Share

Bab 3 Hendak Menyusul

Pagi ini, aku sengaja bangun kesiangan, karna tak perlu repot membuat sarapan dan mengurus keperluan suamiku. Lagi pula, aku tak bisa tidur tadi malam. Mataku sulit terpejam mengingat betapa kontrasnya keadaanku di rumah dengan suamiku di sana.

Aku meringkuk menahan perih di hati, sementara ia tengah bersenang-senang melewati malam indahnya dengan wanita yang baru dinikahinya.

Entah dari mana asalnya wanita itu, hingga membuat suamiku yang dulunya setia dengan mudahnya berpaling dariku. Secantik apakah dia? Kalau hanya karna kecantikan, bukankah aku juga cantik!

Hidungku mancung dan bibirku tipis, mataku juga indah dengan bulu yang lentik, dan daguku kata mas Adnan seperti lebah bergantung. Gambaran sempurna dari keindahan yang diinginkan oleh setiap wanita. Mereka sampai melakukan berbagai operasi untuk mendapatkan hidung mancung dengan bibir yang tipis, tentu mengeluarkan sangat banyak biaya dari sang suami.

Lalu, aku? Mas Adnan hanya tinggal menikmati kecantikanku dan memberiku waktu untuk tetap merawatnya, tapi ia malah berpaling dengan wanita lain. Bahkan aku biasa ke salon tanpa meminta uang darinya.

Dasar lelaki tak bersyukur!

Selesai mandi dan berganti baju, aku berniat keluar untuk membeli lontong sayur untuk sarapan pagi. Sudah jam sembilan, biasanya kedai sarapan pasti kehabisan menu kecuali warung kak Butet. Sebenarnya aku sedikit malas ke sana, karna mulut wanita itu selalu nyinyir dan kepo dengan urusan orang lain, apalagi lontongnya juga kurang sedap. Itulah mengapa menu sarapannya lebih lama habis, warga di sekitar sini lebih mengutamakan membeli sarapan di tempat lain, kecuali sudah kesiangan seperti aku.

Setelah memastikan Tabitha masih terlelap di ayunan, aku gegas berlari keluar meninggalkannya sebentar menuju warung yang berjarak dua rumah dari sini.

“Lontong satu, Kak,” ucapku pada janda yang berusia hampir kepala empat itu.

“Eh, Zahira, udah lama kali kau gak kesini, Dek. Kok udah mau makan lontong kau, Dek? Apa udah selapan kau?” Seperti dugaanku. Aku baru mengeluarkan satu kalimat, tapi ia sudah bicara berkali–kali.

“Sudah, Kak. Anakku saja sudah dua bulan,” jawabku singkat.

“Oh, gak terasa, ya. Rawat dirimu, Dek, biar suamimu gak ke mana-mana. Ku tengok badanmu gemukan. Taulah zaman sekarang ini, pelakor berserakan. Tapi, kalau si Adnan itu kayaknya gak mungkin lah, ya, selingkuh. Secara dia itu baik kali nampaknya. Beruntunglah dirimu, Dek,” ucapnya panjang lebar. Aku hanya membalas dengan senyuman, tak ingin menyangkal ucapannya. Biarlah mas Adnan terlihat sempurna di matanya, meskipun ia baru saja meluluh lantakkan hatiku karna menikah lagi di belakangku.

Setelah selesai, aku memberikan selembar uang sepuluh ribu dan mengambil dua buah peyek kacang tanah. Setengah berlari aku menuju rumah, takut kalau Tabita terbangun dan menangis.

Aku membuka pintu pelan, lalu mengecek Tabitha di ayunan. Untungnya bayi berlesung pipi itu masih terlelap dengan ekspresi yang menggemaskan. Ingin rasanya mencium lembut pipinya, tapi takut ia terbangun sementara ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Aku mematut diri di depan cermin, melihat perubahan yang terjadi pada setiap inci tubuhku. Menurutku ada benarnya juga ucapan kak Butet tadi, kemungkinan mas Adnan berpaling karna tubuhku tak seperti dulu lagi.

