Share

Ibu Tiri

Mulut Candy terbuka tanpa perintah, air mata kembali memasuki bawah mata karena sang mantan yang sepertinya bermain victim dan mulai menyalahkan. Putra bersikap layaknya apa yang telah terjadi adalah salah Candy, tidak ada keraguan di wajahnya sama sekali.

Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu? Candy tak habis pikir. “Kau berubah akhir-akhir ini, kau selingkuh, meninggalkan aku di hari pernikahan dan kau terduduk sangat tenang di rumah layaknya tidak ada yang terjadi dan kau menyalahkan aku atas keputusan yang aku ambil?” Belum puas mencerca, Candy melanjutkan, “Kau bisa saja membatalkan pernikahan dari awal jika kau sudah tidak mencintaiku. Kau tahu lari bukan solusi, tapi kau melakukannya!”

Candy mengingat apa yang terjadi dengan jelas sampai mengapa diri ini mengambil keputusan bobrok untuk menikahi dia yang seharusnya dipanggil ayah mertua dan semua itu karena Putra! Candy menyalahkan putra atas keputusan yang ia ambil hari ini.

Asal tahu saja, tidak ada satu orang pun yang memaksa Putra untuk menikahi Candy hari ini. Putra melamar Candy karena niatnya sendiri dan Candy akan terima jika pemuda itu mengaku sudah tidak lagi menaruh rasa. Tapi mencoba mempermalukan dengan meninggalkan pernikahan? Putra adalah seorang pecundang!

“Kau bisa meninggalkan pernikahan, tapi kau memilih menikah dengannya!” Suara Putra ikut meninggi, tidak kalah sengit dari yang sanggup Candy keluarkan. “Jika kau sungguh mencintaiku, kau tidak akan memilih untuk menikahi ayahku hanya untuk menghindari malu!”

Di sana masih ada Robert yang disinggung. Lelaki itu menyaku sebelah tangan di saku celana, tanpa henti menyaksikan pertengkaran yang mulai melebar. Robert tidak berpikir untuk ikut campur karena mereka memang punya masalah untuk bisa saling melototi dan berteriak.

“Ini bukan hanya soal aku, kau bajingan,” umpat Candy yang mulai kehabisan kesabaran, marah dibuat Putra yang berbicara begitu egois. “Keluarga kita akan menjadi guyonan jika-“

“Kau berpikir menikahi ayahku akan menjadi solusi yang paling baik?” sela pemuda berusia dua puluh dua tahun itu garang. Dia membuat Candy berpikir bahwa berbicara bukanlah sebuah solusi.

Berbicara tidak diperlukan, lagipula Candy tidak menikahi Robert untuk berbicara, membahas soal betapa tega Putra meninggalkannya begitu saja. “Benar, aku berpikir menikahi ayahmu adalah pilihan yang baik,” ungkap Candy. Meski terdengar serius, nyatanya dia hanya sembarang berkata. “Ayahmu baik, jelas sekali lebih baik dari pria brengsek sepertimu.”

“Ck!” Putra berdecih, menampilkan senyuman remeh menanggapi, “Kau hanya ingin kekayaan ayahku,” sindirnya. “Benar, bukankah itu yang keluargamu incar dariku? Haruskah aku berucap selamat karena kau telah mendapatkan sesuatu yang lebih dari menikahi seorang pewaris?”

Betapa congkak pemuda itu, semua kalimatnya yang menusuk dengan mudah menyalakan bara api di dalam hati. Candy mengangkat tangan dan tamparan keras mendarat sekali lagi di pipi Putra, tapi tangan besar itu bukan milik Candy.

Candy menoleh, menatap suaminya yang menampar Putra, meninggalkan bekas jari yang memerah di pipi putih. “Jaga ucapanmu pada istriku, Putra,” tegur sang ayah garang, dia membuat Candy berpikir bahwa pernikahan sungguh telah terjadi. Lelaki yang berstatus suami tengah membela diri ini dari mulut kejam sang anak.

Dua tangan Putra terkepal erat, kepala perlahan memutar dan sepasang bola mata langsung melototi sang ayah. “Jangan pernah bersikap seperti itu pada Candy, ingat baik-baik,” tambah Robert dengan jari telunjuk yang mengacung tepat di depan batang hidung.

“Bisakah aku berbicara berdua dengan Putra?” harap Candy saat tidak ada pembicaraan setelah dua menit. Robert menatapnya cukup lama sebelum mengganguk dan kemudian meninggalkan ruang tamu ke lantai atas.

