PoV Syahdan
**
[Mas sedang dimana? Abi drop]
Netra ku membola membaca pesan dari Syahnur adikku. Dahiku mengernyit. Kapan Syahnur datang? Dengan cepat aku segera membalasnya.
[Iya, Mas segera kesana]
Aku segera bergerak kesana. Kesalahanku memang, selepas memantau yayasan aku keasyikan main game dan gawaiku sengaja ku non aktifkan.
Kepalaku sakit mendengar getar gawai yang tak habis-habisnya, pesan yang datang banyak sekali dari Vika. Wanita itu tak terima aku memutuskan hubungan dengannya secara sepihak. Berbagai pesan silih berganti dia kirimkan agar aku merubah pendirian ku.
Vika selama ini sangat penurut dan memahami aku. Jalan bareng dengannya membuat aku bahagia. Namun apa daya, aku lebih takut pada ancaman Ummi dan kondisi Abi sehingga lebih baik aku menjauh darinya.
[Aku sangat mencintaimu Beib. Mengapa kamu tega berbuat seperti ini padaku?]
[Tega kamu, mengapa pesanku tak dibalas]
[Apa kurang ku, kamu bilang sayang padaku, apakah itu semua bohong]
[Aku akan buat kamu menyesal meninggalkan aku]
Pesan darinya seperti rel kereta api. Masih banyak dan panjang disana. Sesungguhnya aku kasihan meninggalkan Vika karena bersamanya aku merasa nyaman. Namun demi sebuah pencitraan dan nama baik aku harus rela.
Vika adalah kekasihku dimasa lalu. Hubungan kami dekat karena dari dulu kami dan teman-teman lainnya suka nongkrong dan membicarakan banyak hal. Kami suka nonton langsung balapan motor cross, bermain futsal dan nonton bola, disana selalu ada Vika.
Hingga kami harus berpisah dan LDR karena Vika kuliah di luar negeri. Sedangkan aku disini merana karena dinikahkan dengan Naya, wanita lugu dan penurut. Sifat penurut nya terkikis seiring waktu dan sekarang menjadi pembangkang.
Aku tiba di rumah sakit dimana Abi dirawat, ku percepat langkahku, ada rasa khawatir dalam dada berharap Abi sembuh. Bagaimanapun kami sekeluarga masih butuh Abi, apalagi Ummi walaupun pernah merana namun dia tetap mencintai Abi.
Entahlah, apakah Ummi ku bucin atau bagaimana. Bucin dan bodoh kurasa mirip seperti Ummi, walaupun pernah disakiti namun masih bertahan. Itulah yang aku inginkan dari Naya, namun sayang dia hanya wanita modern yang tak mau berbagi, padahal hati adalah milikku dan dia tak bisa memaksaku.
"Syahdan kemana saja kamu? Ummi sudah berulang kali menghubungi kamu tapi nomor kamu gak aktif. Kamu ngapain aja, Ha!"
Ummi sudah mengomeli ku begitu aku sampai.
"Iya, Mi. Maaf Syahdan mematikannya."
"Mas, seharusnya kamu jangan matiin Handphone mu karena Ummi butuh kamu!" sahut Syahnur menepuk pundak ku.
"Bagaimana kondisi Abi, Mi?" tanyaku pada Ummi namun Ummi menangis dan langsung memelukku.
"Drop, Abi sedang tak sadar."
"Sabar, Mi. Ini ujian Allah," kataku menenangkan nya.
"Mana Ana?" tanyaku tentang adik ketiga ku pada Ummi berharap keluargaku berkumpul dan utuh.
"Dia sedang ulangan sebentar lagi sampai." Aku mengangguk, Ummi melepas pelukannya padaku mungkin dia sudah lebih tenang, Ummi mengelap wajahnya dengan tissue agar genangan air itu kering.
"Dimana Naya? Dimana istri kamu, Syahdan? Dia juga seharusnya ada disini kan?" tanya Ummi, aku mendesah. Aku sebagai suami gak tahu dimana anak dan istriku.
"Mungkin sedang di butik, Mi." kataku mengedikkan bahuku.
