Share

Bab 5 Butuh Baby Sitter

Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.

Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.

Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,

Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.

Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”

Entah ke mana perginya wanita itu, Masli bilang mereka tadi ada di dalam taksi yang sama dan menuju ke sini. Jangan-jangan ia sudah turun di tempat lain. Ah ... sudahlah, aku tak ingin mas Adnan curiga bahwa aku tahu kalau ia tadi semobil dengan isteri barunya. Bisa-bisa rencanaku berantakan dan aku tak mendapat aset apapun. Baiknya aku teruskan saja permainan ini.

“Enggak, Mas. Ku pikir masih ada bawaan kamu yang tertinggal di dalam,” ucapku tersenyum, menunjuk ke arah taksi yang hendak bersiap pergi.

“Cuma ini aja, kok. Yuk, masuk!” Ia tertawa lalu menggandeng tanganku menuju ke dalam rumah setelah menutup pagar besi.

Mas Adnan langsung menuju kamar dan menggendong Tabitha. Anak itu menangis saat hendak di letakkan oleh mas Adnan, seolah belum puas melepas rindu kepada sang papa yang telah meninggalkan rumah selama sepekan.

Saat ia sedang mandi, aku membuka semua isi tasnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi penguat dan bukti pernikahannya. Sayangnya, aku tak menemukan apapun. Mas Adnan tak akan seceroboh itu tentunya. Buktinya, aku tak tahu sedikitpun tentang rencana pernikahannya di Padang. Amat rapi ia menyimpan semuanya dariku.

“Mas, kamu jadi lebih tampan setelah seminggu di luar kota.” Aku berucap seraya memandangnya yang sedang menyugar rambut basahnya setelah mandi. Ia masih menggunakan handuk menutupi separuh badannya. Sedangkan aku bersandar di kepala ranjang sambil memberi asi Tabitha.

“Kamu bilang begitu karna udah seminggu gak lihat Mas,” ucapnya.

“Benaran, Mas. Kamu terlihat lebih tampan dan segar, seperti pengantin baru saja,” ucapku datar, menunggu respon darinya. Wajahnya berubah pucat dan tegang. Namun ia tak menjawab apapun.

“Pengantin baru lima tahun yang lalu, Mas,” candaku, disambut gelak tawa yang terdengar garing dari mulut lelaki itu.

‘Mas ... mas, sepertinya kau akan terus menutupi pernikahan keduamu, masih kubilang begitu saja kau sudah tak bernyali.’ Aku membatin.

Setelah Tabitha tertidur, aku mengajak mas Adnan untuk makan bersama di dapur. Aku telah memasak makanan kesukaannya, sambal teri kacang tanah dan sayur lodeh. Ia makan sangat lahap, sementara aku tak begitu berselera.

“Wajahmu terlihat pucat, sayang! Kamu sakit?” ujar mas Adnan saat aku hendak menyuap nasi ke mulutku.

“Enggak, kok, Mas. Gak sakit. Mungkin karna kelelahan mengurus Tabitha dan rumah,” kilahku. Memang sejak mengetahui pernikahan mas Adnan tempo hari aku jadi tak bersemangat bahkan kehilangan selera makan. Itulah yang membuat wajahku pucat seperti orang sakit.

Mas Adnan tampak berpikir, lalu berucap sambil mengelus lembut pipiku.

“Gimana kalau kita cari babysitter untuk bantu kamu ngurusin Tabitha biar gak terlalu capek,” usulnya.

“Boleh, tapi harus kamu yang bayar gajinya, cari yang benar-benar berpengalaman dan juga telaten,” jawabku. Saat ini memang aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku menjaga Tabitha, apalagi aku berniat akan ikut kursus menyetir, dan aku tak perlu khawatir meninggalkan Tabitha jika hendak bepergian. Pesan Mamak, aku tak boleh membawa Tabitha ke mana-mana dulu sampai umurnya genap tiga bulan.

“Oke, Mas akan cari babysitter yang pas untuk Tabitha,” ucapnya riang. Aku hanya mengangguk tanda setuju.

Selesai makan aku membereskan meja dan mencuci piring yang baru kami gunakan. Sementara mas Adnan sedang asyik dan bersantai menonton televisi di ruang keluarga.

“Mas, ada yang mau aku omongin,” ucapku, mendekat lalu duduk di sampingnya.

“Iya, bilang saja,” ucapnya, matanya masih lekat pada televisi.

“Mas, beliin aku mobil ini, ya.” Aku menunjukkan gambar sebuah mobil mewah dari gawaiku.

“Untuk apa, kamu kan gak bisa nyetir?” Ia menoleh.

“Aku mau jadi istri mandiri, Mas. Biar tidak merepotkan kamu kalau mau ke mana-mana. Aku juga sudah daftar kursus menyetir.” Ia tertawa mendengar penuturanku, lalu mengacak-acak rambutku.

“Kamu kan udah mandiri, buktinya sekarang udah punya butik sendiri. Kalau mau bepergian ‘kan bisa nak taksi.”

“Justru itu, Mas. Aku gak mau naik taksi lagi kalau ke butik. Kan lebih enak kalau bawa mobil sendiri, belikan, ya, Mas!” Aku memasang tampang memelas.

“Kamu yakin bisa menyetir sendiri?”

Ia tampak ragu dengan kemampuanku.

“Yakin, Mas. Kamu keberatan mengeluarkan uang buat beli mobil? Bukannya kamu udah janji akan turutin semua kemauanku setelah memberimu seorang anak?” Aku meninggikan suara, mengingatkan kembali akan janji yang pernah diucapkannya waktu itu.

Ia masih tak bersuara, bisa kulihat ekspresinya yang mulai gelisah.

Aku yang terlanjur kesal lantas meninggalkannya menuju kamar dan menelungkup di atas ranjang.

‘Apa yang kamu pikirkan, Mas? Apa kamu bingung bagaimana cara membagi uang untukku dan istri barumu? Bukannya dulu kamu akan selalu menuruti keinginanku. Namun, sayangnya selama ini aku terlalu baik. Tak pernah berpikir buruk tentangmu sehingga enggan meminta hal yang memberatkan dirimu, hanya sekedar meminta emas dan perhiasan saja. Bagiku kesetiaan dirimu lebih berharga daripada harta. Namun, sekarang aku sadar. Setelah aku tak lagi mendapat kesetiaan darimu, maka aku harus mendapatkan semua hartamu.’

Aku yang hampir dibuai mimpi tersadar saat kurasakan sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Ya, mas Adnan sudah ada di sebelahku, berbaring sambil memelukku.

Aku terkesiap, lalu berusaha melepaskan diri dari tubuh yang tidak lagi menjadi milikku seutuhnya, ia telah membaginya pada wanita lain. Rasanya aku tak sudi melekatkan tubuh pada orang yang telah menodai pernikahan ini.

“Sayang, maaf, ya. Mas akan penuhi janji mas waktu itu. Mas sudah menelepon pemilik showroom di dekat sini untuk mengantarkan mobil yang kamu suka besok.” Ia berucap lalu mengecup mesra tanganku. Dulu, hal sekecil itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga, aku seakan terbang terbawa angan. Namun kini, perlakuannya barusan terasa menjijikkan. Aku bahkan ingin sekali mengambil sanitizer untuk membersihkan sisa kecupannya di tanganku.

“Benaran, Mas? Terima kasih. Kamu memang suami yang baik dan tak pernah mengecewakanku,” ucapku berpura-pura, setidaknya aku harus bersikap manis karna akan segera memiliki mobil mewah seharga ratusan juta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status