Saat sang suami lenyap dari netra, Candy kembali memberi perhatiannya pada Putra yang masih terdiam seribu bahasa. Candy memberitahu, “Aku sampai tidak tahu harus memanggil suamiku seperti apa.” Jika saja diperhatikan, Candy tidak berani menyebut nama sang suami karena fakta bahwa lelaki itu sudah pernah ia panggil ayah terlalu sulit ditepis.

“Tapi aku tidak menikahinya untuk membicarakan hal ini denganmu.” Candy melanjutkan, “Aku tidak bisa hanya tinggal diam dan membiarkanmu merasa menang setelah berhasil menyakitiku. Aku akan membalasmu.” Tiga kata terakhir Candy dipenuhi oleh penekanan. Sorot mata memicing tajam, dipenuhi oleh kilatan amarah dan kebencian. “Aku pastikan akan membalasmu, jauh lebih buruk dari yang telah aku terima hari ini.”

Putra bisa tahu Candy tidak bercanda dengan kalimatnya hanya dari sepasang bola mata super indah yang tak henti menatap lantang. Putra masih membisu, tidak mengatakan sepatah kata pun karena entahlah apa yang ada di dalam pikiran atau hati.

Candy melewati Putra, dengan sengaja menabrak pundaknya. Tapi dia berhenti berjalan di langkah keempat. Candy berbalik menatap punggung tegap Putra sebelum bertanya, “Sungguhkah perempuan itu alasanmu tidak hadir di hari pernikahan kita?”

Candy tahu, ia telah berkata tidak mau lagi membicarakannya, tapi Candy hanya ingin mendengar setidaknya satu jawaban dari mulut sang mantan tercinta. Apa saja, Candy ingin menambah kebencian di dalam hati agar diri kian tertekad untuk membalas.

Putra berbalik menghadap sang mantan dan kontak mata pun tidak terhindarkan. “Aku tidak mau menikahimu,” ungkap Putra, tidak ada keraguan di bola matanya sama sekali.

Menyakitkan? Sangat menyakitkan sampai tidak bisa Candy jabarkan. Lima tahun bersama tidak lagi berarti. Setelah hari-hari yang dilalui, susah atau senang, semuanya lenyap hanya karena seorang perempuan baru yang berhasil mencuri hati Putra.

“Kau menjijikkan,” cela Candy. “Bagaimana bisa kau merebut kekasih ayahmu sendiri?” Tubuh Candy merinding saat mengingat kembali rekaman video yang telah sepasang bola mata saksikan.

“Aku tidak berpikir aku harus menjelaskan semua hal padamu,” jawab Putra acuh, tidak lagi berniat membahas masalah itu lebih jauh lagi.

Benar, Candy terkekeh geli menyadari diri yang bersikap terlalu kepo. Gadis itu memberitahu, “Kau akan menghadiri acara kami pada malam hari ini.”

Tegas dan penuh penekanan membuat Putra menyakini bahwa gadis itu tidak mau menerima penolakkan. “Mengapa aku harus melakukannya?” ujar Putra yang jelas tidak ingin melakukannya. “Kau berharap aku untuk datang di pesta kalian. Lalu apa, duduk bersama dan menjadi gossip para tamu?”

Bahkan jika Candy mengutuk dan menyayat leher Putra sekali pun, dia akan tetap datang. “Aku sudah menikahi ayahmu,” kata Candy mengingatkan. “Aku adalah ibu tirimu dan kau adalah anak tiriku, jadi pastikan kau untuk hadir!” tegasnya. Acara makan pada malam hari memang tidak sepenting pernikahan yang terlaksanakan di gereja, tapi Putra adalah anak Robert dan kini anaknya, dia jelas harus hadir.

Candy memutar badan dan pergi begitu saja, tapi pergerakkan dihentikan oleh suara kekehan yang terlontar keluar dari mulut Putra. Candy tidak berbalik, hanya diam dan mendengar apa yang akan dia lontarkan.

Puas terkekeh, Putra menatap indah rambut panjang hitam Candy dan bertanya, “Aku harus memanggilmu ibu, mulai dari sekarang?”

Suara Putra terkesan menyindir, tapi Candy tidak akan ragu untuk menjawab. Dia memutar kepala dan kontak mata pun bertemu. Gadis itu memberi Putra secarik senyuman remeh dan bibir menjawab, “Kau harus, aku ibumu sekarang.”

Sangat percaya diri sampai-sampai berhasil menghapus segala ekspresi mengejek di wajah Putra, menyisihkannya yang hanya bisa berdiri diam dan menyaksikan kepergian Candy menuju lantai atas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status