Share

5. Pertemuan

Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.

“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.

Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.

Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh otot-otot kotak di perut mereka.

“Gila. Ini, sih namanya bunuh diri. Saya enggak akan bisa kembali lurus kalau begini caranya,” katanya sambil terus melangkah. Dia menarik tali tasnya lebih kencang, membuat benda di punggungnya mencengkram tubuhnya lebih erat dari sebelumnya. Kevin lalu melanjutkan langkahnya memasuki gedung olahraga itu.

Selama melewati ruangan-ruangan kecil yang ada di koridor, Kevin melihat banyak sekali lelaki sedang mengganti pakaian. Mereka tampak senang sambil bercanda. Mendadak saja bayangan tentang pertemanan dan relasi di pelatihan karate terbayang di kepalanya. Kevin akan punya teman di sini, pikirnya.

Namun, ada hal yang terus saja mengganjal di kepalanya. Kevin jadi ingat tentang orientasi seksualnya yang menyimpang. Rasa resah dan semangat yang menggebu itu datang silih berganti menyerangnya. Apa itu artinya dia memang seorang homoseksual? Itu akan sulit baginya menjalin relasi secara sehat.

Orang-orang di pelatihan itu tampak segar dan menggairahkan. Bagi Kevin, itu bencana. Mereka bisa saja menjadi pembangkit rasa yang selama ini menganggunya. Akan tetapi, tekad dan niatnya untuk berubah terus membuatnya melawan. Ya, Kevin ingin sekali bisa kembali seperti semula.

Saat dia mengintip beberapa orang dari luar bangunan, seseorang menepuk pundaknya pelan, membuatnya terlonjak kaget dan nyaris menyumpahi orang itu dengan kata-kata kotor.

“Kenapa kamu enggak bilang kalau udah sampai di sini?” tanya lelaki berumur tiga puluhan yang kemarin Kevin temui saat bersama ayahnya itu sambil tersenyum karena merasa bersalah telah membuat Kevin terkejut. Pakaiannya serba putih, dari atas sampai bawah.

“Huh. Mas bikin saya kaget aja,” kata Kevin, dia lalu mengelus dadanya yang masih berdetak tidak keruan. “Saya juga baru dateng, kok. Langsung ke sini tadi.”

“Lagi apa kamu di sini? Ruang pelatihan pemula, kan ada di sana,” ucap lelaki itu sambil menunjuk ruangan kecil di samping gedung olahraga serbaguna. Bangunannya kecil, berbentuk kotak dan beratap genting warna oranye lapuk.

“Saya cuma lihat-lihat. Mereka kayaknya udah jago semua, ya? Bikin kurang percaya diri aja, deh.”

“Kalau kamu serius, enggak lama posisimu bakal kayak mereka. Seriuslah berlatih,” balas lelaki itu sambil mulai melangkah yang diikuti oleh Kevin di belakang.

Mereka berjalan ke arah bangunan itu. Di ujung pandangan, Kevin melihat seorang lelaki sedang berdiri menghadap ke arah mereka. Orang itu tampak sangat tampan, bahkan dari jarak yang sangat jauh.

“Dia adalah salah satu senior di sini. Dia pelatih sama sepertiku dan dia bisa jadi pembimbingmu ke depannya,” ucap lelaki itu sambil menunjuk orang baru yang berdiri di hadapan mereka. “Namanya Henry Chau. Dia akan memberitahumu apa pun yang kamu butuhkan,” jelasnya.

Sekali tatap saja, Kevin langsung tahu jika Henry adalah keturunan Chinese. Terlihat jelas dari kelopak matanya yang runcing seperti mata kucing. Henry memiliki wajah tirus dengan hidung mancung dan dagu yang lancip. Rambutnya cokelat terang disisir ke atas.

“Henry,” katanya, dia menglurukan tangannya sambil tersenyum.

“Saya Kevin. Mohon bantuannya, Kak.” Kevin mengangguk, lalu tersenyum tulus. Dia tahu jika Henry adalah orang yang baik, bahkan dari pertemuan pertama ini. Mungkin, ke depannya dia bisa menjadi teman dekat Henry. Namun, Kevin dengan cepat menggeleng karena tidak ingin membayangkan hal yang terlalu muluk.

“Ah, enggak. Jangan panggil Kakak. Umur kita enggak beda juah, kan? Gue baru dua puluh satu tahun. Henry aja,” katanya, lalu diangguki oleh Kevin pelan. “Lo bisa ikut gue ke ruangan di sana,” lanjut Henry sambil menunjuk bangunan tadi.

“Jaga dia, Hen. Jangan bikin nangis anak orang,” kata lelaki tadi sambil terkekeh-kekeh.

“Gila aja! Udah, lah. Trims, Bang Jhon. Gue antar dia dulu,” kata Henry, lalu mereka melangkah ke arah bangunan kotak itu bersamaan. Kevin mengangguk sopan pada Bang Jhon sebagai tanda terima kasih karena sudah mengantarnya.

Kevin dibawa berkeliling dahulu untuk mengenal tempat-tempat latihan. Setelah puas ke sana-kemari, akhirnya dia disuruh berganti pakaian di ruang ganti yang tadi dilewatinya di koridor.

“Gue tunggu lo di ruangan itu,” kata Henry sambil tersenyum. Dia tampak menilik penampilan Kevin dari atas sampai bawah, lalu matanya beralih pada jam tangan bermerek milik Kevin dan mengangguk. “Di ruang ganti ada banyak senior. Lo bisa tanya banyak hal sama mereka, sekalian kenalan. Lo udah pegang seragamnya, kan?”

Kevin mengangguk, lalu berlari ke ruang ganti. Di sana, dia malah dibuat tidak keruan dengan pemandangan yang ada. Senior-senior yang dimaksud oleh Henry itu lebih mirip malaikat berwajah tampan, daripada harus dikatakan manusia.

Mereka memiliki tubuh putih dan bersih, penuh dengan otot-otot yang menyembul di perut dan lengan mereka. Kevin menelan ludahnya dengan kasar, mencoba menahan hasrat yang terus bergejolak dalam dirinya.

Aroma keringat dan minyak wangi bercampur, membangkitkan rasa aneh yang membumbung tinggi di kepala Kevin.

“Permisi, saya murid baru di sini,” katanya, lalu masuk ke ruang ganti yang penuh dengan cobaan. Senior-senior itu menatapnya dengan tatapan merendahkan.

*

Kevin tidak menyangka jika ada begitu banyak gadis yang ikut dalam pelatihan karate ini. Akan sangat memalukan jika dia harus kalah oleh mereka. Dia dimasukkan ke barisan pemula. Kevin berdiri di belakang seorang gadis kuncir kuda yang tampak energik dan di belakangnya ada lelaki tambun yang sangat tinggi.

Orang-orang di sekelilingnya terlihat sangat bersemangat dan penuh energi. Kevin menjadi satu-satunya anak yang tampak gugup dan kaku.

“Kita kedatangan murid baru,” kata pelatih yang berdiri di depan mereka, lalu menunjuk Kevin dan menyuruhnya ke depan. “Silakan, Kevin, ke depan dan kenalkan diri kamu,” pintanya sambil mengangguk.

Kevin meneguk ludahnya kencang, merasa ada gundukkan aneh yang menahannya di kerongkongan, membuatnya seperti orang tolol yang tidak tahu caranya menelan ludah dengan benar. Mendadak saja tubuhnya panas-dingin. Dia merasakan keringat yang mengucur di balik seragam karatenya. Saat kakinya mulai melangkah, tatapan semua orang tertuju kepadanya.

Kevin melenggang ke depan dan berdiri di samping si pelatih dengan gugup. “Sa-saya Kevin,” ucapnya terbata. Kevin sama sekali tidak tahu harus berkata apa lagi sekarang. Mungkin sedikit berbasa-basi tidak masalah. “Sa-salam kenal. Saya be-belum menguasai apa pun soal karate.”

“Apa alasan kamu masuk ke sini?” tanya pelatih itu sambil menaruh kedua tangannya di dada, sementara Kevin gelagapan ditanya seperti itu olehnya. Kevin tidak punya alasan kuat karena dia dimasukkan oleh ayahnya. Namun, jika dia harus berkata yang sejujurnya, Kevin akan bilang ingin menjadi sosok yang gagah dan maco agar tidak dikatai banci.

“Sa-saya ingin bisa menjaga diri sendiri dan, dan bi-bisa melindungi orang lain,” jawab Kevin terbata. Otaknya mencari kata apa yang pas untuk menjawab, daripada harus mengatakan yang sebenarnya. Namun, dia juga tidak pandai berbohong, makanya saat melakukannya malah seperti itu.

“Bagus. Alasan yang masuk akal.”

Kevin mengangguk, lalu menelan ludahnya lagi dengan kasar.

“Nah, sekarang kamu coba buat kuda-kuda!” suruh pelatih. Kevin tampak kebingungan, tapi dia langsung membuat posisi kuda-kuda yang dimaksud. Kaki kanannya ke depan, sementara kaki satunya berada di belakang dan dalam posisi tegap seperti tengah berdiri normal.

“Begini?” tanyanya. Namun, Kevin malah mendapatkan tawa dari teman-temannya.

“Kamu yakin itu posisi yang tepat?” tanya pelatihnya sambil tersenyum. Meskipun ragu dengan jawabannya, Kevin tetap mengangguk.

“Kalau begitu, coba tahan ini,” ucap pelatih itu, lalu dia bergerak cepat ke arahnya dan melakukan kumite pada Kevin. Seketika saja tubuhnya oleng karena pondasinya tidak kokoh. Kevin terjerembab ke belakang dengan ekspresi tegang.

“Aw. Sakit,” katanya. Dan, tawa teman-temannya kembali terdengar, membuat wajah Kevin memerah panas. Di hari pertamanya, dia sudah dipermalukan seperti itu.

“Itu karena kuda-kudamu salah,” kata si pelatih, lalu menariknya berdiri. “Sekarang, coba perhatikan teman-temanmu yang lain dan pelajari.”

Tepat setelah ucapan pelatih barusan, anak-anak yang lain langsung membuat posisi kuda-kuda yang benar, tampak kokoh dan nyaris tidak bisa dirubuhkan seperti dirinya tadi.

“Ba-baik, Pak.” Kevin kemudian disuruh kembali dan bergabung dengan teman-temannya.

Latihan pun dilanjut dan Kevin benar-benar kesulitan karena dia masih sangat pemula. Dia diarahkan oleh seorang senior, tapi bukan Henry seperti apa yang dikatakan Bang Jhon tadi saat di luar. Kevin mencari-cari di mana Henry berada, tapi tidak ditemukan di mana pun.

Senior yang menjadi pelatihnya saat ini terus saja marah-marah karena Kevin tidak bisa mengikuti instruksinya dengan benar. Beberapa kali dia salah posisi dan tenaganya kurang kuat untuk melakukan posisi yang diarahkan.

“Lo cewek apa cowok, sih? Masa kalah sama Nadya?” tanya senior itu jengkel karena kuda-kuda Kevin terus saja goyah dan mudah dirobohkan.

“Maaf. Saya belum terbiasa dengan ini,” katanya sambil menunduk, menahan malu karena sejak tadi ditertawakan oleh teman-teman kelompoknya.

“Coba lagi!” titah senior itu tegas dan penuh amarah. Dia lalu meninggalkan Kevin untuk mengurusi juniornya yang lain.

Henry di ujung ruangan terdiam sambil menggeleng. Dia ingin menggantikan posisi senior yang menjadi pelatih Kevin sekarang, tapi dia masih harus mengurusi anak didik yang sama-sama belum menguasai tekniknya.

Kevin nyaris menyerah karena selalu gagal. Nadya, gadis paling menonjol dengan bakat alaminya yang menjadi teman kelompok, mengatai Kevin lembek, membuatnya meradang dan bilang kalau Nadya terlalu ikut campur dengan urusannya.

“Kamu urusi saja kuda-kudamu!” ucap Kevin kesal, sesekali menaikkan posisi kacamatanya yang terus turun.

“Ya, jangan sewot, dong! Gue, kan cuma mau bantu lo. Dasar banci!” balas Nadya meradang.

“Apa kamu bilang? Saya bukan banci!” kata Kevin tidak terima. Dia sudah siap memelesat ke arah Nadya dan hampir menamparnya. Akan tetapi, dia tersadar pada perkataan Lesti beberapa hari lalu.  Ibunya bilang  banci adalah lelaki yang hanya berani kepada wanita. Kevin tidak ingin menjadi banci.

