POV RenitaBukan keinginanku untuk menjadi wanita hina seperti ini, menjadi duri di rumah tangga orang lain. Namun, kemalangan hidup memaksaku berbuat demikian. Setelah aku kehilangan harapan dan masa depan.Aku tak menyangka harus menjalani hidup sepahit ini di usia yang masih muda. Namaku Renita Clara, gadis berambut pirang yang harus diusir oleh ayahku sendiri ketika mendengar kabar yang menghancurkan seluruh angan dan harapannya.Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu harus menerima kenyataan pahit bahwa anak gadis yang selalu dibanggakannya tengah hamil tanpa suami. Ayahku tak menyangka jika putri semata wayangnya ini akan menorehkan luka sepahit ini di usia senjanya. Padahal, ia telah menggantungkan harapan besar kepadaku yang bercita–cita untuk menjadi seorang pengacara.Aku tahu, hidup menduda selama belasan tahun lalu membesarkan putri seorang diri bukanlah hal mudah bagi Ayah. Apalagi kami selalu hidup terkukung dalam kekurangan. Ia pun sadar untuk tidak mungkin menikah lag
POV ZahiraAku pikir setelah mama Sarmila yang ternyata hanyalah ibu sambung Mas Adnan mendekam di penjara bersama Renita, maka berakhirlah semua prahara dan nestapa dalam rumah tanggaku. Kemudian berganti dengan tawa dan bahagia seperti sedia kala. Nyatanya, aku salah. Masih ada kumpulan sekantong peluru duka yang senantiasa menghujam ke jantung ini, bahkan dari orang- orang yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.Namun, sudah kutegaskan sebelumnya. Aku Zahira Putri Saragih, tidak akan diam jika ada orang yang ingin merebut kebahagiaanku. Aku tak akan pasrah dalam kedukaan dan membiarkan mereka tertawa di atas sakitku.Aku telah berjanji akan terus mempertahankan bahtera perkawinanku dengan Adnan Fahreza, lelaki yang aku anggap tanpa cela. Suami yang begitu setia padaku, bahkan tak rela membagi raganya dengan wanita lain.Akan tetapi, keyakinanku mulai goyah ketika badai itu kembali datang, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Jika ia menolak untuk aku pertahankan, maka aku akan me
Malam hari, saat kami baru saja menyelesaikan makan malam, seluruh anggota keluarga kembali berkumpul di ruang keluarga. Tinggal aku dan Vioni yang masih tinggal di dapur. Vioni mencuci piring sementara aku membereskan sisa makanan dan mengelap meja makan.Saat aku hendak beranjak ke pintu utama untuk memastikan pintu telah terkunci secara mendadak Erika berlari menghampiriku.“Erika, ada yang ingin kau sampaikan?” Aku yakin gadis itu ingin sekali memberitakan sesuatu. Ia mengangguk antusias.“Apa?” ucapku. Wajahnya cemas, gestur tubuhnya juga tidak beraturan. Ia memilin ujung bajunya, kemudian mengisyaratkan sesuatu yang tidak bisa aku mengerti.“Maaf, Erika, aku tidak mengerti.” Erika tampak kecewa, tapi ia berusaha melakukan hal yang sama berulang-ulang. Aku berusaha untuk menangkap maksudnya, yang aku mengerti hanyalah ia mengisyaratkan bukan dan tangan yang bergantian digenggam.“Apa kau ingin gelang?” Aku menerka mungkin saja itu yang dimaksudnya.Sayangnya, ia masih menggeleng
Aku pikir pagi ini akan aku kulewati dengan suasana hati yang runyam. Mengingat sikap Mas Adnan yang sepertinya marah padaku tadi malam. Syukurlah, pagi ini kami lewati dengan manis. Seperti biasa, suamiku bangun lebih awal dan menyambutku dengan kecupan hangat di kening dan pipiku.“Selamat Pagi, Sayang!” sapanya memamerkan sebuah lengkungan manis dari mulutnya yang membuat aku kian bersemangat untuk menyambut pagi.“Pagi, Mas.” Aku ingin menanyakan apakah ia masih marah padaku. Namun, jika sikapnya saja seolah biasa, lalu untuk apa lagi aku harus bertanya. Mungkin ia telah melupakan perselisihan kecil itu.Seperti biasa, Mas Adnan akan menemani Tabitha di kamar, sementara aku mandi lalu menyiapkan sarapan di dapur.Aku turun menuju dapur setelah mengenakan setelan berlengan pendek dengan celana panjang bermotif senada. Sudah ada Vioni di sana, ia sedang meracik bumbu untuk membuat bubur ayam.“Mbak, kok aku perhatikan Nyonya Friska sedikit berubah beberapa hari ini.” Vioni mengajak
