Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.
Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.
Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,
Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.
Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”
Entah ke mana perginya wanita itu, Masli bilang mereka tadi ada di dalam taksi yang sama dan menuju ke sini. Jangan-jangan ia sudah turun di tempat lain. Ah ... sudahlah, aku tak ingin mas Adnan curiga bahwa aku tahu kalau ia tadi semobil dengan isteri barunya. Bisa-bisa rencanaku berantakan dan aku tak mendapat aset apapun. Baiknya aku teruskan saja permainan ini.
“Enggak, Mas. Ku pikir masih ada bawaan kamu yang tertinggal di dalam,” ucapku tersenyum, menunjuk ke arah taksi yang hendak bersiap pergi.
“Cuma ini aja, kok. Yuk, masuk!” Ia tertawa lalu menggandeng tanganku menuju ke dalam rumah setelah menutup pagar besi.
Mas Adnan langsung menuju kamar dan menggendong Tabitha. Anak itu menangis saat hendak di letakkan oleh mas Adnan, seolah belum puas melepas rindu kepada sang papa yang telah meninggalkan rumah selama sepekan.
Saat ia sedang mandi, aku membuka semua isi tasnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi penguat dan bukti pernikahannya. Sayangnya, aku tak menemukan apapun. Mas Adnan tak akan seceroboh itu tentunya. Buktinya, aku tak tahu sedikitpun tentang rencana pernikahannya di Padang. Amat rapi ia menyimpan semuanya dariku.
“Mas, kamu jadi lebih tampan setelah seminggu di luar kota.” Aku berucap seraya memandangnya yang sedang menyugar rambut basahnya setelah mandi. Ia masih menggunakan handuk menutupi separuh badannya. Sedangkan aku bersandar di kepala ranjang sambil memberi asi Tabitha.
“Kamu bilang begitu karna udah seminggu gak lihat Mas,” ucapnya.
“Benaran, Mas. Kamu terlihat lebih tampan dan segar, seperti pengantin baru saja,” ucapku datar, menunggu respon darinya. Wajahnya berubah pucat dan tegang. Namun ia tak menjawab apapun.
“Pengantin baru lima tahun yang lalu, Mas,” candaku, disambut gelak tawa yang terdengar garing dari mulut lelaki itu.
‘Mas ... mas, sepertinya kau akan terus menutupi pernikahan keduamu, masih kubilang begitu saja kau sudah tak bernyali.’ Aku membatin.
Setelah Tabitha tertidur, aku mengajak mas Adnan untuk makan bersama di dapur. Aku telah memasak makanan kesukaannya, sambal teri kacang tanah dan sayur lodeh. Ia makan sangat lahap, sementara aku tak begitu berselera.
“Wajahmu terlihat pucat, sayang! Kamu sakit?” ujar mas Adnan saat aku hendak menyuap nasi ke mulutku.
“Enggak, kok, Mas. Gak sakit. Mungkin karna kelelahan mengurus Tabitha dan rumah,” kilahku. Memang sejak mengetahui pernikahan mas Adnan tempo hari aku jadi tak bersemangat bahkan kehilangan selera makan. Itulah yang membuat wajahku pucat seperti orang sakit.
Mas Adnan tampak berpikir, lalu berucap sambil mengelus lembut pipiku.
“Gimana kalau kita cari babysitter untuk bantu kamu ngurusin Tabitha biar gak terlalu capek,” usulnya.
“Boleh, tapi harus kamu yang bayar gajinya, cari yang benar-benar berpengalaman dan juga telaten,” jawabku. Saat ini memang aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku menjaga Tabitha, apalagi aku berniat akan ikut kursus menyetir, dan aku tak perlu khawatir meninggalkan Tabitha jika hendak bepergian. Pesan Mamak, aku tak boleh membawa Tabitha ke mana-mana dulu sampai umurnya genap tiga bulan.
“Oke, Mas akan cari babysitter yang pas untuk Tabitha,” ucapnya riang. Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Selesai makan aku membereskan meja dan mencuci piring yang baru kami gunakan. Sementara mas Adnan sedang asyik dan bersantai menonton televisi di ruang keluarga.
“Mas, ada yang mau aku omongin,” ucapku, mendekat lalu duduk di sampingnya.
“Iya, bilang saja,” ucapnya, matanya masih lekat pada televisi.
“Mas, beliin aku mobil ini, ya.” Aku menunjukkan gambar sebuah mobil mewah dari gawaiku.
“Untuk apa, kamu kan gak bisa nyetir?” Ia menoleh.
“Aku mau jadi istri mandiri, Mas. Biar tidak merepotkan kamu kalau mau ke mana-mana. Aku juga sudah daftar kursus menyetir.” Ia tertawa mendengar penuturanku, lalu mengacak-acak rambutku.
“Kamu kan udah mandiri, buktinya sekarang udah punya butik sendiri. Kalau mau bepergian ‘kan bisa nak taksi.”
“Justru itu, Mas. Aku gak mau naik taksi lagi kalau ke butik. Kan lebih enak kalau bawa mobil sendiri, belikan, ya, Mas!” Aku memasang tampang memelas.
“Kamu yakin bisa menyetir sendiri?”
Ia tampak ragu dengan kemampuanku.
“Yakin, Mas. Kamu keberatan mengeluarkan uang buat beli mobil? Bukannya kamu udah janji akan turutin semua kemauanku setelah memberimu seorang anak?” Aku meninggikan suara, mengingatkan kembali akan janji yang pernah diucapkannya waktu itu.
Ia masih tak bersuara, bisa kulihat ekspresinya yang mulai gelisah.
Aku yang terlanjur kesal lantas meninggalkannya menuju kamar dan menelungkup di atas ranjang.
‘Apa yang kamu pikirkan, Mas? Apa kamu bingung bagaimana cara membagi uang untukku dan istri barumu? Bukannya dulu kamu akan selalu menuruti keinginanku. Namun, sayangnya selama ini aku terlalu baik. Tak pernah berpikir buruk tentangmu sehingga enggan meminta hal yang memberatkan dirimu, hanya sekedar meminta emas dan perhiasan saja. Bagiku kesetiaan dirimu lebih berharga daripada harta. Namun, sekarang aku sadar. Setelah aku tak lagi mendapat kesetiaan darimu, maka aku harus mendapatkan semua hartamu.’
Aku yang hampir dibuai mimpi tersadar saat kurasakan sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Ya, mas Adnan sudah ada di sebelahku, berbaring sambil memelukku.
Aku terkesiap, lalu berusaha melepaskan diri dari tubuh yang tidak lagi menjadi milikku seutuhnya, ia telah membaginya pada wanita lain. Rasanya aku tak sudi melekatkan tubuh pada orang yang telah menodai pernikahan ini.
“Sayang, maaf, ya. Mas akan penuhi janji mas waktu itu. Mas sudah menelepon pemilik showroom di dekat sini untuk mengantarkan mobil yang kamu suka besok.” Ia berucap lalu mengecup mesra tanganku. Dulu, hal sekecil itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga, aku seakan terbang terbawa angan. Namun kini, perlakuannya barusan terasa menjijikkan. Aku bahkan ingin sekali mengambil sanitizer untuk membersihkan sisa kecupannya di tanganku.
“Benaran, Mas? Terima kasih. Kamu memang suami yang baik dan tak pernah mengecewakanku,” ucapku berpura-pura, setidaknya aku harus bersikap manis karna akan segera memiliki mobil mewah seharga ratusan juta.
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet