Sebuah chat masuk ke akun W******p di gawaiku. Aku yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper gegas mengambilnya dari atas kasur dan membukanya.
[Mas akan pulang sesuai rencana dan tidak jadi memperpanjang waktu kerja di sini. Demi kamu, Zahira. Tetaplah di rumah dan jangan ke mana- mana. Maafkan mas karna sempat membuatmu marah.]
Aku tersenyum setelah membaca isi chat yang dikirim suamiku dan hanya membalasnya dengan emoticon jempol tanda oke. Sesuai dugaanku, pasti mama yang memintanya untuk tetap pulang tiga hari lagi karna tadi saat aku menaiki tangga, kulihat mama tengah sibuk dengan gawainya. Mungkin ia ingin menghubungi anak kesayangannya agar mencegahku datang ke Padang. Karna bila aku ke sana, semua kebusukan mereka pasti akan terbongkar.
Aku tertawa puas. Baru saja memulai, aku sudah menang. Ini belum apa-apa Mas, masih ada hal tak terduga lainnya yang akan kulakukan!
Tiba-tiba mama masuk ke kamarku setelah mengetuknya dua kali. Wanita paro baya itu langsung menggendong Tabitha yang sedang berbaring di atas ranjang.
“Zahira, kamu gak jadi ‘kan mau nyusul Adnan?” tanya mama yang melihatku sedang memasukkan kembali koper ke dalam lemari.
“Gak, Ma. Aku berubah pikiran, lagipula mas Adnan akan pulang tiga hari lagi. Untuk apa aku nyusul, bikin capek aja,” ucapku santai. Ekspresi mama yang tadinya gusar berubah menjadi tenang.
“Syukurlah, lebih baik di rumah urusin anakmu, mama sebentar lagi akan pulang, tadi sudah pesan taksi,” ujar mama yang tengah menimang putriku.
“Loh, kok, cepat banget, Ma pulangnya? Kan baru aja sampai.” Aku bertanya sambil mengernyitkan dahi.
“Mama capek, mau istirahat. Lagipula mama ke sini Cuma mau ngantar pesananmu sambil lihat cucu mama,” ucapnya lalu membawa Tabitha keluar kamar.
Tak lama berselang, sebuah taksi sudah berhenti di depan pagar. Aku mengambil Tabitha dari dekapan mama, lalu mengantar keduanya menuju kendaraan beroda empat itu. Tak lupa mama dan Lula menciumi anakku berkali-kali sebelum masuk dan menutup pintu taksi.
Aku memandangi kepergian keduanya hingga taksi itu menghilang dari pandangan. Mama masih begitu menyayangi putriku dan ia tetap peduli padaku meski kadang terkesan jutek.
Barusan ia memberiku sebotol jamu untuk pelancar asi sekaligus penyegar badan.
Rumah mama tak begitu jauh dari sini, mereka tinggal di sebuah perumahan di tengah kota. Namun, butuh waktu lebih dari setengah jam ke sana mengingat jalanan kota yang sering macet.
Kini tinggal aku berdua dengan Tabitha. Kembali melewati hari berdua sampai suamiku kembali.
Kupandangi sebuah mobil mewah di garasi, sayangnya hanya mas Adnan sendiri yang bisa mengendarainya. Aku jadi berpikir untuk kursus menyetir nanti dan meminta suamiku untuk membelikanku mobil juga.
***
Hari ini adalah kepulangan mas Adnan, dan ia telah menghubungiku ketika akan naik pesawat.
Aku telah meminta Masli, sahabatku untuk menunggunya di bandara. Menurut jadwal pesawatnya akan tiba jam empat sore nanti.
Masli sudah di rumahku sejak siang, ia adalah sahabat karibku sejak SMA, kami juga berasal dari kampung yang sama. Aku sudah menceritakan tentang pernikahan suamiku di Padang kepada Masli, dan ia siap untuk membantuku. Kami memang sudah seperti saudara. Ia tinggal di Medan karna menikah dengan salah seorang dosen di universitas negeri di kota ini, dan mereka baru menikah tiga bulan lalu.
Sebenarnya aku ingin sekali memergoki mas Adnan dengan mata kepalaku sendiri. Akan tetapi, Tabitha masih terlalu kecil untuk kubawa. Aku tak tega jika membawanya ke tempat keramaian seperti bandara.