Perutku bergelambir dengan beberapa strechmark di atasnya. Begitu juga pada kedua pahaku. Akan tetapi, bukankah ini bukti pengorbanan atas besarnya cintaku padanya? Aku begini karna telah menghadirkan malaikat kecil impiannya, seharusnya ia berterimakasih dan tak perlu berpaling hanya karna perubahan di tubuhku.

Bukankah tubuh ini bisa kembali indah? Aku hanya perlu waktu.

Serendah itukah perempuan di mata laki-laki, sehingga nilainya akan turun seiring berkurangnya kecantikan?!

Ataukah memang mas Adnan yang tak paham dalam menilai kodrat wanita.

Netraku kembali berkaca-kaca, ada bulir bening yang hendak kembali tumpah. Tidak, aku tak boleh menangis lagi. Bukankah aku telah berjanji untuk tetap tegar demi Tabitha. Aku telah mempersiapkan peran untuk permainan ini, dan aku tak boleh kalah sebelum memulai.

Setelah membereskan rumah dan segala keperluan, aku kembali ke kamar.

Kuperiksa kembali segala dokumen penting yang tadi malam kumasukkan ke dalam sebuah tas besar. Aku sempat berpikir untuk berpisah saja dengan mas Adnan yang sudah tega menghancurkan hatiku berkeping-keping. Tapi mengingat tangisan Tabitha tadi malam, membuatku goyah dan tak rela memisahkannya dari sang ayah. Anak itu masih membutuhkan kasih sayang dan dampingan dari kedua orangtuanya demi tumbuh kembangnya. Meski bagi sebagian orang adalah justru menguntungkan jika bercerai selagi anak masih bayi, karena tak perlu bersusah payah memberikan pengertian pada sang anak. Namun, berbanding terbalik denganku, biarlah aku mencoba bertahan dulu, mencari tahu alasan dan letak kesalahanku, agar aku bisa mengambil sikap untuk merebutnya kembali dari wanita itu atau melepaskannya.

Seandainya pilihan terakhir adalah bercerai, tentu aku tak ingin menjadi seorang janda biasa. Aku harus mempersiapkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi, termasuk mempersiapkan aset demi masa depan buah hatiku. Aku tak ingin melihat Tabitha makan dengan singkong rebus, kesulitan membeli apa yang ia inginkan, atau terancam pendidikannya, seperti masa kecilku dulu.

Lebih baik aku bersabar demi meneguk madu, daripada gegabah yang akan merugikan diri sendiri. Aku sadar akan posisiku, aku hanyalah perempuan dari kampung yang dinikahi mas Adnan. Tak ada aset berharga atas namaku selain dua butik yang kurintis sendiri dan beberapa perhiasan yang kusimpan. Sementara tabungan, rumah, mobil dan beberapa villa masih atas nama suamiku. Setidaknya aku harus mengambil alih rumah ini agar tak memikirkan mencari tempat tinggal yang baru jika berpisah nanti.

Pelan dan cantik.

Itulah cara yang kupikirkan semalaman. Aku sudah menguatkan hati untuk berpura-pura b*odoh di hadapan mereka. Sampai waktunya mereka sendiri yang akan menelan pil pahit atas kecurangan yang mereka lakukan.

“Zahira ... Zahira ...!” Suara yang sangat ku kenal sedang memanggil namaku dari balik pagar rumah, itulah Nyonya Sarmila, mertuaku.

“Iya, Ma, sebentar,” ucapku setengah berteriak, menyingkap kain jendela kamar yang berada di lantai dua. Kulihat mama dan Lula sedang berdiri sambil memegang koper masing-masing. Sepertinya mereka baru turun dari taksi.

Aku berjalan melewati anak tangga menuju pintu utama rumah bertingkat ini, lalu keluar membukakan pagar untuk kedua orang yang turut andil dalam pengkhianatan mas Adnan.

