Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.
Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.
Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan tempatnya mengabdi.
Tentunya keberhasilan itu tak semata-mata didapatnya semudah membalikkan telapak tangan, ia telah melewati banyak ujian dan kesusahan dan aku tak pernah sekalipun meninggalkannya di masa sulitnya. Bahkan kami pernah menyewa sebuah rumah tua di pinggiran kota sebelum membeli rumah ini dua tahun belakangan. Kehidupan ekonomi naik seiring berkembangnya kedua butikku, begitu pun jabatannya.
Sayangnya, tanah dan rumah yang kami tempati memang murni diperoleh dengan hasil kerja mas Adnan. Sementara untuk biaya renovasi menggunakan sebagian uangku. Dulunya rumah ini tak sebesar dan semewah sekarang, hanya sebuah bangunan biasa bergaya lama yang terdapat sebuah klinik di halaman belakang. Bangunan itu kami jadikan sebagai gudang sekarang.
Malangnya, masa emas ini seolah menutup akal sehat mas Adnan. Ia terbawa nafsu sehingga memanfaatkan kesuksesannya untuk menikahi wanita lain, bahkan melaksanakan resepsi mewah di hotel berbintang. Seolah lupa telah memiliki aku dan Tabitha.
Tapi, aku bukan tak cerdas, Mas. Aku akan turut memanfaatkan masa emasmu ini untuk kunikmati nanti setelah kita bercerai.
Mas Adnan baru saja tiba di rumah, setelah makan siang ia mengecek kembali mobil berwarna putih yang baru dibelinya untukku.
Melakukan tes drive dengan berbelanja buah- buahan di supermarket dekat sini.
Sementara aku sibuk berdandan dan mempersiapkan segala keperluan Tabitha. Karena mas Adnan masih belum menemukan babysitter yang pas, maka aku turut membawa Tabitha bersama kami, tak apalah aku melanggar perintah mamak. Lagipula, seminggu lagi usianya akan genap tiga bulan.
“Maafkan mama, ya, sayang. Kamu harus turut keluar rumah padahal belum genap tiga bulan, mama terpaksa, Nak!” Aku mengelus tangan mungilnya, lalu menciuminya berulang kali. Berharap bayi kecil ini dapat memaklumi tindakan mamanya.
Mas Adnan baru saja tiba dari supermarket. Selain buah-buahan, ternyata ia membeli banyak minuman Syrup dan cemilan. Ia tampak kesulitan mengeluarkan belanjaannya dari bagasi. Apalah dayaku, aku hanya bisa melihat tanpa dapat membantunya, karna Tabitha sedang nyaman berada di gendonganku. Kalaupun tidak sedang membawa Tabitha, ku rasa aku pun tetap tak akan membantunya. Ada sebuah perasaan bahagia ketika melihat lelaki pengkhianat itu tampak kesusahan.
“Untuk apa minuman sebanyak itu, Mas?” Aku heran, setahuku ia sangat menghindari segala macam minuman kemasan dan mengandung pemanis buatan, begitu juga denganku. Hanya ada beberapa botol saja minuman seperti itu di dalam lemari es, untuk suguhan tamu dan milik Lula.
“Tidak, hanya untuk persiapan saja, sayang. Kebetulan tadi lagi ada diskon,” ucapnya seraya meletakkan barang belanjaannya di atas meja.
“Boros, Mas. Meskipun diskon, tak seharusnya dibeli. Malah jadi mubazir nantinya.”
“Tenang saja, pasti ada yang meminumnya,” ucapnya yakin. Sepanjang ingatanku hanya Lula yang suka mengonsumsi minuman kemasan, tapi bukan merk yang dibeli mas Adnan. Ia lebih suka minuman rasa kopi dan susu.
“Terserah, Mas. Ayo kita berangkat, biar aku saja nanti yang menyusunnya di lemari,” ucapku karna tak sabar ingin segera menyelesaikan segala keperluan yang berkaitan dengan kendaraan itu, agar aku lega dan dapat menyelesaikan urusan berikutnya.
Kami tiba dengan mengendarai mobil yang baru saja disahkan atas namaku. Aku telah menandatangani segala berkas yang telah disiapkan oleh showroom dan akan menerima STNK seminggu lagi.
Hatiku terasa lega, kini tinggal mempersiapkan diri untuk kursus mengemudi mobil di tempat yang direkomendasikan Masli, sebagai kursus mengemudi terbaik di Medan.
