Ketika hendak membuka pesan yang dikirim Gea. Mas Haris terbangun. Aku pun terkejut dan sontak melepaskan ponsel yang kugenggam.
"Loh kok kamu belum tidur? Masih marah?" tanya Mas Haris. Aku pun melengos darinya.
Ia yang tahu aku sedang merajuk pun mendengus. "Dek, aku sudah bilang status itu bukan aku yang buat," kata Mas Haris sambil berusaha merayu.
"Mas, aku mau tidur, perlahan juga bangkai akan tercium," cetusku lagi.
"Ya, buktikan saja," sahutnya.
Kemudian, kami tidur saling membelakangi. Namun, mata ini masih belum mampu terpejam, masih menari-nari goresan luka itu di dalam dada ini.
'Kalau bukan Mas Haris, lalu siapa yang buat status itu?' tanyaku di dalam hati.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Gea, dia bilang bahwa aku sudah membantu suami tapi masih dikhianati. Itu artinya dia tahu aku berprofesi sebagai penulis, padahal tidak ada yang tahu selain suamiku.
Jari ini mulai mengusap layar ponsel milikku sendiri. Mencari tahu tentang Gea di sosial media. Aku buka akun utama yang berteman dengannya, bukan akun nama pena sebagai penulis. Namun, ternyata nama Gea sudah tidak ditemukan dalam pencarian teman.
Deg! Jantungku berdegup sangat kencang, itu artinya akun utamaku diblokir oleh Gea. Wanita yang kukenal adik dari mantannya suamiku.
Gea adalah adiknya Tiara, usianya memang lebih muda dariku dua tahun, tapi kami pernah satu kantor dan berteman dengan baik pada 12 tahun silam. Makanya, hubungan kami seperti teman layaknya saja, tidak ada batasan umur karena usia hanya terpaut 2 tahun. Kakaknya, Tiara sudah meninggal tiga tahun lalu karena depresi berat yang akhirnya mencelakai dirinya sendiri. Itu cerita yang kutahu tentang Gea dan Tiara.
Aku cari kontak Mas Haris juga, ternyata sama, tidak ada di pencarian pertemanan di akun utama. Itu artinya aku diblokir olehnya. Akhirnya kuputuskan untuk pindah akun penulis. Aku cari nama mereka berdua meskipun tidak berteman seharusnya ketemu, tapi ini tidak juga, itu artinya akun penulis pun diblokir.
'Baiklah, tenang, Elena, jangan panik baru diblokir suami dan teman dekat. Bisa cari informasi dengan membuat akun baru,' gumamku dalam hati mencoba menenangkan diri.
Aku tengok kembali bobot tubuh Mas Haris, ternyata ia sudah mendengkur, aku langsung meraih ponselnya lagi. Sekejap aku mengusap layar ponsel ternyata aku sudah tidak dapat menggeledah karena harus memakai kode.
"Kenapa dikunci kalau memang tidak ada apa-apa? Aku jadi semakin curiga, Mas," ucapku pelan bicara sendirian.
Akhirnya aku belum bisa membuka isi pesan messenger Gea dengan Mas Haris. Jadi aku harus mencari tahu dengan cara lain. Sebaiknya aku istirahatkan badan dulu, besok akan kucari tahu lagi tentang Gea ini.
***
Adzan subuh sudah terdengar, aku bangun dan bersiap membuat sarapan. Namun, hati kecil enggan melayani suami yang kuanggap memanfaatkan pekerjaanku yang menghasilkan uang. Jadi, mulai pagi ini tidak ada sarapan di meja makan.
Mas Haris sudah rapi hendak berangkat bekerja, di sebuah pabrik yang gajinya hanya mengandalkan gaji pokok saja. Namun, aku tak pernah meminta jatah lebih dari dua ratus ribu rupiah setiap minggunya.
"Kok nggak ada sarapan, Dek?" tanyanya membuatku menatapnya.
"Sarapan beli sendiri ya, uang dua ratus ribu seminggu untuk makan malam aja dan jajan Sisil," ucapku agak ketus.
"Kamu marah gara-gara handphone aku kunci? Lagian lancang amat d******d messenger segala, kenapa d******d messenger? Masih nggak percaya pada suami sendiri?" tanya Mas Haris seakan menantang.
"Kamu masih berhutang penjelasan dengan status di grup. Lalu Gea ngapain messenger kamu? Hah!" cecarku padanya.
"Itu pesan dari Gea udah lama banget belum aku buka, tiga tahun lalu pas Tiara dikabarkan meninggal dunia," terang Mas Haris.
Aku bergeming seketika, apa dia sudah jujur? Atau ini alibi saja? Sederet pernyataan muncul di kepala.
"Kalau begitu, ponsel nggak usah dikunci, dan kasih tahu aku messenger dari Gea," pintaku pada Mas Haris. Ia langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengusap dan setting handphone tanpa kode lagi.
"Sudah nih, silakan baca sekalian inbox dari Gea, aku aja sengaja nggak baca, kamu malah penasaran, tiga tahun loh aku tidak buka chat darinya," terang Mas Haris.
Akhirnya aku baca pesannya, ternyata benar yang Mas Haris katakan, pesan itu dikirim 3 tahun yang lalu.
"Kamu nggak mau baca isinya, Mas?" tanyaku padanya. "Ini pesan dari Tiara loh sebelum meninggal," tambahku lagi setelah membaca pesan itu.
[Mas Haris, aku hanya mau bilang bahwa Mbak Tiara meninggal karena depresi berat, ia sangat mencintaimu, Mas.]
Empat pesan yang ditulis secara berturut-turut itu isinya tentang kabar Tiara. 'Apa Gea yang sengaja menulis status itu untuk menghancurkan hubunganku dengan Mas Haris? Tapi kok sangat anehnya dia tahu profesiku yang sebagai penulis?' tanyaku dalam hati.
"Hanya itu isinya? Ah dari dulu gosip itu kan memang selalu dilontarkan keluarganya, tapi aku nggak pernah menanggapi karena memang sudah memiliki istri dan anak," ungkap Mas Haris membuat dahiku mengkerut. Lalu aku harus percaya atau tidak? Kalau apa yang dikatakan Mas Haris itu memang masuk akal.
Akhirnya kami berbaikan kembali. Mas Haris pun berangkat kerja setelah kubuatkan nasi goreng untuk sarapannya.
***
Hari begitu cepat, sampai akhirnya weekend pun tiba. Masalah tiga hari yang lalu membuat hubungan kami berdua semakin erat, tidak ada yang aneh dengan sikap Mas Haris di rumah.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi, aku segera membuka pintu dengan semangat. Handle pintu kutarik dan alangkah terkejutnya aku melihat kedatangan Gea hari ini. Sosok wanita yang 12 tahun lamanya hanya berjumpa melalui sosial media, kini ia muncul di hadapanku.
"Hai, Len, maaf ya aku mampir nggak bilang-bilang, tadi kebetulan lewat aja," ucap Gea.
Aku pun tidak menyangka akhirnya ia sampai ke sini. Padahal kami sekarang tinggal di kota sedangkan Gea di desa.
Mas Haris berdiri tegak setelah melihat kedatangan Gea. Bibirnya ia basahi dan membelah rambutnya sambil tersenyum padanya.
Bersambung
"Emm, kok bisa sampai ke sini?" tanyaku padanya. "Aku nggak dipersilakan duduk gitu?" tanya Gea sambil menunjuk kursi di teras. Aku menganggukkan kepala dan menggiringnya ke teras. Kami duduk berjejer, sedangkan Mas Haris mendadak masuk lagi ke dalam. Aku terdiam sejenak, mengingat ia yang sempat membuatku marah pada Mas Haris, tidak ada yang memulai pembicaraan, hingga akhirnya Gea bangkit. "Loh mau ke mana? Belum aku suguhkan minum," kataku spontan ketika melihat Gea berdiri. "Aku kayak patung, jadi mendingan pulang," sindir Gea. "Oh memang kalau pulang ke mana?" tanyaku basa-basi. "Rumahku lagi renovasi, baru beli seminggu yang lalu di perumahan ini juga, tapi blok depan, yang lebih komersil," terangnya sambil menunjuk ke arah depan. Aku menggigit bibir mendengar ucapannya, blok paling depan termasuk mahal, hebat juga dia bisa beli rumah di sini tanpa ambil yang subsidi pula. "Oh ya, Gea, aku mau tanya sedikit, beberapa hari lalu kamu yang berikan screenshot status suamiku,
Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris. Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan. "Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya. "Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh. Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera. "Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil. "Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil. "Aku ikut," celetuk Gea membuat da
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. "Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. "Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. "Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. "Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamk
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha