Share

Bab 2

Ketika hendak membuka pesan yang dikirim Gea. Mas Haris terbangun. Aku pun terkejut dan sontak melepaskan ponsel yang kugenggam. 

"Loh kok kamu belum tidur? Masih marah?" tanya Mas Haris. Aku pun melengos darinya. 

Ia yang tahu aku sedang merajuk pun mendengus. "Dek, aku sudah bilang status itu bukan aku yang buat," kata Mas Haris sambil berusaha merayu. 

"Mas, aku mau tidur, perlahan juga bangkai akan tercium," cetusku lagi. 

"Ya, buktikan saja," sahutnya. 

Kemudian, kami tidur saling membelakangi. Namun, mata ini masih belum mampu terpejam, masih menari-nari goresan luka itu di dalam dada ini.

'Kalau bukan Mas Haris, lalu siapa yang buat status itu?' tanyaku di dalam hati. 

Tiba-tiba aku teringat kata-kata Gea, dia bilang bahwa aku sudah membantu suami tapi masih dikhianati. Itu artinya dia tahu aku berprofesi sebagai penulis, padahal tidak ada yang tahu selain suamiku. 

Jari ini mulai mengusap layar ponsel milikku sendiri. Mencari tahu tentang Gea di sosial media. Aku buka akun utama yang berteman dengannya, bukan akun nama pena sebagai penulis. Namun, ternyata nama Gea sudah tidak ditemukan dalam pencarian teman. 

Deg! Jantungku berdegup sangat kencang, itu artinya akun utamaku diblokir oleh Gea. Wanita yang kukenal adik dari mantannya suamiku. 

Gea adalah adiknya Tiara, usianya memang lebih muda dariku dua tahun, tapi kami pernah satu kantor dan berteman dengan baik pada 12 tahun silam. Makanya, hubungan kami seperti teman layaknya saja, tidak ada batasan umur karena usia hanya terpaut 2 tahun. Kakaknya, Tiara sudah meninggal tiga tahun lalu karena depresi berat yang akhirnya mencelakai dirinya sendiri. Itu cerita yang kutahu tentang Gea dan Tiara. 

Aku cari kontak Mas Haris juga, ternyata sama, tidak ada di pencarian pertemanan di akun utama. Itu artinya aku diblokir olehnya. Akhirnya kuputuskan untuk pindah akun penulis. Aku cari nama mereka berdua meskipun tidak berteman seharusnya ketemu, tapi ini tidak juga, itu artinya akun penulis pun diblokir. 

'Baiklah, tenang, Elena, jangan panik baru diblokir suami dan teman dekat. Bisa cari informasi dengan membuat akun baru,' gumamku dalam hati mencoba menenangkan diri. 

Aku tengok kembali bobot tubuh Mas Haris, ternyata ia sudah mendengkur, aku langsung meraih ponselnya lagi. Sekejap aku mengusap layar ponsel ternyata aku sudah tidak dapat menggeledah karena harus memakai kode. 

"Kenapa dikunci kalau memang tidak ada apa-apa? Aku jadi semakin curiga, Mas," ucapku pelan bicara sendirian. 

Akhirnya aku belum bisa membuka isi pesan messenger Gea dengan Mas Haris. Jadi aku harus mencari tahu dengan cara lain. Sebaiknya aku istirahatkan badan dulu, besok akan kucari tahu lagi tentang Gea ini. 

***

Adzan subuh sudah terdengar, aku bangun dan bersiap membuat sarapan. Namun, hati kecil enggan melayani suami yang kuanggap memanfaatkan pekerjaanku yang menghasilkan uang. Jadi, mulai pagi ini tidak ada sarapan di meja makan. 

Mas Haris sudah rapi hendak berangkat bekerja, di sebuah pabrik yang gajinya hanya mengandalkan gaji pokok saja. Namun, aku tak pernah meminta jatah lebih dari dua ratus ribu rupiah setiap minggunya. 

"Kok nggak ada sarapan, Dek?" tanyanya membuatku menatapnya. 

"Sarapan beli sendiri ya, uang dua ratus ribu seminggu untuk makan malam aja dan jajan Sisil," ucapku agak ketus. 

"Kamu marah gara-gara handphone aku kunci? Lagian lancang amat d******d messenger segala, kenapa d******d messenger? Masih nggak percaya pada suami sendiri?" tanya Mas Haris seakan menantang.

"Kamu masih berhutang penjelasan dengan status di grup. Lalu Gea ngapain messenger kamu? Hah!" cecarku padanya. 

"Itu pesan dari Gea udah lama banget belum aku buka, tiga tahun lalu pas Tiara dikabarkan meninggal dunia," terang Mas Haris. 

Aku bergeming seketika, apa dia sudah jujur? Atau ini alibi saja? Sederet pernyataan muncul di kepala. 

"Kalau begitu, ponsel nggak usah dikunci, dan kasih tahu aku messenger dari Gea," pintaku pada Mas Haris. Ia langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengusap dan setting handphone tanpa kode lagi. 

"Sudah nih, silakan baca sekalian inbox dari Gea, aku aja sengaja nggak baca, kamu malah penasaran, tiga tahun loh aku tidak buka chat darinya," terang Mas Haris. 

Akhirnya aku baca pesannya, ternyata benar yang Mas Haris katakan, pesan itu dikirim 3 tahun yang lalu. 

"Kamu nggak mau baca isinya, Mas?" tanyaku padanya. "Ini pesan dari Tiara loh sebelum meninggal," tambahku lagi setelah membaca pesan itu. 

[Mas Haris, aku hanya mau bilang bahwa Mbak Tiara meninggal karena depresi berat, ia sangat mencintaimu, Mas.]

Empat pesan yang ditulis secara berturut-turut itu isinya tentang kabar Tiara. 'Apa Gea yang sengaja menulis status itu untuk menghancurkan hubunganku dengan Mas Haris? Tapi kok sangat anehnya dia tahu profesiku yang sebagai penulis?' tanyaku dalam hati. 

"Hanya itu isinya? Ah dari dulu gosip itu kan memang selalu dilontarkan keluarganya, tapi aku nggak pernah menanggapi karena memang sudah memiliki istri dan anak," ungkap Mas Haris membuat dahiku mengkerut. Lalu aku harus percaya atau tidak? Kalau apa yang dikatakan Mas Haris itu memang masuk akal. 

Akhirnya kami berbaikan kembali. Mas Haris pun berangkat kerja setelah kubuatkan nasi goreng untuk sarapannya. 

***

Hari begitu cepat, sampai akhirnya weekend pun tiba. Masalah tiga hari yang lalu membuat hubungan kami berdua semakin erat, tidak ada yang aneh dengan sikap Mas Haris di rumah. 

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, aku segera membuka pintu dengan semangat. Handle pintu kutarik dan alangkah terkejutnya aku melihat kedatangan Gea hari ini. Sosok wanita yang 12 tahun lamanya hanya berjumpa melalui sosial media, kini ia muncul di hadapanku. 

"Hai, Len, maaf ya aku mampir nggak bilang-bilang, tadi kebetulan lewat aja," ucap Gea. 

Aku pun tidak menyangka akhirnya ia sampai ke sini. Padahal kami sekarang tinggal di kota sedangkan Gea di desa. 

Mas Haris berdiri tegak setelah melihat kedatangan Gea. Bibirnya ia basahi dan membelah rambutnya sambil tersenyum padanya. 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status