"Kamu gimana sih, apa aja yang kamu kerjakan? Mantau yayasan Ummi pikir tidaklah lama. Kamu ngapain aja Syahdan sampai anak dan istrimu kamu saja gak tahu?"
"Syahdan ketiduran, Mi. Maaf, lagian Naya sudah besar dan tak perlu dikawal. Dia seharusnya paham kondisi Abi." dusta ku pada Ummi.
Ummi bisa saja suruh aku putus dari Vika namun untuk lepas dari hobi ku aku merasa agak sulit dan dia bisa marah kalau tahu untuk lari dari masalah aku bermain game seharian.
"Ummi gak hubungi Naya, karena Ummi pikir kamu bakal kasi tahu dia. Apa kamu belum minta maaf sama Naya? Syahdan, Abi sedang sakit dan Ummi minta sama kamu, kamu baikan dulu sama Naya agar Abi lebih fokus pada kesehatannya dan gak kepikiran buat memikirkan masalah kamu."
"Iya, Mi. Maaf," ucapku dengan desahan. Ummi tahu aku terpaksa.
"Ya udah sekarang kamu susul Naya dan Ahmad. Kita disini dampingi Abi dan berdoa bersama atau apapun itu memberi dukungan supaya Abi lekas sembuh." Ummi menyuruhku pergi ke Naya. Aku mengangguk menuruti keinginan Ummi.
Ku langkah kan kaki keluar dari rumah sakit. Aku mengambil gawai dan kuhubungi Naya. Aktif namun tidak diangkat. Lagi-lagi Naya membuat story di wa nya.
Dia meng-upload photo baju-baju di butiknya ada caption disana. Harus bisa mandiri setelah sendiri. Hatiku terasa panas. Apa maksud istriku ini. Dia anggap aku apa, walaupun dia benar selalu sendiri kemana-mana. Namun setidaknya dia hargai aku.
**
Sudah sore hari dan butik Naya juga sepi. Hanya beberapa karyawan yang tampak olehku sedang bekerja.
"Mana Naya?" tanyaku pada salah satu karyawan.
"Diatas, Pak. Ada tamu juga," ucap karyawan itu.
Aku bergegas keatas untuk menemui Naya. Aku penasaran siapa tamu nya. Sampai disana aku membuka pintu ruang kerjanya dan dia tak ada. Dimana Naya, aku bergegas menuju balkon dan benar saja terdengar suara Naya disana bersama seorang teman.
Lala, istri Faiz. Faiz adalah teman akrabku. Aku sering bercerita banyak hal padanya. Kami dulu punya hobi yang sama main futsal. Namun Faiz sekarang tidak seperti dulu lagi. Dia jarang main, namun kami masih akrab. Akibat keakraban ku dengan Faiz membuat Naya juga akrab dengan Lala. Kata Naya Lala sahabat yang enak diajak bercerita.
"Aku udah gak kuat menghadapi sikap Mas Syahdan. Aku lelah, La," kata Naya menceritakan masalah rumah tangga kami.
"Kamu sabar ya, Nay. Kamu bilang kamu dilema karena Abi sakit."
"Iya. Hanya karena aku hormat sama Abi. Dia itu seperti panutan buat aku. Mulutku terkunci saat ditanya apakah Mas Syahdan menyakitiku. Aku berat menjawab Iya. Karena aku melihat dia menahan sakit dan sedang sekarat. Aku gak tega."
Naya menangis di sana dan Lala memberikan semangat padanya dengan memeluk nya. Lala membiarkan Naya terus bercerita.
"Mas Syahdan itu egois, aku bukan prioritasnya, dia selalu dengan gawainya. Aku tahu dia punya wanita lain. Karena insting istri itu kuat."
"Aku bingung mau kasih saran apa, Nay. Aku tahu kamu nulis story yang mengejutkan itu karena kecewa sama suami kamu. Nay, kamu tanya sama hati kamu. Apakah kamu masih bisa bertahan dan memaafkan?" Tanya Lala mengurai pelukan mereka berdua.
