Hingga malam ini aku terus menghubungi nomor mas Adnan, dan mengirimkan berbagai macam chat, seolah aku khawatir terjadi sesuatu kepadanya karna sejak pagi tadi nomornya tidak dapat di hubungi.
Selain itu, terus memantau story Lula yang mungkin saja bisa kujadikan bukti untuk rencana yang sudah kupikirkan sepanjang hari. Sayangnya, gadis berambut pirang itu tak lagi mengupdate satu story pun sejak kejadian tadi, padahal biasanya ia tak pernah sedikitpun lengah untuk membagikan aktivitasnya di akun whatssApp miliknya.
Sepertinya keluarga itu benar –benar kompak untuk menutupi pengkhianatan ini dariku, istri sah Mas Adnan.
Entah apa salahku kenapa mertua, ipar bahkan suamiku tega melakukan ini padaku. Padahal hubungan kami baik–baik saja dan terasa hangat, apalagi sejak kehadiran Thabita. Mama mas Adnan memang pernah memintanya untuk menikah lagi, tapi dulu ketika tiga tahun usia pernikahan kami. Karna aku tak kunjung hamil sementara mertuaku sudah tak sabar ingin memiliki cucu.
Tapi sekarang, sudah ada Thabita di tengah- tengah kami, lalu kenapa mama tetap menikahkan suamiku dengan wanita lain?
Sungguh tak masuk akal.
Aku pandangi poto perayaan anniversary kami kemarin yang kusimpan di galeri gawaiku. Masih jelas senyum tanda kebahagiaan di rona wajah kami berdua, bahkan mimik Mas Adnan sama sekali tidak menampakkan kecurigaan sedikitpun.
Senyum itu terlihat tulus, tatapannya juga meneduhkan, memancarkan rasa seolah takut kehilanganku.
Ia masih sama seperti yang kukenal, tapi satu hal yang mungkin kulupakan. Cintanya tak seperti dulu! Bodohnya aku tak menyadari itu.
“Lul, kalian di mana?” Aku sengaja menelpon Lula tengah malam untuk kembali mengorek informasi.
“Masih di hotel, Mbak. Ada apa?” tanyanya, nada bicaranya terdengar malas. Mungkin kelelahan.
“Kalau pulang tolong beliin mbak kerupuk jangek Padang dan rendang telur kering, ya!” Aku meminta makanan khas dari tanah Minang tersebut. Sebenarnya, di Medan ada juga kerupuk jangek, tapi rasanya berbeda dengan yang asli dari sana.
“Dimana beli yang begituan, Mbak? Aku gak tau,” ucapnya jengkel.
“Ya di Padang, ada banyak di sana. Tiba–tiba mbak kepengen, ni. Udah lama gak makan kerupuk jangek asli Padang dan rendang telur keringnya,” pintaku kekeh. Aku pernah beberapa kali mencicipi rendang telur kering sebagai oleh-oleh dari temanku yang berkunjung ke Padang.
“Merepotkan saja!” Terdengar suara mama mertuaku dari seberang sana. Sepertinya ia juga jengkel mendengar permintaanku.
“Kalian, sih. Ke Padang gak ngajakin mbak. Kalau bilang dari awal ‘kan mbak bisa buat rencana liburan di sana, sekalian nemenin papa Tabitha kerja juga,” ucapku, berpura-pura polos.
“Apaan sih, udah, udah, matikan ponselnya.” Terdengar lagi suara jengkel dari mama mas Adnan, setengah berbisik tapi masih jelas terdengar. Mungkin ia berada tepat di samping Lula.
“Iya. Nanti Lula beliin. Udah, ya, Mbak. Lula ngantuk.” Lagi, ia memutuskan panggilan dengan cepat.
Aku berjalan ke arah Tabitha, putri kecil buah cintaku dengan lelaki yang amat kucintai. Ia tertidur pulas dalam ayunan box bermotif bintang, kulitnya putih sepertiku, dan wajahnya mirip sekali papanya. Bertahun-bertahun aku berjuang untuk mendapatkannya, bahkan aku pernah dituduh mandul oleh mertuaku karna tak kunjung mendapatkan garis dua.
Tetapi, aku dan mas Adnan tak menyerah, bahkan lelaki itu selalu menguatkanku setiap kali aku mulai lemah. Selama dua tahun belakangan aku mengisi waktu kosongku dengan merintis usaha butik yang awalnya kutekuni di rumah secara online, kemudian beralih ke beberapa Mall di kota ini.
