Aku pikir pagi ini akan aku kulewati dengan suasana hati yang runyam. Mengingat sikap Mas Adnan yang sepertinya marah padaku tadi malam. Syukurlah, pagi ini kami lewati dengan manis. Seperti biasa, suamiku bangun lebih awal dan menyambutku dengan kecupan hangat di kening dan pipiku.“Selamat Pagi, Sayang!” sapanya memamerkan sebuah lengkungan manis dari mulutnya yang membuat aku kian bersemangat untuk menyambut pagi.“Pagi, Mas.” Aku ingin menanyakan apakah ia masih marah padaku. Namun, jika sikapnya saja seolah biasa, lalu untuk apa lagi aku harus bertanya. Mungkin ia telah melupakan perselisihan kecil itu.Seperti biasa, Mas Adnan akan menemani Tabitha di kamar, sementara aku mandi lalu menyiapkan sarapan di dapur.Aku turun menuju dapur setelah mengenakan setelan berlengan pendek dengan celana panjang bermotif senada. Sudah ada Vioni di sana, ia sedang meracik bumbu untuk membuat bubur ayam.“Mbak, kok aku perhatikan Nyonya Friska sedikit berubah beberapa hari ini.” Vioni mengajak
Dua minggu setelah kembalinya ibu, kami mendapat kabar bahwa ibu belum bisa kembali lagi ke rumah ini. Mas Adnan dan Lula tampak kecewa. Namun aku? Entahlah, aku tak bisa menjelaskan perasaanku. Yang jelas setelah melihat banyaknya perbedaan sikap dari wanita itu membuatku seolah memiliki tirai yang membentang di antara kami. Apalagi, ibu menanyakan kabar seluruh keluarga melalui sambungan telepon. Namun, tidak untukku. Beliau tak menanyakan kabarku, seolah lupa bahwa ia kini punya seorang menantu.Kecewa memang, namun aku berusaha berpikiran positif. Mungkin karena tadi ibu menelepon dengan keadaan terburu-buru. Terdengar suara orang lain di dekatnya, barangkali ia sedang berada di tengah keramaian.Bukankah artinya aku dapat kembali menikmati hari layaknya dulu? Mengurus rumah, butik, dan keluargaku tanpa adanya masalah dan rasa sungkan pada mertua.Sikap Mas Adnan semakin manis padaku, kami sering melewati makan malam romantis seperti dulu. Terlebih kini Tabitha tumbuh menjadi anak
“Oh, iya. Aku percaya kalau kamu tidak mungkin berbohong padaku, Mas. Karena kamu pasti paham betul apa yang akan kulakukan jika kamu kembali membohongiku,” ucapku tersenyum sarkas. Aku tidak akan memaafkan hal apapun yang mungkin akan membuatku terluka. Termasuk pengkhianatan. Jika hal itu kembali terjadi, aku tidak akan berpikir panjang untuk menjadikan diriku seorang janda.“Tidak, Sayang. Aku akan selalu setia padamu. Aku sudah berjanji di depan ibuku, dan barusan aku berjanji di depan mertuaku. Suamimu ini bukan pengkhianat, Zahira!” Mas Adnan memegangi kedua bahuku. Berbicara dengan sangat mantap. Menunjukkan bahwa ucapannya itu bukanlah main-main.“Iya, Mas. Aku harap begitu. Aku sudah ngantuk, mau tidur,” selaku bersiap merebahkan diri di tempat tidur berbahan besi. Ranjang ini dulunya ditempah mamak pada pengrajin di desa ini. Usianya sudah lebih sepuluh tahun, tapi tetap kokoh sampai sekarang.Aku tidur menghadap ayunan Tabitha, sekaligus membelakangi mas Adnan. Sedari tadi
“Ammar?”Aku seperti pernah mengenal nama itu, seperti nama pelatih pengemudiku dulu. Tapi, banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Mungkin saja orangnya berbeda. Lagipula Ammar yang kukenal itu sepertinya bukan orang kaya, katanya waktu itu ia bekerja sebagai pelatih mengemudi untuk membiayai hidupnya yang sebatang kara.“Tolong Kakak bicara sama Marwah, agar ia tidak keras kepala. Mamak tidak setuju jika dia menikah dengan pemuda itu, mungkin kalau kamu yang bicara, dia bisa melemah,” ujar mamak sendu. Aku tidak menyangka hanya karena cinta, Marwah sanggup bersikap dingin terhadap wanita yang telah berkorban nyawa demi ia bisa melihat dunia.Aku pun setuju dengan mamak, adikku masih terlalu muda untuk bersanding di pelaminan. Aku harus menasihatinya. Apa lagi, posisiku dianggap sebagai kepala keluarga di sini. Aku yakin sedikit banyaknya ia pasti mau mengerti.“Iya, Mak. Tenang aja, nanti aku bicarakan, pasti dia mau nurut,” hiburku pada mamak, aku tidak tega jika ia harus bers
