Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris.
Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan.
"Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh.
Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera.
"Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.
Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil.
"Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil.
"Aku ikut," celetuk Gea membuat dahiku mengkerut. Namun, Mas Haris hanya mendengus di hadapannya. Sedangkan aku terburu-buru mengunci pintu rumah.
Gea tetap berdiri di depan mobil kami, Mas Haris kesulitan untuk keluar dari garasi.
"Kenapa sih pakai ikut segala? Memang dia siapa?" gerutu Mas Haris sambil membanting tangannya ke setir mobil.
"Klaksonin aja, Mas," suruhku. Gea pun minggir ketika Mas Haris membunyikan klakson berkali-kali.
Kami segera memeriksa kondisi Sisil, khawatir ada luka dalam. Sebab, Sisil terus menerus memegang dadanya dan mengeluh kesakitan.
"Siapa yang pukul kamu, Nak?" tanyaku sambil memangkunya yang sedang terisak.
"Ondi, Mah, padahal aku cuma bilang punya mobil baru, eh dia tonjok aku," kata Sisil sambil mengusap air matanya.
"Astaga, Mas, Ondi kan usianya sudah 13 tahun, kok kasar gitu sih?" tanyaku pada Mas Haris.
"Lihat saja kalau terjadi sesuatu dengan Sisil, aku usut ke pihak yang berwajib," cetus Mas Haris.
"Mana bisa, Mas? Kan masih di bawah umur," timpalku lagi.
Mas Haris terdiam. Ia fokus kembali pada jalanan.
Aku termenung, kalau tidak salah dengar, Ondi adalah anak broken home yang sering menyaksikan perkelahian orang tuanya di depan mata persis. Bu Dara adalah wanita yang akhirnya memutuskan menjadi single parent, ia sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Mungkin Ondi jadi meniru perbuatan sang ayah jika kesal pada orang lain.
Aku selalu berhati-hati jika ribut dengan Mas Haris, sebisa mungkin tidak di hadapan Sisil, sekalipun itu ribut tentang hal kecil, khawatir seperti Ondi yang tidak mampu mengontrol emosinya.
Dalam waktu lima belas menit, kami tiba di rumah sakit terdekat, Mas Haris langsung membopong tubuh mungil anak kami berdua ke UGD. Setelah itu Mas Haris mengurus administrasi di bagian kasir rumah sakit.
Aku menunggu sendirian di depan UGD, tiba-tiba Gea datang menghampiri.
"Loh kamu ngikut ke sini?" tanyaku padanya.
"Iya, mau jenguk Sisil, kasihan ih, tetanggamu itu nggak ada otaknya ya, mukul anak orang seperti itu," cetus Gea terlihat ikut emosi.
Aku terdiam tidak menjawab apa pun atas ucapan yang dilontarkan Gea, sebab belum tahu kejadian sebenarnya seperti apa.
"Mas Haris di mana?" tanya Gea terlihat sambil celingukan.
"Lagi ke kasir," jawabku singkat.
'Ngapain si Gea nanyain Mas Haris?' gerutuku dalam hati.
"Aku cuma mau pesan ke kamu, gaji manager gede loh, sekitar 30 juta, kamu dikasih berapa?" tanya Gea dengan nada pelan seperti berbisik.
Aku terdiam, kenapa dia ingin tahu jatah bulananku? Itu kan privasi.
"Maaf, Gea, itu bukan urusanmu," cetusku menolak menjawab.
Helaan napas terdengar dari mulutnya tepat di telingaku. "Hati-hati, Len, jangan lengah dan anggap suamimu itu paling soleh, bisa saja dia menjalani hubungan gelap dengan wanita, kamu nggak takut?" hasut Gea lagi.
Belum sempat aku menimpali ucapan Gea, tiba-tiba Mas Haris datang dari arah kasir, ia membawa kuitansi pembayaran tindakan UGD.
"Loh ngapain kamu ke sini, Gea?" tanya Mas Haris agak kurang suka.
"Jenguk Sisil memang nggak boleh?" tanya Gea balik.
Mas Haris hanya berdecak kesal sambil menggelengkan kepalanya.