Aku bersyukur Tabitha hadir saat diri ini telah sukses mengembangkan butik. Sehingga pada masa kehamilanku, aku bisa fokus menjaga diri dan kesehatanku. Sementara menyerahkan usahaku untuk dikelola oleh pegawai kepercayaanku.
Hingga dua bulan pasca persalinan normal, aku belum pernah sekalipun mendatangi dua toko butikku. Mas Adnan memintaku untuk fokus saja merawat bayi kami, dan menyerahkan tugas pengecekan butik kepada Lula dan mertuaku.
Di saa seperti ini, aku jadi merindukan mamak, ibu kandungku. Rasanya ingin sekali menangis di pelukannya dan menceritakan sakit akibat pengkhianatan yang dilakukan suamiku. Tapi aku tak mungkin memintanya untuk datang ke sini lagi, mamak baru saja pulang kampung tiga hari yang lalu diantar suamiku sebelum ia meminta izin untuk pergi ke Padang selama sepekan dengan alasan kerja.
Mamak sudah tinggal disini seminggu sebelum aku melahirkan, beliau membantu dan mengajariku cara merawat bayi. Karna hingga empat puluh hari aku belum berani memandikan Tabitha sendiri. Mamaklah yang melakukannya sampai aku memberanikan diri memandikan Tabitha pelan–pelan.
Mama mertuaku pun acap kali datang sambil membawa berbagai macam makanan dan buah-buahan untukku. Katanya agar asiku banyak dan aku cepat pulih. Kami pun sempat mengadakan acara aqiqah dengan mengundang anak-anak panti asuhan, kerabat dan karyawan butikku.
“Oek, oek, oek.”
Tangisan Tabitha membuyarkan anganku seketika, aku gegas menghampirinya lalu menggendongnya menuju ranjangku. Hendak menyusuinya namun bayi itu seakan menolak untuk kuberi asi. Ia terus saja menangis seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Aku mengoleskan minyak angin ke perutnya dan mematikan AC kamar ini, mungkin ia masuk angin karna kedinginan. Akan tetapi, ia terus saja menangis, hingga suaranya semakin nyaring terdengar. Aku yang panik segera menelpon mamak untuk meminta petunjuk, mungkin saja ia paham kenapa Tabitha menangis seperti ini.
“Halo, ada apa, Kak? Kok nelpon malam–malam gini?” terdengar suara mamak dari seberang telepon, sepertinya ia baru saja terbangun karna panggilanku.
“Maaf, Mak, Kakak ganggu. Ini Tabitha nangis terus, udah kususui dan kasi minyak angin tapi tetap saja menangis,” keluhku, menyebut diriku kakak karna aku adalah sulung dari tiga bersaudara. Dua adikku masih sekolah di kampung.
“Oh ... Suamimu, mana?” tanya mamak, ia memang sedikit pelupa. Padahal kemarin aku sudah memberitahunya bahwa suamiku akan pergi ke luar kota.
“Masih di Padang, Mak. Belum pulang,” jawabku, tanpa memberitahukannya bahwa mas Adnan baru saja melangsungkan pernikahan di sana.
“Mungkin Tabitha rindu sama papanya, coba telpon dia, mungkin anakmu mau dengar suara papanya!” usul mamak.
“Tapi seharian ini nomornya gak aktif, Mak. Mungkin sibuk.” Aku mengeluh. Ini malam pertamanya dengan wanita bernama Renita itu, mana mungkin ia mengaktifkan ponselnya.
Kurasakan bulir bening kembali jatuh dari kedua netraku, membayangkan mas Adnan yang tengah meneguk madu cinta bersama sang pelakor.
“Coba ambil baju suamimu, jadikan selimut Tabitha. Mudah-mudahan anak itu gak nangis lagi,” ucap mamak penuh keyakinan. Sementara aku mengusap kasar air yang membasahi pipi.
Aku pun segera mengambil salah satu kemeja mas Adnan, lelaki yang kini menjadi pengantin baru untuk yang kedua kali. Lalu menjadikan selimut menutupi tubuh Tabitha. Benar saja, bayi mungil ini langsung berhenti menangis.
“Udah, Mak, Tabitha udah diam,” ucapku, tanganku membelai lembut kepala Tabitha yang tertutup topi berbahan rajut.
“Kakak juga dulu gitu, waktu masih kecil sering nangis kalau ditinggal almarhum bapak, mamak selimuti pakai baju bapak langsung tertidur nyenyak.” Mamak tertawa mengenang masa kecilku. Tawanya begitu renyah dan menenangkan. Menutupi sedikit luka di hatiku akibat pengkhianatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku mengakhiri panggilan setelah mengucap salam dan terima kasih kepada Mamak. Sebenarnya ingin bicara lebih lama, tapi aku tak tega mengganggu istirahat beliau lebih lama, karna besok ia pasti harus bangun subuh untuk menyiapkan menu jualannya.
Mamak punya usaha di pinggir jalan besar, yaitu warung sarapan pagi. Berbekal uang yang rutin kukirimkan, bangunan yang dulunya berdinding papan itu sudah di renovasi menjadi permanen dan lebih besar sekarang. Bukan hanya menyediakan sarapan pagi, bahkan kini mamak menjual berbagai macam snack dan minuman sampai sore hari. Sebenarnya aku sudah melarangnya untuk tak berjualan lagi, tapi wanita yang telah melahirkanku itu tetap kekeh untuk berjualan dan tak mau terlalu bergantung padaku. Alasannya, lebih baik berjualan untuk mengisi waktu senggangnya sembari mengajari kedua adikku berwirausaha.
Pagi ini, aku sengaja bangun kesiangan, karna tak perlu repot membuat sarapan dan mengurus keperluan suamiku. Lagi pula, aku tak bisa tidur tadi malam. Mataku sulit terpejam mengingat betapa kontrasnya keadaanku di rumah dengan suamiku di sana.Aku meringkuk menahan perih di hati, sementara ia tengah bersenang-senang melewati malam indahnya dengan wanita yang baru dinikahinya.Entah dari mana asalnya wanita itu, hingga membuat suamiku yang dulunya setia dengan mudahnya berpaling dariku. Secantik apakah dia? Kalau hanya karna kecantikan, bukankah aku juga cantik!Hidungku mancung dan bibirku tipis, mataku juga indah dengan bulu yang lentik, dan daguku kata mas Adnan seperti lebah bergantung. Gambaran sempurna dari keindahan yang diinginkan oleh setiap wanita. Mereka sampai melakukan berbagai operasi untuk mendapatkan hidung mancung dengan bibir yang tipis, tentu mengeluarkan sangat banyak biaya dari sang suami.Lalu, aku? Mas Adnan hanya tinggal menikmati kecantikanku dan memberiku wak
Sebuah chat masuk ke akun WhatsApp di gawaiku. Aku yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper gegas mengambilnya dari atas kasur dan membukanya.[Mas akan pulang sesuai rencana dan tidak jadi memperpanjang waktu kerja di sini. Demi kamu, Zahira. Tetaplah di rumah dan jangan ke mana- mana. Maafkan mas karna sempat membuatmu marah.]Aku tersenyum setelah membaca isi chat yang dikirim suamiku dan hanya membalasnya dengan emoticon jempol tanda oke. Sesuai dugaanku, pasti mama yang memintanya untuk tetap pulang tiga hari lagi karna tadi saat aku menaiki tangga, kulihat mama tengah sibuk dengan gawainya. Mungkin ia ingin menghubungi anak kesayangannya agar mencegahku datang ke Padang. Karna bila aku ke sana, semua kebusukan mereka pasti akan terbongkar.Aku tertawa puas. Baru saja memulai, aku sudah menang. Ini belum apa-apa Mas, masih ada hal tak terduga lainnya yang akan kulakukan!Tiba-tiba mama masuk ke kamarku setelah mengetuknya dua kali. Wanita paro baya itu langsung menggen
Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”Entah ke ma
Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan
Oek ... Oek ... OekTabitha yang terlelap digendonganku tiba-tiba terbangun, menyadarkanku dari ilusi yang mungkin akan menghancurkan aku dan rencanaku.Tak hanya menangis, bayiku bahkan muntah, mengeluarkan kembali asi dari hidung dan mulutnya. Tangisannya semakin kencang, sementara aku tak tahu harus berbuat apa.“Zahira, kenapa Tabitha sampai muntah gitu?” Mama hendak mengambil Tabitha dariku, saat tangannya baru saja meraih tubuh kecil itu, mas Adnan merebutnya kembali.“Tabitha, sayang, kamu kenapa, Nak?”Mas Adnan cemas. Ia menimang pelan putri kecilnya yang masih menangis.Aku mengambil tisu, membersihkan kotoran yang menempel pada baju Tabitha. Bersiap duduk di sofa, mengambil Tabitha kembali untuk menyusuinya.Bukannya diam, ia malah semakin menangis, kurasakan hangat pada sekujur tubuhnya.“Tabitha panas, Ma.” Aku mendongak, menunggu respon dari mama. Ia juga tampak panik sepertiku. Tapi, mama kalah cepat ketimbang mas Adnan.“Bawa ke kamar, sayang. Ganti bajunya dan cek suh
Aku mengantar Renita menuju gudang di belakang rumah. Bangunan ini akan menjadi tempat tinggalnya selama bekerja di sini. Meskipun mama berkali-kali memintaku untuk mengizinkan Renita tinggal di kamar tamu, tapi aku sama sekali tak menanggapinya. Kamar itu disediakan khusus untuk tamu, selain Mamak, biasanya Lula atau Dipo yang akan menempatinya.Dipo adalah adik lelaki mas Adnan yang sedang kuliah jurusan seni di Universitas Negeri Medan. Ia sering datang tiba-tiba pada malam hari dan bermalam di sini.“Kamu bersihkan saja dulu, gudang ini tidak terlalu buruk. Lagipula, semua fasilitas lengkap di sini,” ucapku ketika membuka pintu gudang yang aslinya adalah sebuah klinik yang didirikan oleh pemilik awal rumah ini.Bangunan yang bahkan bisa disebut rumah itu mempunyai kamar mandi dan dapur tersendiri. Jadi, aku memerintahkan Renita untuk tidak berlama-lama di rumahku. Cukup datang ketika harus beberes di pagi dan sore hari atau ketika aku membutuhkannya. Bagian masak-memasak tetap aku
Aku memandikan Tabitha dan memakaikan sebuah dress cantik bergambar kelinci yang dihadiahkan Dipo. Dipo memang sangat perhatian kepadaku dan Tabitha, tetapi entah mengapa ia tak begitu akrab dan peduli kepada Mas Adnan, saudara kandungnya sendiri.Wajah mereka sangat mirip, bahkan bentuk alis dan bibirnya sangat serupa. Hanya saja Dipo terkesan asal, rambutnya dibiarkan panjang sebahu dan berkumis tipis. Gaya berpakaiannya juga tak semodis mas Adnan. Kata mas Adnan wajah mereka mewarisi almarhum papa. Sedangkan Lula mewarisi wajah mama.Selama lima tahun menjadi bagian dari keluarga ini, aku sama sekali tak pernah tahu wajah almarhum papa seperti apa. Mereka sama sekali tak pernah menunjukkan potretnya padaku.“Zahira, Zahira.” Terdengar suara Masli dari luar, aku mengintip dari jendela sambil membawa Tabitha dalam gendongan. Masli berdiri di depan pagar sambil terus memukul- mukul pagar, padahal ada Renita sedang berdiri di depannya.Aku bergegas turun menemuinya, sepertinya terjadi
Sudah lima hari aku mengikuti kursus mengemudi dan aku sudah cukup lihai berkendara di keramaian. Sang instruktur sudah memberikan sebuah sertifikat tanda selesai pelatihan dan memberikan beberapa berkas yang harus ditanda tangani untuk pengurusan Surat Izin Mengemudiku dari kepolisian.Lima hari pula Masli bolak balik ke rumahku untuk menjaga Tabitha dan mendesain kamarnya. Sebenarnya Masli bisa saja menyelesaikannya dalam dua hari, tapi aku sengaja memintanya untuk mengulur waktu agar sesuai dengan waktu kursusku, yaitu lima hari.Kamar itu sudah rampung, Masli mengubahnya menjadi bernuansa pink dan putih yang indah dipandang mata. Beberapa aksesoris berbentuk Hello Kitty di pajang pada sebuah meja dekat jendela. Dinding dan lemari juga ditempeli stiker bergambar kartun kucing imut itu. Aku jadi lebih suka menghabiskan waktu di kamar ini, selain untuk menjaga Tabitha, juga untuk menghindar dari mas Adnan.Hari ini Mas Adnan kembali lebih awal. Kantornya memperbolehkan karyawan khusu