Aarggh ... aku benar-benar kecewa pada Marwah. Selain berani melawan, kini ia telah menjadi seorang pembohong. Semua demi pemuda yang bernama Ammar. Seperti apa sih, rupanya. Sehingga adikku begitu tergila-gila padanya. Ingin sekali aku memberinya perhitungan, agar segera pergi dari kehidupan Marwah. Aku yakin Marwah berubah seperti ini karena telah termakan bujuk rayu dari lelaki itu.Aku kembali berlari menggedor pintu kamarnya, ingin meminta penjelasan lebih darinya. Meninggalkan Nazwa yang masih menekuri perbuatan sang adik. Sedangkan Mamak tengah berjalan keluar pagar, menyapa tetangga yang lewat sembari menggendong Tabitha."Marwah, tolong buka pintunya. Kakak minta maaf." Aku memohon agar ia mau membuka pintu ini, menemuiku sekali lagi dan berbicara dari hati ke hati. "Marwah, Marwah, keluar dong, Dek!"Entah panggilan yang ke berapa kali. Barulah gagang pintu itu ditarik dari dalam. Marwah keluar dengan wajah yang masih sama. Marah."Dek, Kakak minta maaf, Kakak tarik kembali
Lihai sekali adikku ini. Ia begitu sulit dikendalikan, seperti seekor belut sawah saja. Mataku yang tadinya cerah, kembali meredup. Tidak tahan untuk dipaksa membeliak. Akhirnya aku tertidur. Setelah meletakkan ponsel Marwah di dalam laci nakas. Aku harus segera istirahat, sebelum melakukan perjalanan panjang esok hari.**Subuh ini aku terbangun ketika mendengar suara ketukan dari balik kamarku. Kulihat jam di dinding masih berada tepat di angka empat. Aku pun bergegas membukanya dengan mata yang masih mengantuk, berulang kali aku kedipkan mata agar pandangan tidak lagi berkunang-kunang.Dengan tertatih, kubuka kunci dan melihat siapa yang sudah membangunkan aku di jam segini.Dahiku mengernyit, antara masih mengantuk dan ingin memastikan. Aku tidak salah, yang berdiri di hadapanku ini adalah Marwah, ia mematung dengan masih memakai piyamanya.Tatapannya menyiratkan sesuatu, sepertinya ia ingin bicara padaku."Marwah! Masuk, Dek." Tanpa bertanya tujuannya, aku membuka pintu lebih le
Kemudian aku menyuruh Marwah untuk kembali ke kamarnya, sembari melihat keadaan sekitar. Sepertinya Mamak belum bangun, karena sejak aku di sini. Ia total tidak berjualan lagi. Aku pun sudah menyarankannya agar lebih baik beristirahat. Tidak perlu lagi berjualan sarapan karena akan menguras banyak tenaga. Ia pun setuju, apalagi sejak Marwah dan Nazwa sibuk mengurusi tokonya, Mamak juga mulai kelelahan sebab anaknya tidak lagi membantu pekerjaannya secara maksimal.Aku pun bergegas menutup pintu. Kembali merebahkan diri di atas ranjang, meskipun mata ini tidak bisa terpejam lagi. Selain karena hari yang mulai siang, juga karena isi kepalaku sedang bekerja untuk mencari alasan yang tepat untuk membawa Marwah ikut denganku.Kegiatan berpikirku terhenti saat mendengar suara berisik dari dapur. Lagi pula, setelah hampir satu jam terdiam, aku telah menemukan ide yang tepat untuk memboyong adikku pergi dari rumah ini. "Mamak sudah bangun?" Tanyaku sembari berjalan menghampirinya yang sedan
Kami pun memulai perjalanan pulang dengan perasaan masing-masing. Aku dengan segala macam pikiran, mulai dari butik, rumah, Mamak, dan Marwah. Ditambah lagi akan bertemu dengan mertuaku, Ibu Friska. Semoga kali ini tidak ada sikapnya yang membuatku kembali tidak nyaman."Apa kegiatanmu selama aku tidak di rumah, Mas?" tanyaku memecah kesunyian. Kami baru saja keluar dari kawasan perkampungan. Tidak banyak lagi yang mengenalku di sini, sehingga aku mulai menutup kaca mobil. Tidak seperti ketika masih di kampungku tadi, aku masih menyapa beberapa orang yang kukenal dari dalam mobil."Seperti biasa. Pergi bekerja dan beberapa kali mengecek butik. Sesuai laporanku di telepon," ucapnya kemudian tertawa. Selama berpisah, kami memang saling memberitahukan kegiatan. Terutama Mas Adnan, ia sering meneleponku sebelum tidur. Sekadar bertanya tentang aktivitasku dan Tabitha."Bagaiman dengan Ibu? Apakah kamu sudah membawanya ke dokter terapi?""Sudah, tapi bukan aku yang membawanya. Dia menyewa s
"Sssttt, udah ah, aku juga bingung, kok penampilannya bisa berubah total gitu," ucapku sambil mengerlingkan mata ke arahnya.Mungkin Ibu ingin kembali menikmati hidup seperti masa muda dulu. Ketika masih cantik dan aktif. Tidak ada yang salah menurutku, sebab ia memang bergaya sesuai kantongnya.Aku dan Marwah menyiapkan nasi dan mie goreng untuk menu sarapan kami.Lula juga turut bergabung ketika mendengar suara bising dari peralatan dapur, membantu aku dan Marwah menyiapkan sarapan.Tidak susah bagi Marwah menyesuaikan diri di sini, karena ia juga sudah cukup mengenal Lula. Mereka sudah sering bertemu, namun tidak pernah seakrab ini sebelumnya. Lula juga terlihat nyaman berbicara dengan Marwah, mungkin karena usianya yang hampir sama. Kegiatan di dapur jadi lebih menyenangkan mendengarkan ocehan kedua pemudi ini.Suasana pagi di meja makan pun terasa hangat. Sebab Marwah dan Lula tidak henti-hentinya saling meledek dan bercanda satu sama lain. Sedangkan aku, Ibu dan Mas Adnan sesek
"Oke, baiklah. Kami akan kembali dua hari lagi. Maaf telah mengganggu waktunya. Terima kasih!" Aku berbalik tanpa melihat wanita bernama Rara itu.Kemudian menarik paksa tangan Marwah yang sepertinya enggan beranjak dari tempat ini.Tak lupa, aku tadi sempat memberikan kartu namaku padanya. Berpesan agar ia menghubungiku, kalau saja Ammar sudah kembali lebih cepat.Kepalaku jadi pusing memikirkan tentang Ammar. Waktu itu dia bilang hanya pekerja di sana, tapi ternyata dialah bos di perusahaan penyedia jasa kursus dan rental mobil tersebut. Kenapa dia berbohong padaku? Dan apa tujuannya waktu itu, kenapa seorang bos harus berpura-pura menjadi instruktur di perusahaannya sendiri? Entahlah, aku mulai belingsatan karena ulah kekasih adikku itu. Walaupun sudah tahu jati diri Ammar sebenarnya, tapi aku masih saja belum yakin jika tidak bertemu langsung dengannya."Tuh, 'kan. Bener yang kubilang, Ammar itu tajir, Kak." Marwah terlihat sumringah. Seolah menunjukkan bahwa masih ada sisi baik
"Iya, Nak. Terima kasih, ya!" ungkapnya. Sorot matanya begitu teduh, namun sulit untuk diartikan.Kututup pintu pelan, mata ini masih menatap lekat ke arah mertuaku, ia masih tak bergeming, tetap pada posisinya.Aku melebarkan langkah menuju asal suara milik suamiku, memberikan senyum termanis untuk menyambut kepulangannya."Sudah pulang, Mas?" ucapku seraya meraih punggung tangannya untuk aku kecup. Ia sedang duduk bersandar di sofa ruang tamu."Sayang, tolong siapin air hangat, ya. Badan ini rasanya sangat pegal," pintanya sembari merentangkan sendi-sendinya, sehingga menimbulkan suara khas tulang yang direnggangkan.Sudah jadi aktivitas rutin bagi Mas Adnan untuk mandi air hangat jika tubuhnya sudah terlalu lelah bekerja."Iya, tapi kamu makan dulu, ya, Mas. Biar aku siapin makanannya," ucapku. Maksudku agar setelah mandi nanti ia langsung beristirahat.**"Mas, Ibu sekarang beda banget, ya," ucapku saat kami berbaring di atas kasur king size yang seusia dengan pernikahan kami. Saa
"Mas ..." panggilku lembut. Mendatanginya untuk mencoba memberikan pengertian bahwa ia seharusnya turut bahagia demi sang Ibu."Biarkan Ibu dengan pilihannya, Mas. Seharusnya kamu mendukung keinginan Ibu," rayuku, mencoba meyakinkannya. Aku tak rela jika mereka memperselisihkan hal ini lagi."Zahira, kamu tidak mengerti, Sayang." Mas Adnan malah semakin gusar, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.Mulutnya mengeluarkan udara yang masuk dengan sekali hembusan."Mas, aku sangat mengerti. Tapi, Ibu juga berhak bahagia," balasku tak paham dengan keinginan suamiku. Ia yang biasanya penurut dan bersikap lembut pada Ibu, saat ini berubah menyebalkan."Zahira, aku melakukan ini demi menjaga perasaanmu.""Tak perlu mempertimbangkan perasaanku, Mas. Pikirkan saja tentang Ibu," jawabku mulai tersulut emosi. Kenapa Mas Adnan yang sekarang begitu keras kepala. Kemana ia letakkan baktinya pada sang Ibu?"Sudahlah, Adnan. Kalian tak perlu memperdebatkan hal itu. Biarlah ini menjadi urusanku." Sepe