"Aku bulat sekali ingin berpisah apalagi Mama mendukungku. Bila sudah tidak ada kecocokan. Namun bagaimana Abi?" Naya menatap Lala dengan pandangan dilema. Dia masih memikirkan Abi ku yang sakit keras.
"Kamu bisa jelaskan baik-baik. Kalau kamu udah gak sanggup ngadapi sikap Syahdan. Kalau Abi itu tidak egois pasti dia menerima keputusan kamu. Walaupun berat juga karena dia sakit."
Aku mendengkus mendengar saran Lala.
"Iya lebih baik berpisah saja. Dan aku akan segera ke pengadilan agama, La."
Naya menjadi bersemangat dan dia menghapus lagi netranya.
Ini tak bisa, aku sudah bela-belain memutuskan Vika dan aku juga harus kehilangan Naya. Apalagi Abi sakit dan tanggung jawab ada padaku, masyarakat tidak mau tahu yang mereka inginkan adalah aku sebagai pemimpin dengan keluarga bahagia.
"Abi." Suara Ahmad mengagetkanku, dia datang tiba-tiba bersama Dara anak Lala. Mereka berdua Naya dan Lala juga terkejut. Mereka menoleh ke belakang dan melihatku sudah ada di sana.
Bersambung.
Story Wa Istriku bag 50.**PoV Syahdan."Nay, kita diundang di acara pernikahan boy dan Vika. Kita datang ya?" Ucapku pada Naya, dia hanya tersenyum samar."Aku malas, Mas.""Kenapa? Aku tak bisa datang sendiri dan aku mau datang bersama kamu," ucapku dengan lembut ke istriku seperti sebuah permohonan."Nanti dia melihatku tak senang. Dia itu masih menginginkanmu!""Tidak mungkin. Lihatlah bocah suaminya itu. Sangat mencintai Vika dan orang tuanya juga memaksa menikahkan mereka.""Kenapa kita harus datang kesana!" ucapnya ketus. Aku hanya tersenyum melihat wajah cemberutnya."Kita kan diundang, Nay. Jadi sebaiknya lita datang. Kita tunjukkan juga sama Vika kalau kita itu pasangan yang harmonis,""Ya sudah baiklah. Aku ikut!" ujarnya mengalah."Terima kasih, sayang." ucapku. Naya mengulas senyum. Lama kami saling menatap. Tiba-tiba aura saling menginginkan berubah. Ku dekatkan wajahku ke Naya dan dia sepertinya
Story Wa Istriku bag 49.**"Ana diterima, Mi." kudengar suara Ana yang bahagia. Bahagia kenapa?"Ustaz Fikri menerima Ana!" Lanjutnya."Assalamualaikum," aku bersuara. Suamiku melirikku dengan senyuman."Abi, Nenek ...." Ahmad berlari ke arah Mas Syahdan yang berbaring sementara kedua asisten dan Baby sitter menunggu di luar."Sini, sayang!" kata Mas Syahdan menyuruhku duduk dekat dengannya. Aku duduk di dekatnya."Maaf ikutan nimbrung. Siapa yang menerima Ana," kataku penasaran."Ustaz Fikri, Kak Naya. Alhamdulillah dia bersedia menjadi suami Ana," lanjut adik iparku dengan wajah sumringah berseri. Aku tersenyum sembari memberi ucapan selamat."Alhamdulillah, Ana. Selamat semoga acara lancar dan disegerakan pernikahannya," ucapku, walau aku tahu Ana baru saja lulus, mungkin tak ada niat melanjutkan pendidikannya."Terima kasih, Kak Naya.""Hmm .... Ana sudah mantap, K
Story Wa Istriku bag 48.**POV Author.Naya keluar dari ruang privat Syahdan. Membiarkan sang suami beristirahat agar kondisi nya lekas pulih. Rasa bahagia terasa nyata, apalagi Naya memegang pipinya yang memerah akibat ucapan cinta barusan yang dikatakannya. Memalukan, padahal sudah suami istri namun bila mengucapkan kata itu rasanya agak aneh juga."Naya!" suara itu membuat Naya berpaling melihat siapa yang memanggilnya."Mama, Ummi dan Ana!" seru Naya melihat kedatangan orang tuanya. Mama langsung menghambur memeluk Naya, bergantian Ummi dan Ana."Maafkan kami karena sudah membuat Mama, Ummi dan Ana jadi repot menyusul kesini," ucap Naya, pasti mereka lelah belum lagi akan mengalami jetleg."Tak apa, Nay. Bagaimana kabar Syahdan. Ummi mau berjumpa!" seru Ummi."Mas Syahdan sedang istirahat supaya kondisinya cepat pulih. Operasi di perut berjalan lancar. Kita sama-sama berdoa semoga Mas Syahdan lekas pulih, Mi." ucap Naya pada