Selama mengemudi, mas Adnan berkali-kali melihat ke arah ponsel yang ia letakkan di dashboard. Sepertinya, ia telah menerapkan kode sidik jari pada gawainya, karna aku sempat melihat beberapa kali ia meletakkan ibu jarinya di atas layar ketika hendak menggunakannya. Pasti ada banyak rahasia di dalam benda canggih itu.
“Ada apa, Mas? Kok gelisah?” Aku bertanya, sebab matanya tak henti melirik benda pipih itu.
“Hmm, mama katanya mau ke rumah. Mas lupa bilang kalau kita sedang di luar, dan mama bawa babysitter untuk Tabitha,” jawabnya. Ia menggigit bibir bawahnya sambil memukul-mukul setir mobil pelan.
“Baby sitter, kamu yang minta mama mencarikan baby sitternya?” tanyaku, bukankah semalam mas Adnan bilang akan mencarinya sendiri. Lalu kenapa harus mama yang membawanya.
“I-iya. Mas tak sempat sayang, lagian mas juga tak paham harus mencari yang seperti apa, jadi mas minta mama yang mencarikan.”
“Kalau memang tidak mengerti kenapa gak minta aku untuk mencarinya sendiri, Mas? Aku kan bisa mencari orang yang sesuai dengan keinginanku.” Aku mendengkus kesal. Membuang pandang ke arah jendela.
Kenapa akhir-akhir ini mas Adnan begitu manja, urusan seperti itupun harus memberitahu mamanya. Apa karna mas Adnan sedang berada di puncak karir, sehingga mama juga turut mengatur kehidupan rumah tanggaku.
Ah ... Aku hampir lupa, bahkan mama telah menikahkan mas Adnan dengan wanita lain lagi, tanpa meminta izinku.
“Maaf, sayang. Mas tak ingin merepotkanmu,” bujuknya, ia mengelus pelan bahuku.
“Suruh saja mama menunggu, lagian sebentar lagi kita sampai,” jawabku kesal. Ingat Zahira, jangan gegabah!
Tak lama, mobil yang kami kendarai sudah sampai di rumah. Ada sedan milik Lula sedang terparkir di depan pagar. Aku lantas turun lalu membuka pagar lebar, mempersilakan kedua kendaraan itu masuk secara bergantian.
Mama turun bersamaan aku dan Mas Adnan, gegas mama menghampiri kami yang baru saja keluar dari garasi.
“Mobil baru, Dnan?” tanya mama sambil menyentuh body mobil yang masih mengkilap.
“Iya, Ma. Punya Zahira,” ucapku mantap.
“Apa?” Mama terkejut. Kedua bola matanya membulat sempurna.
“Sebagus ini?” Ia terus bertanya, tampaknya mama mertuaku masih tak percaya. Lalu mencekal tangan kanan mas Adnan.
“Iya, Ma. Adnan yang belikan. Zahira butuh mobil ini untuk pergi ke butiknya.” Mas Adnan menjawab malas, melepas cekalan kedua tangan mamanya dengan sekali sentakan. Lalu melongos masuk meninggalkan aku dan mama di garasi.
Aku tahu betul sifat lelaki yang menikahiku lima tahun silam. Mas Adnan akan bersikap seperti itu kepada sang mama jika mereka mengalami perselisihan.
“Adnan ... Adnan.” Mama berteriak memanggil nama anak lelakinya. Gesekan antara hills dan lantai marmer menimbulkan suara ketukan yang mengganggu pendengaran.
Aku menyusul masuk, sementara Lula masih berada di dalam mobilnya.
Aku mendapati mama dan mas Adnan sedang berbincang serius, lebih tepatnya berbisik. Bisa kubaca ekspresi mas Adnan yang gelisah, tangan kanannya memijit-mijit keningnya pelan.
Keduanya menghentikan pembicaraan setelah menyadari kehadiranku. Mas Adnan tersenyum padaku sementara mama menatapku jengah.
Lula masuk bersama seorang wanita yang berpakaian serba putih. Khas seragam seorang babysitter. Aku menatap lekat pada wanita itu, jantungku berdetak hebat seiring langkahnya yang semakin mendekat.
Aku sangat mengenalinya, ia adalah wanita yang menggandeng mesra lengan mas Adnan ketika di bandara. Ya, pasti dia Renita, sang pelakor.
Aku mengepal kedua tanganku, menahan gejolak amarah di dada yang bersiap meledak. Tanganku bergetar, bersiap mengudara di luar kendali, memberikan hadiah stempel merah pada pipi mulusnya.
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet