Share

Bab 6 Mobil Mewah atas Namaku

Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.

Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.

Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan tempatnya mengabdi.

Tentunya keberhasilan itu tak semata-mata didapatnya semudah membalikkan telapak tangan, ia telah melewati banyak ujian dan kesusahan dan aku tak pernah sekalipun meninggalkannya di masa sulitnya. Bahkan kami pernah menyewa sebuah rumah tua di pinggiran kota sebelum membeli rumah ini dua tahun belakangan. Kehidupan ekonomi naik seiring berkembangnya kedua butikku, begitu pun jabatannya.

Sayangnya, tanah dan rumah yang kami tempati memang murni diperoleh dengan hasil kerja mas Adnan. Sementara untuk biaya renovasi menggunakan sebagian uangku. Dulunya rumah ini tak sebesar dan semewah sekarang, hanya sebuah bangunan biasa bergaya lama yang terdapat sebuah klinik di halaman belakang. Bangunan itu kami jadikan sebagai gudang sekarang.

Malangnya, masa emas ini seolah menutup akal sehat mas Adnan. Ia terbawa nafsu sehingga memanfaatkan kesuksesannya untuk menikahi wanita lain, bahkan melaksanakan resepsi mewah di hotel berbintang. Seolah lupa telah memiliki aku dan Tabitha.

Tapi, aku bukan tak cerdas, Mas. Aku akan turut memanfaatkan masa emasmu ini untuk kunikmati nanti setelah kita bercerai.

Mas Adnan baru saja tiba di rumah, setelah makan siang ia mengecek kembali mobil berwarna putih yang baru dibelinya untukku.

Melakukan tes drive dengan berbelanja buah- buahan di supermarket dekat sini.

Sementara aku sibuk berdandan dan mempersiapkan segala keperluan Tabitha. Karena mas Adnan masih belum menemukan babysitter yang pas, maka aku turut membawa Tabitha bersama kami, tak apalah aku melanggar perintah mamak. Lagipula, seminggu lagi usianya akan genap tiga bulan.

“Maafkan mama, ya, sayang. Kamu harus turut keluar rumah padahal belum genap tiga bulan, mama terpaksa, Nak!” Aku mengelus tangan mungilnya, lalu menciuminya berulang kali. Berharap bayi kecil ini dapat memaklumi tindakan mamanya.

Mas Adnan baru saja tiba dari supermarket. Selain buah-buahan, ternyata ia membeli banyak minuman Syrup dan cemilan. Ia tampak kesulitan mengeluarkan belanjaannya dari bagasi. Apalah dayaku, aku hanya bisa melihat tanpa dapat membantunya, karna Tabitha sedang nyaman berada di gendonganku. Kalaupun tidak sedang membawa Tabitha, ku rasa aku pun tetap tak akan membantunya. Ada sebuah perasaan bahagia ketika melihat lelaki pengkhianat itu tampak kesusahan.

“Untuk apa minuman sebanyak itu, Mas?” Aku heran, setahuku ia sangat menghindari segala macam minuman kemasan dan mengandung pemanis buatan, begitu juga denganku. Hanya ada beberapa botol saja minuman seperti itu di dalam lemari es, untuk suguhan tamu dan milik Lula.

“Tidak, hanya untuk persiapan saja, sayang. Kebetulan tadi lagi ada diskon,” ucapnya seraya meletakkan barang belanjaannya di atas meja.

“Boros, Mas. Meskipun diskon, tak seharusnya dibeli. Malah jadi mubazir nantinya.”

“Tenang saja, pasti ada yang meminumnya,” ucapnya yakin. Sepanjang ingatanku hanya Lula yang suka mengonsumsi minuman kemasan, tapi bukan merk yang dibeli mas Adnan. Ia lebih suka minuman rasa kopi dan susu.

“Terserah, Mas. Ayo kita berangkat, biar aku saja nanti yang menyusunnya di lemari,” ucapku karna tak sabar ingin segera menyelesaikan segala keperluan yang berkaitan dengan kendaraan itu, agar aku lega dan dapat menyelesaikan urusan berikutnya.

Kami tiba dengan mengendarai mobil yang baru saja disahkan atas namaku. Aku telah menandatangani segala berkas yang telah disiapkan oleh showroom dan akan menerima STNK seminggu lagi.

Hatiku terasa lega, kini tinggal mempersiapkan diri untuk kursus mengemudi mobil di tempat yang direkomendasikan Masli, sebagai kursus mengemudi terbaik di Medan.

Selama mengemudi, mas Adnan berkali-kali melihat ke arah ponsel yang ia letakkan di dashboard. Sepertinya, ia telah menerapkan kode sidik jari pada gawainya, karna aku sempat melihat beberapa kali ia meletakkan ibu jarinya di atas layar ketika hendak menggunakannya. Pasti ada banyak rahasia di dalam benda canggih itu.

“Ada apa, Mas? Kok gelisah?” Aku bertanya, sebab matanya tak henti melirik benda pipih itu.

“Hmm, mama katanya mau ke rumah. Mas lupa bilang kalau kita sedang di luar, dan mama bawa babysitter untuk Tabitha,” jawabnya. Ia menggigit bibir bawahnya sambil memukul-mukul setir mobil pelan.

“Baby sitter, kamu yang minta mama mencarikan baby sitternya?” tanyaku, bukankah semalam mas Adnan bilang akan mencarinya sendiri. Lalu kenapa harus mama yang membawanya.

“I-iya. Mas tak sempat sayang, lagian mas juga tak paham harus mencari yang seperti apa, jadi mas minta mama yang mencarikan.”

“Kalau memang tidak mengerti kenapa gak minta aku untuk mencarinya sendiri, Mas? Aku kan bisa mencari orang yang sesuai dengan keinginanku.” Aku mendengkus kesal. Membuang pandang ke arah jendela.

Kenapa akhir-akhir ini mas Adnan begitu manja, urusan seperti itupun harus memberitahu mamanya. Apa karna mas Adnan sedang berada di puncak karir, sehingga mama juga turut mengatur kehidupan rumah tanggaku.

Ah ... Aku hampir lupa, bahkan mama telah menikahkan mas Adnan dengan wanita lain lagi, tanpa meminta izinku.

“Maaf, sayang. Mas tak ingin merepotkanmu,” bujuknya, ia mengelus pelan bahuku.

“Suruh saja mama menunggu, lagian sebentar lagi kita sampai,” jawabku kesal. Ingat Zahira, jangan gegabah!

Tak lama, mobil yang kami kendarai sudah sampai di rumah. Ada sedan milik Lula sedang terparkir di depan pagar. Aku lantas turun lalu membuka pagar lebar, mempersilakan kedua kendaraan itu masuk secara bergantian.

Mama turun bersamaan aku dan Mas Adnan, gegas mama menghampiri kami yang baru saja keluar dari garasi.

“Mobil baru, Dnan?” tanya mama sambil menyentuh body mobil yang masih mengkilap.

“Iya, Ma. Punya Zahira,” ucapku mantap.

“Apa?” Mama terkejut. Kedua bola matanya membulat sempurna.

“Sebagus ini?” Ia terus bertanya, tampaknya mama mertuaku masih tak percaya. Lalu mencekal tangan kanan mas Adnan.

“Iya, Ma. Adnan yang belikan. Zahira butuh mobil ini untuk pergi ke butiknya.” Mas Adnan menjawab malas, melepas cekalan kedua tangan mamanya dengan sekali sentakan. Lalu melongos masuk meninggalkan aku dan mama di garasi.

Aku tahu betul sifat lelaki yang menikahiku lima tahun silam. Mas Adnan akan bersikap seperti itu kepada sang mama jika mereka mengalami perselisihan.

“Adnan ... Adnan.” Mama berteriak memanggil nama anak lelakinya. Gesekan antara hills dan lantai marmer menimbulkan suara ketukan yang mengganggu pendengaran.

Aku menyusul masuk, sementara Lula masih berada di dalam mobilnya.

Aku mendapati mama dan mas Adnan sedang berbincang serius, lebih tepatnya berbisik. Bisa kubaca ekspresi mas Adnan yang gelisah, tangan kanannya memijit-mijit keningnya pelan.

Keduanya menghentikan pembicaraan setelah menyadari kehadiranku. Mas Adnan tersenyum padaku sementara mama menatapku jengah.

Lula masuk bersama seorang wanita yang berpakaian serba putih. Khas seragam seorang babysitter. Aku menatap lekat pada wanita itu, jantungku berdetak hebat seiring langkahnya yang semakin mendekat.

Aku sangat mengenalinya, ia adalah wanita yang menggandeng mesra lengan mas Adnan ketika di bandara. Ya, pasti dia Renita, sang pelakor.

Aku mengepal kedua tanganku, menahan gejolak amarah di dada yang bersiap meledak. Tanganku bergetar, bersiap mengudara di luar kendali, memberikan hadiah stempel merah pada pipi mulusnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status