Beberapa detik kemudian, dokter keluar dari ruangan UGD, kami pun segera menghadapnya. Dokter terlihat tersenyum, aku sedikit lega melihat rona wajahnya yang seakan menunjukkan tidak ada masalah serius di tubuh Sisil.
"Bagaimana, Dok?" tanya kami berbarengan.
"Nggak apa-apa, hanya kaget aja anaknya makanya terus memegang dadanya, sekarang sudah tenang kok," ucap dokter seketika membuat kami menurunkan bahu serempak.
Akhirnya kami pulang tanpa ada kekhawatiran yang berlebihan lagi. Namun, ini semua untuk bahan perhatianku sebagai orang tua untuk selalu mengawasi Sisil bermain.
"Aku juga ikut tenang, aku pamit duluan ya, tadi ke sini bawa motor," ucap Gea sambil bersalaman denganku dengan disertai cium pipi kanan dan kiri. "Ingat yang kubilang tadi, gaji manager 30 juta loh," bisik Gea.
Aku terdiam tak menjawab apa pun.
***
Setibanya di rumah, Sisil tidur, aku membawanya ke kamar dan segera menyiapkan makan malam untuk kami. Namun, tiba-tiba mamanya Ondi, Bu Dara datang berkunjung. Ia memohon maaf atas apa yang dilakukan anaknya, wanita yang kini memiliki suami baru itu memberikan sedikit uang sebagai ucapan permintaan maaf, tapi aku menolaknya, anggap saja ini memang kesalahan kami sebagai orang tua yang kurang mengawasi Sisil saat bermain, dan untuk bahan pertimbangan Bu Dara juga untuk lebih memperhatikan anaknya yang butuh perhatian khusus.
Setelah Bu Dara pamit, aku kembali ke meja makan, sudah ada Mas Harus yang menunggu makan malam. Kami duduk saling berhadapan dan memulai makan malam dengan membaca basmalah.
Di tengah makan malam, aku mencoba bertanya tentang gaji Mas Haris yang tak pernah kuketahui itu.
"Mas, gajimu memang tiga puluh juta ya?" tanyaku membuat Mas Haris tertawa lepas.
"Gosip dari mana? Gajiku hanya lima belas juta, Sayang," terang Mas Haris.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Sepertinya memang tidak mungkin ia ngaku kalau ditanya.
Akhirnya aku memiliki ide untuk membuka mobile banking miliknya, ketika ia sedang ke toilet, aku coba melihat mutasi dari aplikasi banking berwarna biru.
Aku terkejut karena ucapan Gea benar, gaji Mas Haris ditransfer pada tanggal 29 bulan lalu itu sebesar tiga puluh juta rupiah.
Kemudian, aku scroll ke bawah, apa ada mutasi transaksi lainnya selain membayar cicilan rumah. Betapa terkejutnya aku melihat bahwa Mas Haris mentransfer sebesar tujuh juta rupiah ke rekening wanita pada tanggal 30 bulan lalu. Dada ini sesak, Mas Haris mentransfer uang sebanyak itu untuk Gea.
Bersambung
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. "Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. "Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. "Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. "Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamk
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be
"Mbak Tiara melakukan itu untuk ...."Gea menghentikan ucapannya. Membuatku semakin penasaran, matanya sengaja berkeliling seraya mengejek. "Apa, Gea?""Nanti ya, aku akan kasih tahu kamu semuanya setelah ada perjanjian di atas materai, sekarang lebih baik kamu bersembunyi, kakakku akan datang meminta pertanggungjawaban ke sini," tutur Gea membuatku terdiam, bingung, sebenarnya ia ada di pihak mana? Langkah kakinya mundur, ia terus mengukir senyuman ke arahku. "Aku akan urus Mbak Tiara, kamu urus dirimu sendiri, Elena!" suruhnya kemudian membuka pintu yang terbuat dari kaca. Lalu ia melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari hadapanku. Aku menghela napas sambil menggebrak meja. Lalu meraih telepon yang ada di hadapanku dan memanggil karyawan lain, selain Burhan. Setelah menunggu beberapa menit, satu orang karyawan datang, ia tertunduk, sudah tahu jati diriku. "Tolong bawakan masker dan pakaian pelayan untuk saya," suruhku. "Ta-tapi, Bu ....""Sudah jangan ngeyel," cetusk