“Tega, ya ,suamimu,” ucap Masli saat menggendong Tabitha.
“Ya, begitulah. Aku sebenarnya gak nyangka jika mas Adnan berkhianat. Tapi kenyataannya dia bahkan sudah menikah lagi,” ucapku, menghela nafas panjang, berharap ada beban yang yang lepas seiring nafas yang berhembus.
“Ya, udah. Kamu tenang aja, aku pasti bisa dapatin bukti dan menunjukkan siapa pelakor yang sudah berani mengambil Adnan dari kamu,” ucap Masli, menenangkanku.
Aku yakin mas Adnan pasti akan membawa wanita itu turut bersamanya. Semoga Masli nanti bisa mencari tahu dimana mas Adnan akan menyembunyikan wanita itu dariku. Kupastikan ia tak akan tenang hidup di kota ini. Aku juga meminta Masli mencarikanku tempat kursus mobil yang bagus, karna aku tak ingin terus merepotkannya jika nanti harus terpaksa bertindak sendiri.
“Udah jam setengah empat ni, aku berangkat ya,” ucap Masli seraya melihat jam di tangannya.
“Iya, hati-hati, ya. Pastikan suamiku tidak curiga dan mengenalimu.”
“Beres!” Ia menunjukkan jempolnya ke arahku.
Masli sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, ia menutup wajahnya dengan kaca mata dan masker agar tak mudah dikenali. Gayanya juga terlihat tomboy karna mengenakan jaket kulit dan celana Levis saja. Masli sampai terbahak-bahak ketika melihat dirinya di cermin. Ia yang biasanya berpakaian modis dan feminim harus rela merubah penampilan seratus delapan puluh derajat demi rencana ini.
Ia masuk ke dalam mobil yang diparkirkan di halaman depan, lalu melaju membelah jalanan menuju bandara yang sudah beroperasi selama delapan tahun belakangan.
Sudah sekitar setengah jam sejak keberangkatan Masli, aku masih belum menerima pesan apapun darinya.
Sementara aku sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kepulangan suamiku nanti. Aku akan bersikap seperti biasa. Menyiapkan menu kesukaannya dan menyambutnya dengan senyuman termanis.
Sesaat kemudian, aku menerima sebuah chat dari Masli. Ia mengirimkan sebuah video yang tentunya berisi rekaman suamiku bersama seorang wanita yang kuduga adalah bernama Renita sedang keluar dari pintu kedatangan bandara. Butuh seribu kekuatan sebelum memutar isi rekaman yang akan membuat hatiku kembali berdarah-darah.
Tampak mereka sedang berjalan beriringan dan wanita itu merangkul lengan suamiku, sementara mas Adnan membawa sebuah koper besar berwarna pink yang kuyakini milik selingkuhannya itu. Wanita berpakaian serba hitam itu tampak tertawa bahagia, sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karna ia memakai kacamata berlensa besar. Namun, perkiraanku umurnya tidak jauh berbeda denganku.
[Ikuti mereka, li.]
Aku mengirimkan chat kepada Masli lalu menghapus video tersebut setelah memindahkannya ke folder rahasia di gawaiku. Video ini akan sangat berguna untukku nanti.
Kali ini tak ada lagi air yang keluar dari mataku. Aku tak sedih tapi tak pula cemburu. Rasa kecewa sudah meliputi seluruh hatiku hingga tak dapat membuatku menangis lagi. Hanya ada amarah dan dendam yang harus kutahan agar mampu melanjutkan rencanaku berikutnya.
“Maaf, Ra. Aku kehilangan jejak mereka.” Masli berucap melalui panggilan video whatssApp, menunjukkan keberadaanya di dalam mobil.
“Kok, bisa?” tanyaku. Tampak suasana jalanan yang padat.
“Jalanan macet, Ra.Tadi taksi yang mereka naiki menuju jalan ke rumahmu. Apa mungkin Adnan akan membawa wanita itu tinggal serumah denganmu? Udah ya nanti aku hubungi lagi, aku akan berusaha mencari taksi itu karna aku ingat nomor platnya.”
Masli berucap tanpa dapat kusela, lalu mengakhiri panggilan video tersebut.
Apa benar mas Adnan akan membawa wanita itu ke sini dan memperkenalkannya sebagai maduku? Berani sekali lelaki itu.
Tidak, aku tidak sudi jika harus tinggal satu atap dengan wanita perebut suamiku.
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid