Share

Bab 4

Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris. 

Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan. 

"Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya. 

"Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh. 

Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera. 

"Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.

Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil. 

"Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil. 

"Aku ikut," celetuk Gea membuat dahiku mengkerut. Namun, Mas Haris hanya mendengus di hadapannya. Sedangkan aku terburu-buru mengunci pintu rumah. 

Gea tetap berdiri di depan mobil kami, Mas Haris kesulitan untuk keluar dari garasi. 

"Kenapa sih pakai ikut segala? Memang dia siapa?" gerutu Mas Haris sambil membanting tangannya ke setir mobil. 

"Klaksonin aja, Mas," suruhku. Gea pun minggir ketika Mas Haris membunyikan klakson berkali-kali. 

Kami segera memeriksa kondisi Sisil, khawatir ada luka dalam. Sebab, Sisil terus menerus memegang dadanya dan mengeluh kesakitan. 

"Siapa yang pukul kamu, Nak?" tanyaku sambil memangkunya yang sedang terisak. 

"Ondi, Mah, padahal aku cuma bilang punya mobil baru, eh dia tonjok aku," kata Sisil sambil mengusap air matanya. 

"Astaga, Mas, Ondi kan usianya sudah 13 tahun, kok kasar gitu sih?" tanyaku pada Mas Haris. 

"Lihat saja kalau terjadi sesuatu dengan Sisil, aku usut ke pihak yang berwajib," cetus Mas Haris. 

"Mana bisa, Mas? Kan masih di bawah umur," timpalku lagi. 

Mas Haris terdiam. Ia fokus kembali pada jalanan. 

Aku termenung, kalau tidak salah dengar, Ondi adalah anak broken home yang sering menyaksikan perkelahian orang tuanya di depan mata persis. Bu Dara adalah wanita yang akhirnya memutuskan menjadi single parent, ia sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Mungkin Ondi jadi meniru perbuatan sang ayah jika kesal pada orang lain. 

Aku selalu berhati-hati jika ribut dengan Mas Haris, sebisa mungkin tidak di hadapan Sisil, sekalipun itu ribut tentang hal kecil, khawatir seperti Ondi yang tidak mampu mengontrol emosinya. 

Dalam waktu lima belas menit, kami tiba di rumah sakit terdekat, Mas Haris langsung membopong tubuh mungil anak kami berdua ke UGD. Setelah itu Mas Haris mengurus administrasi di bagian kasir rumah sakit. 

Aku menunggu sendirian di depan UGD, tiba-tiba Gea datang menghampiri. 

"Loh kamu ngikut ke sini?" tanyaku padanya. 

"Iya, mau jenguk Sisil, kasihan ih, tetanggamu itu nggak ada otaknya ya, mukul anak orang seperti itu," cetus Gea terlihat ikut emosi. 

Aku terdiam tidak menjawab apa pun atas ucapan yang dilontarkan Gea, sebab belum tahu kejadian sebenarnya seperti apa. 

"Mas Haris di mana?" tanya Gea terlihat sambil celingukan. 

"Lagi ke kasir," jawabku singkat. 

'Ngapain si Gea nanyain Mas Haris?' gerutuku dalam hati. 

"Aku cuma mau pesan ke kamu, gaji manager gede loh, sekitar 30 juta, kamu dikasih berapa?" tanya Gea dengan nada pelan seperti berbisik. 

Aku terdiam, kenapa dia ingin tahu jatah bulananku? Itu kan privasi. 

"Maaf, Gea, itu bukan urusanmu," cetusku menolak menjawab. 

Helaan napas terdengar dari mulutnya tepat di telingaku. "Hati-hati, Len, jangan lengah dan anggap suamimu itu paling soleh, bisa saja dia menjalani hubungan gelap dengan wanita, kamu nggak takut?" hasut Gea lagi. 

Belum sempat aku menimpali ucapan Gea, tiba-tiba Mas Haris datang dari arah kasir, ia membawa kuitansi pembayaran tindakan UGD. 

"Loh ngapain kamu ke sini, Gea?" tanya Mas Haris agak kurang suka. 

"Jenguk Sisil memang nggak boleh?" tanya Gea balik. 

Mas Haris hanya berdecak kesal sambil menggelengkan kepalanya. 

Beberapa detik kemudian, dokter keluar dari ruangan UGD, kami pun segera menghadapnya. Dokter terlihat tersenyum, aku sedikit lega melihat rona wajahnya yang seakan menunjukkan tidak ada masalah serius di tubuh Sisil. 

"Bagaimana, Dok?" tanya kami berbarengan. 

"Nggak apa-apa, hanya kaget aja anaknya makanya terus memegang dadanya, sekarang sudah tenang kok," ucap dokter seketika membuat kami menurunkan bahu serempak. 

Akhirnya kami pulang tanpa ada kekhawatiran yang berlebihan lagi. Namun, ini semua untuk bahan perhatianku sebagai orang tua untuk selalu mengawasi Sisil bermain. 

"Aku juga ikut tenang, aku pamit duluan ya, tadi ke sini bawa motor," ucap Gea sambil bersalaman denganku dengan disertai cium pipi kanan dan kiri. "Ingat yang kubilang tadi, gaji manager 30 juta loh," bisik Gea. 

Aku terdiam tak menjawab apa pun. 

***

Setibanya di rumah, Sisil tidur, aku membawanya ke kamar dan segera menyiapkan makan malam untuk kami. Namun, tiba-tiba mamanya Ondi, Bu Dara datang berkunjung. Ia memohon maaf atas apa yang dilakukan anaknya, wanita yang kini memiliki suami baru itu memberikan sedikit uang sebagai ucapan permintaan maaf, tapi aku menolaknya, anggap saja ini memang kesalahan kami sebagai orang tua yang kurang mengawasi Sisil saat bermain, dan untuk bahan pertimbangan Bu Dara juga untuk lebih memperhatikan anaknya yang butuh perhatian khusus. 

Setelah Bu Dara pamit, aku kembali ke meja makan, sudah ada Mas Harus yang menunggu makan malam. Kami duduk saling berhadapan dan memulai makan malam dengan membaca basmalah. 

Di tengah makan malam, aku mencoba bertanya tentang gaji Mas Haris yang tak pernah kuketahui itu. 

"Mas, gajimu memang tiga puluh juta ya?" tanyaku membuat Mas Haris tertawa lepas. 

"Gosip dari mana? Gajiku hanya lima belas juta, Sayang," terang Mas Haris. 

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Sepertinya memang tidak mungkin ia ngaku kalau ditanya. 

Akhirnya aku memiliki ide untuk membuka mobile banking miliknya, ketika ia sedang ke toilet, aku coba melihat mutasi dari aplikasi banking berwarna biru. 

Aku terkejut karena ucapan Gea benar, gaji Mas Haris ditransfer pada tanggal 29 bulan lalu itu sebesar tiga puluh juta rupiah. 

Kemudian, aku scroll ke bawah, apa ada mutasi transaksi lainnya selain membayar cicilan rumah. Betapa terkejutnya aku melihat bahwa Mas Haris mentransfer sebesar tujuh juta rupiah ke rekening wanita pada tanggal 30 bulan lalu. Dada ini sesak, Mas Haris mentransfer uang sebanyak itu untuk Gea. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status