Story Wa Istriku bag 47.**PoV Naya."Papa!" seruku saat melihat Papa berjalan dengan langkah cepat menghampiriku."Bagaimana Syahdan, Nay?" tanya Papa dengan raut wajah cemas. Aku memeluknya dengan netra yang basah."Sedang di tangani dokter, Pa!" Papa mengelus lenganku memberikan aku kekuatan dengan sentuhannya."Sabar, dear. Kamu banyakin doanya. Semoga Syahdan lekas sembuh,""Dimana Ahmad, Pa?" tanyaku ke Papa sambil mengurai pelukan kami,"Dia di rumah dan aman walau tadi mengamuk minta ikut. Tetapi sebaiknya dia di rumah saja dulu bersama asisten dan perawatnya," ucap Papa."Terima kasih, Pa." Papa mengangguk kan kepalanya, aku mendesah sambil mengelap kasar mataku. Dari tadi yang kulakukan hanya menangis.Cukup lama kami menunggu. Hingga akhirnya dokter keluar. Secara cepat kami mendatangi dokter itu."Wie ist der Zustand meines Kindes, Doktor?"(Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?) Papa berbica
Story Wa Istriku bag 46.**PoV Naya.Mama menghubungi melalui panggilan video, aku tersenyum sekaligus memandang Papa."Mau kah Papa berbicara pada Mama?" tanyaku padanya,"Papa malu, karena meninggalkan mamamu, dia pasti marah sama Papa," lirih Papa menarik napas panjang."Mama gak marah lagi karena Mama merasa ini sudah takdir, Mama menunggu, Pa!" ujarku dengan lembut. Dia akhirnya mengangguk. Ku tekan tombol terhubung."Assalamualaikum," ucap Mama di seberang panggilan."Waalaikum salam,""Naya, sudah ketemu sama Papa, nak?""Alhamdulillah, Ma. Sudah,""Bagaimana kabar Papa, nak?""Mama bicara sendiri ya," kataku, kulihat wajah mamaku pias. Aku tahu, dia sampai detik ini masih mencintai Papa, walau dia bilang tidak cinta lagi namun, Mama gak bisa membohongi aku. Alasan Mama tak mau menikah lagi juga cukup klise, Mama takut dikhianati dan sakit hati lagi sehingga Mama memilih sendiri sampai detik in
Story Wa Istriku bag 45.**PoV Naya."Guten tag." Mas Syahdan memanggil. Kami menunggu di luar rumah sederhana namun berdesain klasik itu. Udara dingin menusuk tulang ku, masih musim gugur namun dinginnya eropa sudah terasa, mungkin akan lebih dingin lagi bila masuk winter. Suamiku membetulkan jaket yang kupakai. Mas Syahdan sekarang berubah jadi suami perhatian dan terkadang genit. Tetapi aku menyukainya. Sudah lama sekali aku ingin dia perhatian padaku.Kami menunggu diluar beberapa saat kemudian keluar pria paruh baya dengan jaket dan topi. Dia menatap kami dengan kerutan di dahinya. Tubuhku bergetar melihat wajah papaku, sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Terakhir kali aku melihatnya saat usiaku tujuh belas tahun. Mama berpisah dengannya saat aku masih remaja. Bahkan, dia tak datang ke pesta pernikahanku. Alasannya dia sakit dan mendoakan yang terbaik buatku.Aku adalah anak yang tumbuh tanpa Papa saat aku beranjak dewasa. Kasih sayan