Dua minggu setelah kembalinya ibu, kami mendapat kabar bahwa ibu belum bisa kembali lagi ke rumah ini. Mas Adnan dan Lula tampak kecewa. Namun aku? Entahlah, aku tak bisa menjelaskan perasaanku. Yang jelas setelah melihat banyaknya perbedaan sikap dari wanita itu membuatku seolah memiliki tirai yang membentang di antara kami. Apalagi, ibu menanyakan kabar seluruh keluarga melalui sambungan telepon. Namun, tidak untukku. Beliau tak menanyakan kabarku, seolah lupa bahwa ia kini punya seorang menantu.Kecewa memang, namun aku berusaha berpikiran positif. Mungkin karena tadi ibu menelepon dengan keadaan terburu-buru. Terdengar suara orang lain di dekatnya, barangkali ia sedang berada di tengah keramaian.Bukankah artinya aku dapat kembali menikmati hari layaknya dulu? Mengurus rumah, butik, dan keluargaku tanpa adanya masalah dan rasa sungkan pada mertua.Sikap Mas Adnan semakin manis padaku, kami sering melewati makan malam romantis seperti dulu. Terlebih kini Tabitha tumbuh menjadi anak
“Oh, iya. Aku percaya kalau kamu tidak mungkin berbohong padaku, Mas. Karena kamu pasti paham betul apa yang akan kulakukan jika kamu kembali membohongiku,” ucapku tersenyum sarkas. Aku tidak akan memaafkan hal apapun yang mungkin akan membuatku terluka. Termasuk pengkhianatan. Jika hal itu kembali terjadi, aku tidak akan berpikir panjang untuk menjadikan diriku seorang janda.“Tidak, Sayang. Aku akan selalu setia padamu. Aku sudah berjanji di depan ibuku, dan barusan aku berjanji di depan mertuaku. Suamimu ini bukan pengkhianat, Zahira!” Mas Adnan memegangi kedua bahuku. Berbicara dengan sangat mantap. Menunjukkan bahwa ucapannya itu bukanlah main-main.“Iya, Mas. Aku harap begitu. Aku sudah ngantuk, mau tidur,” selaku bersiap merebahkan diri di tempat tidur berbahan besi. Ranjang ini dulunya ditempah mamak pada pengrajin di desa ini. Usianya sudah lebih sepuluh tahun, tapi tetap kokoh sampai sekarang.Aku tidur menghadap ayunan Tabitha, sekaligus membelakangi mas Adnan. Sedari tadi
“Ammar?”Aku seperti pernah mengenal nama itu, seperti nama pelatih pengemudiku dulu. Tapi, banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Mungkin saja orangnya berbeda. Lagipula Ammar yang kukenal itu sepertinya bukan orang kaya, katanya waktu itu ia bekerja sebagai pelatih mengemudi untuk membiayai hidupnya yang sebatang kara.“Tolong Kakak bicara sama Marwah, agar ia tidak keras kepala. Mamak tidak setuju jika dia menikah dengan pemuda itu, mungkin kalau kamu yang bicara, dia bisa melemah,” ujar mamak sendu. Aku tidak menyangka hanya karena cinta, Marwah sanggup bersikap dingin terhadap wanita yang telah berkorban nyawa demi ia bisa melihat dunia.Aku pun setuju dengan mamak, adikku masih terlalu muda untuk bersanding di pelaminan. Aku harus menasihatinya. Apa lagi, posisiku dianggap sebagai kepala keluarga di sini. Aku yakin sedikit banyaknya ia pasti mau mengerti.“Iya, Mak. Tenang aja, nanti aku bicarakan, pasti dia mau nurut,” hiburku pada mamak, aku tidak tega jika ia harus bers
Aarggh ... aku benar-benar kecewa pada Marwah. Selain berani melawan, kini ia telah menjadi seorang pembohong. Semua demi pemuda yang bernama Ammar. Seperti apa sih, rupanya. Sehingga adikku begitu tergila-gila padanya. Ingin sekali aku memberinya perhitungan, agar segera pergi dari kehidupan Marwah. Aku yakin Marwah berubah seperti ini karena telah termakan bujuk rayu dari lelaki itu.Aku kembali berlari menggedor pintu kamarnya, ingin meminta penjelasan lebih darinya. Meninggalkan Nazwa yang masih menekuri perbuatan sang adik. Sedangkan Mamak tengah berjalan keluar pagar, menyapa tetangga yang lewat sembari menggendong Tabitha."Marwah, tolong buka pintunya. Kakak minta maaf." Aku memohon agar ia mau membuka pintu ini, menemuiku sekali lagi dan berbicara dari hati ke hati. "Marwah, Marwah, keluar dong, Dek!"Entah panggilan yang ke berapa kali. Barulah gagang pintu itu ditarik dari dalam. Marwah keluar dengan wajah yang masih sama. Marah."Dek, Kakak minta maaf, Kakak tarik kembali