Share

Bab 2 Minta Oleh-Oleh

Hingga malam ini aku terus menghubungi nomor mas Adnan, dan mengirimkan berbagai macam chat, seolah aku khawatir terjadi sesuatu kepadanya karna sejak pagi tadi nomornya tidak dapat di hubungi.

Selain itu, terus memantau story Lula yang mungkin saja bisa kujadikan bukti untuk rencana yang sudah kupikirkan sepanjang hari. Sayangnya, gadis berambut pirang itu tak lagi mengupdate satu story pun sejak kejadian tadi, padahal biasanya ia tak pernah sedikitpun lengah untuk membagikan aktivitasnya di akun whatssApp miliknya.

Sepertinya keluarga itu benar –benar kompak untuk menutupi pengkhianatan ini dariku, istri sah Mas Adnan.

Entah apa salahku kenapa mertua, ipar bahkan suamiku tega melakukan ini padaku. Padahal hubungan kami baik–baik saja dan terasa hangat, apalagi sejak kehadiran Thabita. Mama mas Adnan memang pernah memintanya untuk menikah lagi, tapi dulu ketika tiga tahun usia pernikahan kami. Karna aku tak kunjung hamil sementara mertuaku sudah tak sabar ingin memiliki cucu.

Tapi sekarang, sudah ada Thabita di tengah- tengah kami, lalu kenapa mama tetap menikahkan suamiku dengan wanita lain?

Sungguh tak masuk akal.

Aku pandangi poto perayaan anniversary kami kemarin yang kusimpan di galeri gawaiku. Masih jelas senyum tanda kebahagiaan di rona wajah kami berdua, bahkan mimik Mas Adnan sama sekali tidak menampakkan kecurigaan sedikitpun.

Senyum itu terlihat tulus, tatapannya juga meneduhkan, memancarkan rasa seolah takut kehilanganku.

Ia masih sama seperti yang kukenal, tapi satu hal yang mungkin kulupakan. Cintanya tak seperti dulu! Bodohnya aku tak menyadari itu.

“Lul, kalian di mana?” Aku sengaja menelpon Lula tengah malam untuk kembali mengorek informasi.

“Masih di hotel, Mbak. Ada apa?” tanyanya, nada bicaranya terdengar malas. Mungkin kelelahan.

“Kalau pulang tolong beliin mbak kerupuk jangek Padang dan rendang telur kering, ya!” Aku meminta makanan khas dari tanah Minang tersebut. Sebenarnya, di Medan ada juga kerupuk jangek, tapi rasanya berbeda dengan yang asli dari sana.

“Dimana beli yang begituan, Mbak? Aku gak tau,” ucapnya jengkel.

“Ya di Padang, ada banyak di sana. Tiba–tiba mbak kepengen, ni. Udah lama gak makan kerupuk jangek asli Padang dan rendang telur keringnya,” pintaku kekeh. Aku pernah beberapa kali mencicipi rendang telur kering sebagai oleh-oleh dari temanku yang berkunjung ke Padang.

“Merepotkan saja!” Terdengar suara mama mertuaku dari seberang sana. Sepertinya ia juga jengkel mendengar permintaanku.

“Kalian, sih. Ke Padang gak ngajakin mbak. Kalau bilang dari awal ‘kan mbak bisa buat rencana liburan di sana, sekalian nemenin papa Tabitha kerja juga,” ucapku, berpura-pura polos.

“Apaan sih, udah, udah, matikan ponselnya.” Terdengar lagi suara jengkel dari mama mas Adnan, setengah berbisik tapi masih jelas terdengar. Mungkin ia berada tepat di samping Lula.

“Iya. Nanti Lula beliin. Udah, ya, Mbak. Lula ngantuk.” Lagi, ia memutuskan panggilan dengan cepat.

Aku berjalan ke arah Tabitha, putri kecil buah cintaku dengan lelaki yang amat kucintai. Ia tertidur pulas dalam ayunan box bermotif bintang, kulitnya putih sepertiku, dan wajahnya mirip sekali papanya. Bertahun-bertahun aku berjuang untuk mendapatkannya, bahkan aku pernah dituduh mandul oleh mertuaku karna tak kunjung mendapatkan garis dua.

Tetapi, aku dan mas Adnan tak menyerah, bahkan lelaki itu selalu menguatkanku setiap kali aku mulai lemah. Selama dua tahun belakangan aku mengisi waktu kosongku dengan merintis usaha butik yang awalnya kutekuni di rumah secara online, kemudian beralih ke beberapa Mall di kota ini.

Aku bersyukur Tabitha hadir saat diri ini telah sukses mengembangkan butik. Sehingga pada masa kehamilanku, aku bisa fokus menjaga diri dan kesehatanku. Sementara menyerahkan usahaku untuk dikelola oleh pegawai kepercayaanku.

Hingga dua bulan pasca persalinan normal, aku belum pernah sekalipun mendatangi dua toko butikku. Mas Adnan memintaku untuk fokus saja merawat bayi kami, dan menyerahkan tugas pengecekan butik kepada Lula dan mertuaku.

Di saa seperti ini, aku jadi merindukan mamak, ibu kandungku. Rasanya ingin sekali menangis di pelukannya dan menceritakan sakit akibat pengkhianatan yang dilakukan suamiku. Tapi aku tak mungkin memintanya untuk datang ke sini lagi, mamak baru saja pulang kampung tiga hari yang lalu diantar suamiku sebelum ia meminta izin untuk pergi ke Padang selama sepekan dengan alasan kerja.

Mamak sudah tinggal disini seminggu sebelum aku melahirkan, beliau membantu dan mengajariku cara merawat bayi. Karna hingga empat puluh hari aku belum berani memandikan Tabitha sendiri. Mamaklah yang melakukannya sampai aku memberanikan diri memandikan Tabitha pelan–pelan.

Mama mertuaku pun acap kali datang sambil membawa berbagai macam makanan dan buah-buahan untukku. Katanya agar asiku banyak dan aku cepat pulih. Kami pun sempat mengadakan acara aqiqah dengan mengundang anak-anak panti asuhan, kerabat dan karyawan butikku.

“Oek, oek, oek.”

Tangisan Tabitha membuyarkan anganku seketika, aku gegas menghampirinya lalu menggendongnya menuju ranjangku. Hendak menyusuinya namun bayi itu seakan menolak untuk kuberi asi. Ia terus saja menangis seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Aku mengoleskan minyak angin ke perutnya dan mematikan AC kamar ini, mungkin ia masuk angin karna kedinginan. Akan tetapi, ia terus saja menangis, hingga suaranya semakin nyaring terdengar. Aku yang panik segera menelpon mamak untuk meminta petunjuk, mungkin saja ia paham kenapa Tabitha menangis seperti ini.

“Halo, ada apa, Kak? Kok nelpon malam–malam gini?” terdengar suara mamak dari seberang telepon, sepertinya ia baru saja terbangun karna panggilanku.

“Maaf, Mak, Kakak ganggu. Ini Tabitha nangis terus, udah kususui dan kasi minyak angin tapi tetap saja menangis,” keluhku, menyebut diriku kakak karna aku adalah sulung dari tiga bersaudara. Dua adikku masih sekolah di kampung.

“Oh ... Suamimu, mana?” tanya mamak, ia memang sedikit pelupa. Padahal kemarin aku sudah memberitahunya bahwa suamiku akan pergi ke luar kota.

“Masih di Padang, Mak. Belum pulang,” jawabku, tanpa memberitahukannya bahwa mas Adnan baru saja melangsungkan pernikahan di sana.

“Mungkin Tabitha rindu sama papanya, coba telpon dia, mungkin anakmu mau dengar suara papanya!” usul mamak.

“Tapi seharian ini nomornya gak aktif, Mak. Mungkin sibuk.” Aku mengeluh. Ini malam pertamanya dengan wanita bernama Renita itu, mana mungkin ia mengaktifkan ponselnya.

Kurasakan bulir bening kembali jatuh dari kedua netraku, membayangkan mas Adnan yang tengah meneguk madu cinta bersama sang pelakor.

“Coba ambil baju suamimu, jadikan selimut Tabitha. Mudah-mudahan anak itu gak nangis lagi,” ucap mamak penuh keyakinan. Sementara aku mengusap kasar air yang membasahi pipi.

Aku pun segera mengambil salah satu kemeja mas Adnan, lelaki yang kini menjadi pengantin baru untuk yang kedua kali. Lalu menjadikan selimut menutupi tubuh Tabitha. Benar saja, bayi mungil ini langsung berhenti menangis.

“Udah, Mak, Tabitha udah diam,” ucapku, tanganku membelai lembut kepala Tabitha yang tertutup topi berbahan rajut.

“Kakak juga dulu gitu, waktu masih kecil sering nangis kalau ditinggal almarhum bapak, mamak selimuti pakai baju bapak langsung tertidur nyenyak.” Mamak tertawa mengenang masa kecilku. Tawanya begitu renyah dan menenangkan. Menutupi sedikit luka di hatiku akibat pengkhianatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku mengakhiri panggilan setelah mengucap salam dan terima kasih kepada Mamak. Sebenarnya ingin bicara lebih lama, tapi aku tak tega mengganggu istirahat beliau lebih lama, karna besok ia pasti harus bangun subuh untuk menyiapkan menu jualannya.

Mamak punya usaha di pinggir jalan besar, yaitu warung sarapan pagi. Berbekal uang yang rutin kukirimkan, bangunan yang dulunya berdinding papan itu sudah di renovasi menjadi permanen dan lebih besar sekarang. Bukan hanya menyediakan sarapan pagi, bahkan kini mamak menjual berbagai macam snack dan minuman sampai sore hari. Sebenarnya aku sudah melarangnya untuk tak berjualan lagi, tapi wanita yang telah melahirkanku itu tetap kekeh untuk berjualan dan tak mau terlalu bergantung padaku. Alasannya, lebih baik berjualan untuk mengisi waktu senggangnya sembari mengajari kedua adikku berwirausaha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status