“Apa? Lo mau nampar gue? Tampar aja! Lo emang banci, kan? Masa kuda-kuda aja kagak bisa. Kalah sama gue yang cewek begini,” ucapnya, lalu melengos meninggalkan Kevin. Teman-teman yang lainnya gasak-gusuk membicarakan Kevin dan mulai memisahkan diri darinya.

“Terserah kamu! Sok banget jadi cewek!” teriak Kevin, membuat orang-orang yang ada di sana menoleh kepadanya. Henry yang sedang melatih ikut menoleh, lalu tersenyum.

Saat istirahat, Kevin menyelinap keluar ruangan. Dia berniat mencari angin segar dan malah terdampar di ruang ganti senior. Kevin lalu mencoba mengintip apa yang sedang dilakukan orang-orang di dalam ruang ganti.

“Gila aja. Masa iya ada cowok kagak bisa bikin kuda-kuda? Lembek amat jadi cowok,” ucap lelaki botak yang tadi jadi seniornya, dia sedang menggantung pakaian di paku. Lelaki itu hanya mengenakan celana dalam dan sesuatu yang menonjol di bagian bawahnya membuat Kevin salah fokus. Lagi-lagi pemandangan yang membangkitkan gairahnya.

“Katanya doi anak orang kaya. Wajar, sih karena dimanja,” timpal lelaki satunya yang sama-sama mengenakan celana dalam. “Lo bakal kerepotan banget ngurusin dia.”

Kevin meradang mendengar itu di tempatnya. Dia berusaha untuk tidak terpancing, tapi ucapan senior itu ada benarnya, membuat Kevin semakin sakit hati dan sedih. Tepat saat dia akan kembali menguping, seseorang menepuk pundaknya, membuat dia terkejut bukan main.

“Udah, enggak usah lo dengerin mereka. Biasa mereka kayak begitu,” ucap Henry sambil tersenyum manis, menampilkan lesung pipi di bagian pipi kirinya. Tangannya yang putih berurat terulur, lalu menyentuh pundak Kevin lembut. “Sekarang lo mending istirahat dan isi tenaga buat entar,” tambahnya.

Kevin menggeleng. “Mereka bener, kok, Kak—eh, Henry. Saya cuma cowok lembek yang enggak bisa apa-apa.”

“Halah, jangan dramatis begitulah. Males gue dengernya,” kata Henry sambil terbahak, dia lalu merangkul Kevin dan membawanya ke belakang gedung olahraga untuk menyantap bekalnya.

“Terima kasih, Kak.” Kevin menoleh pada tangan Henry yang tertaut di pundaknya, membuat dia merasakan getar aneh yang menjalari seluruh tubuhnya. Napas Henry begitu segar dan hangat, memaksa Kevin menelan ludahnya dengan kasar berkali-kali.

“Kan, gue udah bilang jangan panggil Kakak. Kita, tuh enggak beda jauh umurnya. Berasa tua banget gue kalau lo panggil begitu,” ucap Henry, dia terus menatap Kevin dari samping, membuatnya salah tingkah ditatap dalam jarak sedekat itu.

“Saya cuma kebiasaan manggil seseorang yang lebih tua kayak begitu. Sori.”

“Saya?” tanya Henry, alis hitam tebalnya bertautan karena merasa janggal dengan ucapan Kevin barusan. “Lo manggil diri sendiri pake ‘saya’? Kaku banget lo,” katanya terbahak. Namun, Kevin hanya menunduk malu.

“Selain kaku, saya juga lembek. Bisa begitu, ya,” balasnya Kevin terkekeh-kekeh, melupakan perasaan aneh yang menjalari tubuhnya sejak tadi. Seakan-akan semua itu melebur begitu saja.

Henry terbahak, lalu melepas rangkulannya dan mengeluarkan bekal makanannya dari tas selempang batik yang dia bawa dari tadi. Henry membawa sekotak nasi goreng buatan sendiri dan menawarkannya kepada Kevin untuk makan berdua. Kevin malah menggeleng menolak.

“Apa senior di sini semuanya kayak mereka?” tanya Kevin.

“Maksud lo?”

“Pemarah kayak senior yang tadi ngajar saya. Saya enggak biasa sama karate, tapi senior itu kayak enggak paham kondisi saya yang pemula ini.”