“Udah pulang, Ma. Kok gak nelpon dulu, kupikir kalian akan tiba sore nanti,” ucapku seraya mengekor di belakang mama menuju ruang tamu. Ia tak menjawab, begitupun Lula yang tampak sibuk dengan gawainya.

“Mana Thabita?” tanya mama setelah menyandarkan bobotnya di sofa serta meletakkan koper dan tasnya sembarangan.

“Di kamar, Ma, sedang tidur. Baru selesai mandi dan kususui. Kalian kok gak ngajak aku, sih, ke Padang?” Aku kembali bertanya seolah tak tahu yang sebenarnya.

“Mbak ‘kan punya bayi. Lagian temen mama mendadak ngundangnya, jadi gak sempat juga kasi tahu mbak Zahira,” timpal Lula, matanya masih tetap lekat memandang benda pipih berlayar di depannya.

“Jadi mana potonya? Mbak penasaran sama pengantinnya. Mereka cantik dan ganteng, gak?” Aku bertanya sambil menaik turunkan kedua alisku. Berakting seakan tak sabar untuk menilai keserasian kedua pengantin melalui wajahnya. Karna itulah kebiasaan aku dan Lula setiap kali kembali dari resepsi pernikahan orang lain. Mengambil potonya untuk kami komentari.

“A-aku gak sempat poto, Mbak!” Ucapnya bimbang. Sementara mama melirikku sebentar lalu memijit dahinya pelan.

“Kok, gitu? Biasanya kamu gak mau ketinggalan untuk poto dan menguploadnya ke sosmed,” gumamku, dengan wajah jengkel yang kubuat-buat.

Aku tahu, bukan itu alasan sesungguhnya. Mana mungkin mereka mau memperlihatkan poto itu, apalagi pengantin prianya adalah suamiku.

Mereka mengeluarkan oleh-oleh yang aku minta semalam. Memberikan semuanya sambil mengalihkan topik pembicaraan tentang keadaan mereka di pesawat.

Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari mas Adnan. Gegas kujawab tanpa berlama-lama.

“Halo, Mas. Kamu kemana, aja? Aku khawatir,” cecarku, sesaat setelah menekan tombol hijau di layar.

“Maaf, sayang. Baterai ponsel mas habis total, lagian semalam sibuk. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sepertinya mas akan pulang seminggu lagi,” jawabnya tanpa bertanya kabarku dan Tabitha terlebih dahulu. Kini ia malah mengatakan akan pulang lebih lama lagi.

“Gak bisa, Mas. Kamu harus pulang sesuai waktunya. Aku gak mau ditinggal terus sendirian di rumah,” rengekku. Bukan karena pekerjaan, pasti ia ingin pergi berbulan madu dengan istri barunya. Aku harus bertindak, tak mungkin diam saja.

“Zahira, tolong pengertiannya. Aku bekerja demi kamu dan anak kita,” bujuknya, membuat aku semakin geram. Menjadikan pekerjaan sebagai alibi.

“Oh, iya, Mas. Kalau gitu aku bakal nyusul ke sana. Kamu harus jemput aku di bandara, ya.”

“Eng-enggak bisa, sayang. Aku sibuk.” Mas Adnan berkilah, mungkin ia tak menyangka kalau aku berencana ingin menyusulnya.

“Pokoknya aku bakal ke sana sama Tabitha. Aku akan pesan tiket dan bersiap.” Aku memutus panggilan telepon, sementara Lula dan mama yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dan mas Adnan tampak tegang.

“Ada-ada saja kau, Zahira. Jelas-jelas suami lagi kerja kamu malah mau nyusul. Jangan bikin repot Adnan, lah!”

Mama berusaha mencegahku.

“Enggak, Ma. Suamiku ingkar janji, katanya dia akan pulang tiga hari ke depan. Nyatanya diperpanjang seminggu lagi. Aku lebih baik menyusulnya daripada harus sendirian terus di rumah.” Aku tetap kekeh, lalu pergi ke kamar untuk mengemas pakaian milikku dan Tabitha ke dalam koper.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status