Assalamualaikum, terima kasih masih setia membaca cerita ini. Semoga kalian selalu terhibur 🙏Story Adik Iparku di Akad Nikah SuamikuMereka masuk menuju kamar masing-masing, dan walaupun anggota keluarga baru. Tentu Renita tak perlu dituntun lagi, ia sudah hapal betul seluk beluk rumah ini.Ibu keterlaluan sekali, ia malah membawa Renita ke tempat ini. Entah keributan apa yang mungkin akan terjadi nanti, karena kehadiran Renita memang bagai racun untuk kami."Sejak kapan kalian mulai merenovasi?" tanya Ibu saat kubantu membawa tasnya menuju gudang belakang."Baru hari ini, Bu," jawabku sambil mengamati para pekerja yang begitu cekatan. Ada sekitar sepuluh orang kuli yang bekerja di sini."Ayah dan Ibu silahkan istirahat, jika lapar sudah ada makanan di dapur. Aku mau mengurus Tabitha dulu, semoga betah, ya, Yah!" pamitku pada Ibu dan suami barunya. Aku langsung masuk kembali ke rumah, ekor mataku waspada ketika melewati kamar tamu, sekaligus mengamati gerak-gerik perempuan itu.Tak
Hatiku berubah nyeri, mempertanyakan hal apa yang hendak dibicarakan Ibu padaku. Tapi melihat binar matanya yang meneduhkan, sepertinya sebuah kabar baik untukku.Setelah sampai di gazebo yang sepi dan sejuk karena rindangnya pepohonan.Aku pun meletakkan bobot di sandaran, menunggu Ibu mengungkapkan apa yang hendak dibicarakan. Semoga saja kabar baik untukku."Zahira, ini berkas pengalihan aset seperti yang telah Ibu janjikan padamu," ucapnya mengambil sebuah map yang ternyata sudah di letakkannya di tengah gazebo ini. Mungkin sengaja diletakkan Ibu di sini sebelum tadi berencana untuk bicara padaku, dan malah berdebat dengan Mas Adnan.Ia membukakan lembar demi lembar kertas yang sudah dibubuhi tanda tangannya, menunjukkan padaku satu persatu isi surat tersebut. Walau aku percaya pada Ibu, tapi aku tetap mengamati secara seksama untuk melihat keasliannya. "Ibu percayakan semua ini padamu, menantu yang paling Ibu percayakan. Ibu harap kamu gunakan ini semua dengan sebaik-baiknya, ba
"Lalu apa? Kenapa menangis?" Aku mengangkat tubuhnya yang lunglai agar sejajar denganku, mencengkeram kedua bahunya dan menatap mata yang dipenuhi linangan kesedihan.Cukup lama, hingga akhirnya Marwah diam. Tapi ia masih tidak mau bicara. Ia malah meninggalkanku lalu beranjak ke kamar bersamaan datangnya Renita dengan penampilan dan rambut yang begitu berantakan. Kulihat mereka hanya saling tatap, lalu berjalan menuju kamar masing-masing. Renita ke kamar tamu, dan Marwah masuk ke kamar Tabitha.Aku pun bergegas untuk menyusul Marwah ke atas. Mungkin ia tidak mau bicara karena ada Mas Adnan. Tapi di mana Ammar? Entahlah, mobilnya juga tidak ada di depan.BrakAku urung menaiki anak tangga, mendengar kerasnya suara pintu kamar yang ditutup oleh Renita, tepatnya dibanting. Kalau saja tak terbuat dari kayu yang kokoh, mungkin daun pintu yang tidak bersalah itu akan terbelah dua. Kurasa ia mulai tak waras. Menumpang tapi tidak tahu diri."Ada apa, Sayang?" Mas Adnan yang tadinya di dapu
Aku lepaskan rambut itu dengan sekali hentakan. Hingga beberapa helainya jatuh ke lantai. Wanita itu ingin melawan, tapi terdengar teriakan seorang lelaki yang memanggil namanya."Non Renita, ayo, Non. Nyonya Friska sudah memanggil," ajak Pak Asad yang rupanya datang atas perintah Ibu. Tanpa melawan lagi, ia pun segera pergi ke luar. Menyusul Ibu di mobil untuk segera pergi ke rumah sakit.Aku tersenyum sinis, memandang kepergian wanita yang kesakitan karena rambutnya kutarik. Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan yang lebih menyakitkan dari itu. Tapi, aku tidak ingin terlihat seperti monster di hadapan Tabitha, anakku. Masih ada waktu yang tersisa untuk melampiaskan sesak di dada ini.Sekarang, rumah terasa sepi. Karena hanya kami bertiga yang tersisa di rumah ini. Aku, Tabitha, dan Marwah yang masih betah di kamar. Sepertinya ia tidak tahu menahu tentang yang terjadi barusan.Dengan langkah gontai, aku naik ke lantai atas kamar ini dan mencoba mengetuk pintu kamar yang terletak di
"Iya, Kak. Gak papa, aku juga mau lanjut tidur. Masih ngantuk soalnya." Marwah menguap kembali, dari nada bicaranya ia sudah kembali tegar seperti sebelumnya. Ia juga berusaha tersenyum simpul walau terlihat begitu dipaksakan. Melihat keadaannya sesaat, cukup membuat rasa cemas yang sedari tadi mendominasi pikiranku jadi menghilang."Percayalah, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana kita," bujukku meletakkan sebelah tanganku di atas tangannya yang terulur di atas ranjangku. Mengalirkan sedikit ketegaran yang aku punya kepada wanita bermata sayu itu.Ia menjawab dengan guratan senyum seperti tadi, simpul dan dipaksakan."Makanlah dulu, Dek. Jangan biarkan perutmu terus-terusan kosong. Atau ... kamu mau kakak belikan nasi goreng, mie rebus atau pizza?" Aku tawarkan beberapa makanan favoritnya, barangkali selera makannya yang hilang akibat patah hati kembali bertandang."Emmm, nasi goreng aja, Kak. Sekalian jus martabenya, ya.""Oke." Kebetulan lidahku juga ingin sekali d
Wanita itu berdecak, lalu kembali untuk duduk di kursi roda yang dipegang Mas Adnan sambil menggembungkan pipi karena kesal.Aku dan Mas Adnan tersenyum. Aku senyum karena melihatnya berkali-kali kalah dariku. Kalau Mas Adnan entah karena apa."Terima kasih, Mas." Lagi-lagi Renita tersenyum saat ia baru saja turun dari kursi roda dan Mas Adnan membuka pintu penumpang untuknya. Ia naik terlebih dahulu lalu aku pun menyusul setelah Mas Adnan membuka pintu untukku. Lalu ia ke belakang untuk menyimpan stroller di bagasi.Lima menit dalam perjalanan, cicitan Renita terus yang terdengar di antara kami."Mas Adnan, maaf, ya. Aku gak enak ngerepotin kalian terus." Mas Adnan tertegun sejenak, namun matanya tetap lurus pada jalanan ramai di depannya. Malam ini suasana jalan raya memang begitu padat oleh banyak kendaraan."Hhmm," jawab Mas Adnan seadanya. Sementara aku lebih memilih memandang ke luar jendela. Menyaksikan hilir mudik pejalan kaki di pinggir keramaian kota.Wanita itu terus saja
Tak bisa kujelaskan seperti apa perasaanku setelah mendengar ucapan Renita barusan. Lelaki itu, ah sangat menyebalkan sekali. Ammar menatap iba ke arahku, namun kubalas tatapannya dengan wajah sinis tak bersahabat."Benarkah?" Ibu terkejut, lalu beralih melihatku. Wajahnya menunjukkan gurat yang tidak bisa kujelaskan, antara haru dan juga menyesal. Karena Ibu memang sudah tahu bahwa Ammar juga adalah kekasih Marwah, jadi ia canggung untuk bersikap. Mendukung atau pun menolak, sebenarnya sama saja baginya. Tidak berpengaruh padanya.Kulihat Ammar mengangguk sambil tersenyum, lelaki itu urung mendekat. Lelaki berkemeja kotak-kotak itu hanya duduk di sofa dekat pintu. Tanpa berujar sepatah sekata pun. Meski pandangannya kosong, ia terus saja menyaksikan keharmonisan yang tercipta antara Renita dan kedua orang tuanya.Wanita itu sangat pandai menghibur hati orang yang sakit, merangkai kalimat manis sebagai obat bagi hati yang lara. Entah itu tulus atau hanya sandiwara. Aku tidak mampu men
Story Adik Iparku di Akad Nikah SuamikuTak lama, terdengar suara klakson mobil dari depan, itu pasti Vioni. Tadi, aku menelepon dan memintanya untuk datang ke sini menemaniku. Vioni lah satu-satunya yang bisa kuharapkan saat ini. Aku butuh gadis itu sekarang. Aku perlu bantuannya untuk mengurus Tabitha dan menemaniku malam ini pergi menyusul Mas Adnan ke rumah sakit."Vioni, maafkan karena telah merepotkanmu!" ucapku setelah menarik daun pintu dan mempersilahkannya masuk."Iya, gak apa-apa, Mbak." Aku mengajaknya duduk di sofa ruang tamu sambil memangku Tabitha."Sepertinya, setelah ini aku harus segera mencari baby sitter untuk Tabitha, karena aku mulai kerepotan, apa kamu punya teman atau saudara?" ucapku sembari memegangi sebelah kepala yang terasa berdenyut. Jujur, sebenarnya aku masih trauma untuk mempekerjakan orang lain di rumah ini, baik sebagai pembantu maupun babysitter. Bayang-bayang pengkhianatan selalu muncul di pikiranku, tentang hancurnya pernikahan Ibu karena seorang