Aarggh ... aku benar-benar kecewa pada Marwah. Selain berani melawan, kini ia telah menjadi seorang pembohong. Semua demi pemuda yang bernama Ammar. Seperti apa sih, rupanya. Sehingga adikku begitu tergila-gila padanya. Ingin sekali aku memberinya perhitungan, agar segera pergi dari kehidupan Marwah. Aku yakin Marwah berubah seperti ini karena telah termakan bujuk rayu dari lelaki itu.Aku kembali berlari menggedor pintu kamarnya, ingin meminta penjelasan lebih darinya. Meninggalkan Nazwa yang masih menekuri perbuatan sang adik. Sedangkan Mamak tengah berjalan keluar pagar, menyapa tetangga yang lewat sembari menggendong Tabitha."Marwah, tolong buka pintunya. Kakak minta maaf." Aku memohon agar ia mau membuka pintu ini, menemuiku sekali lagi dan berbicara dari hati ke hati. "Marwah, Marwah, keluar dong, Dek!"Entah panggilan yang ke berapa kali. Barulah gagang pintu itu ditarik dari dalam. Marwah keluar dengan wajah yang masih sama. Marah."Dek, Kakak minta maaf, Kakak tarik kembali
Lihai sekali adikku ini. Ia begitu sulit dikendalikan, seperti seekor belut sawah saja. Mataku yang tadinya cerah, kembali meredup. Tidak tahan untuk dipaksa membeliak. Akhirnya aku tertidur. Setelah meletakkan ponsel Marwah di dalam laci nakas. Aku harus segera istirahat, sebelum melakukan perjalanan panjang esok hari.**Subuh ini aku terbangun ketika mendengar suara ketukan dari balik kamarku. Kulihat jam di dinding masih berada tepat di angka empat. Aku pun bergegas membukanya dengan mata yang masih mengantuk, berulang kali aku kedipkan mata agar pandangan tidak lagi berkunang-kunang.Dengan tertatih, kubuka kunci dan melihat siapa yang sudah membangunkan aku di jam segini.Dahiku mengernyit, antara masih mengantuk dan ingin memastikan. Aku tidak salah, yang berdiri di hadapanku ini adalah Marwah, ia mematung dengan masih memakai piyamanya.Tatapannya menyiratkan sesuatu, sepertinya ia ingin bicara padaku."Marwah! Masuk, Dek." Tanpa bertanya tujuannya, aku membuka pintu lebih le
Kemudian aku menyuruh Marwah untuk kembali ke kamarnya, sembari melihat keadaan sekitar. Sepertinya Mamak belum bangun, karena sejak aku di sini. Ia total tidak berjualan lagi. Aku pun sudah menyarankannya agar lebih baik beristirahat. Tidak perlu lagi berjualan sarapan karena akan menguras banyak tenaga. Ia pun setuju, apalagi sejak Marwah dan Nazwa sibuk mengurusi tokonya, Mamak juga mulai kelelahan sebab anaknya tidak lagi membantu pekerjaannya secara maksimal.Aku pun bergegas menutup pintu. Kembali merebahkan diri di atas ranjang, meskipun mata ini tidak bisa terpejam lagi. Selain karena hari yang mulai siang, juga karena isi kepalaku sedang bekerja untuk mencari alasan yang tepat untuk membawa Marwah ikut denganku.Kegiatan berpikirku terhenti saat mendengar suara berisik dari dapur. Lagi pula, setelah hampir satu jam terdiam, aku telah menemukan ide yang tepat untuk memboyong adikku pergi dari rumah ini. "Mamak sudah bangun?" Tanyaku sembari berjalan menghampirinya yang sedan
Kami pun memulai perjalanan pulang dengan perasaan masing-masing. Aku dengan segala macam pikiran, mulai dari butik, rumah, Mamak, dan Marwah. Ditambah lagi akan bertemu dengan mertuaku, Ibu Friska. Semoga kali ini tidak ada sikapnya yang membuatku kembali tidak nyaman."Apa kegiatanmu selama aku tidak di rumah, Mas?" tanyaku memecah kesunyian. Kami baru saja keluar dari kawasan perkampungan. Tidak banyak lagi yang mengenalku di sini, sehingga aku mulai menutup kaca mobil. Tidak seperti ketika masih di kampungku tadi, aku masih menyapa beberapa orang yang kukenal dari dalam mobil."Seperti biasa. Pergi bekerja dan beberapa kali mengecek butik. Sesuai laporanku di telepon," ucapnya kemudian tertawa. Selama berpisah, kami memang saling memberitahukan kegiatan. Terutama Mas Adnan, ia sering meneleponku sebelum tidur. Sekadar bertanya tentang aktivitasku dan Tabitha."Bagaiman dengan Ibu? Apakah kamu sudah membawanya ke dokter terapi?""Sudah, tapi bukan aku yang membawanya. Dia menyewa s