah, terparkir di teras yang biasanya hanya ada motor matic saja. Kini mobil Terios putih yang mengisi parkiran.
Selang satu jam, saat matahari hampir tenggelam, kami yang sedang duduk di teras kedatangan tamu tak diundang. Gea menghampiri dengan berjalan kaki, lenggak-lenggok dengan mengenakan baju hitam bawahan rok mini, kakinya yang sedikit seksi dibalut sepatu high heels warna hitam.
Mas Haris menutup wajahnya dengan telapak tangan seraya tak mau menatap Gea yang datang. Aku yang sesekali melihat wajah Gea pun sempat memergoki ia melirik ke arah Mas Haris.
"Hemm, mobil barunya sudah sampai rumah nih, traktir dong!" ejek Gea membuatku menautkan kedua alis. Terkejut dengan ucapannya barusan yang menggoda mobil baru kami, padahal dua bulan aku tidak pernah bertemu bahkan bertukar kabar sekali pun tidak pernah. Dari mana wanita ini tahu bahwa Mas Haris ambil mobil?
Mas Haris pun ikut terkejut dengan ledekan Gea, ia membuka telapak tangannya yang menutupi wajahnya.
"Kok Gea bisa tahu kamu ambil mobil, Mas?" tanyaku dengan disertai sorotan tajam, mata ini sesekali berpindah ke arah wanita yang sudah menyandang gelar janda itu.
Bersambung
Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris. Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan. "Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya. "Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh. Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera. "Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil. "Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil. "Aku ikut," celetuk Gea membuat da
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. "Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. "Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. "Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. "Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamk
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be