“Kalau lo pikir semua senior di sini kayak si botak itu, terus gue apaan, Kevin?”

Entah kenapa, Kevin merasakan kehangatan di percakapannya bersama Henry ini—atau mungkin hanya karena Henry menyelamatkannya dari kesepian dan keterpurukan. Dia merasa bersama Henry itu aman. Kecanggungan yang menguar di udara, terkikis dengan sendirinya.

“Ya, siapa tahu kamu juga sama kayak mereka, kan? Saya, kan anak baru di sini,” kata Kevin mengedikkan bahunya pelan, lalu membetulkan posisi kacamatanya yang terus saja melorot dengan tangan kiri.

Henry membuka bekal makanannya, meraih sendok plastik warna putih, lalu menyendokkan nasi ke mulutnya sekali. “Jujur, gue agak terganggu sama cara ngomong lo yang kayak begitu. Lo bisa ganti pake ‘gue’ atau ‘aku’ aja pas ngomong sama gue?” tanya Henry sambil mengunyah.

“Saya akan coba. Cara ngomong kayak begini udah ada sejak SD. Saya enggak tahu kenapa.”

“Kalau emang enggak bisa, jangan dipaksa. Gue cuma kagok aja dengernya,” ucap Henry masih mengunyah. Dia lalu menoleh pada nasi yang baru habis beberapa sendok. “Jadi, lo mau makan apa enggak?” tanyanya, membuat Kevin kembali menggeleng.

Mereka kemudian diam dalam keheningan. Kevin sibuk memerhatikan Henry makan, sementara yang ditatap malah anteng menghabiskan makannya sebelum jam istirahat berakhir.

Kevin sempat risi karena di hari pertamanya sudah melakukan kesalahan yang membuat dirinya dijauhi teman-temannya. Bayangan tentang pertemanan dan relasi yang dia buat di awal itu hilang dalam sekejap. Namun, dengan adanya Henry, membuat dia menjadi yakin bisa melewati hari-hari berat di pelatihan ini dengan senang hati.

“Jadi, lo emang anak orang kaya?” tanya Henry setelah nasinya benar-benar habis.

“Apa itu masalah?” jawab Kevin dengan tampang penasaran. Setahunya, senior di ruang ganti tadi sempat menyinggung soal statusnya juga.

“Enggak masalah, sih buat gue. Gue cuma penasaran aja. Kalau lo anak orang kaya, harusnya, kan diantar sopir pribadi dan dikawal sama dua pengawal yang kakunya kayak kanebo kering. Sama kayak lo,” balas Henry terbahak lagi.

“Saya bukan anak orang kaya yang begitu,” balas Kevin. “Tapi, kalau kamu mau lihat saya diantar, besok saya bisa suruh sopir pribadi antar saya ke sini,” tambah Kevin sambil tersenyum sombong, lebih pada ekspresi mengejek Henry.

“Gila. Lo bisa nyuruh-nyuruh begituan segampang itu,” ucap Henry takjub. Dia lalu menoleh lagi pada jam bermerek milik Kevin yang terus berkilau tersinari matahari.

“Biasa aja. Saya malah lebih suka ke mana-mana sendirian. Kan, saya pengin buktiin kalau saya bukan anak manja dan lembek,” kata Kevin enteng. Seakan-akan perkataan seniornya tadi membuatnya berpikir jika menjadi manja itu malah membuatnya semakin diejek.

Percakapan itu harus berakhir karena Henry bilang waktu istirahat sudah selesai. Dia lalu bilang kepada Kevin akan meminta atasannya untuk mengurus Kevin di bawah arahannya seperti apa yang Bang Jhon katakan sebelumnya.

“Pokoknya lo jangan mikir yang aneh-aneh. Semua akan baik-baik aja. Percaya sama gue,” kata Henry sambil menepuk pundak Kevin lembut, membuat Kevin tersenyum senang dan merasa aman berada di dekatnya.

“Terima kasih,” balas Kevin.

Namun, apa yang dirasakan Henry justru berbeda dengan yang Kevin pikirkan. Dia merasa jika sesuatu yang direncanakannya baru saja masuk ke pintu gerbang dan siap dijalankan.

“Sama-sama,” jawabnya senang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status