Share

6. Sebuah Awal

Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.

Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.

Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.

Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.

“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa balas dendam ke mereka, dong?” tanya Steven sambil melayani pelanggang yang sedang memesan, sesekali menoleh kepada Kevin yang berjalan melewatinya ke arah meja di ujung ruangan.

“Makin kacau aja hari-hari saya. Kalau begini terus, kayaknya mending pindah sekolah aja, deh,” jawab Kevin lesu. Dia menaruh tasnya di meja, lalu memosisikan pipi kirinya di atas meja sambil mengembuskan napas kasar.

“Santai. Di sini lo enggak bakal sekusut itu,” ucap Steven terkekeh-kekeh, lalu melenggang ke arah minibar untuk menyiapkan sesuatu.

Kevin memerhatikan guguran daun ketapang kencana di luar kafe, tampak indah dan membuatnya merasa tenang. Pohon-pohon itu menjatuhkan daun-daun yang tidak lagi berguna. Apa kevin bisa melakukan itu kepada sifat-sifat dalam dirinya? Dia ingin membuang sifat feminin dan hasrat yang menggebu itu jauh-jauh dari dirinya.

Saat Kevin menoleh pada Steven, lelaki itu sudah berada di sisi lain kafe dan tampak sedang berbincang dengan seorang lelaki tampan. Dari gelagatnya, mereka terlihat akrab dan bersahabat. Kevin terus memerhatikan setiap detailnya, sampai akhirnya Steven sadar sedang diperhatikan.

“Gue ke sini dulu,” ucap Steven pada lelaki itu, lalu berjalan kepada Kevin yang mulai duduk tegap. Sementara lelaki tadi duduk di kursi dekat jendela di samping pilar.

“Pelanggan juga?” tanya Kevin saat Steven sudah berada di hadapannya.

“Oh, dia. Ehm, dia ….” Steven tampak berpikir, lalu detik berikutnya menggeleng. “Dia sahabat gue, Vin. Lebih dari sahabat,” katanya.

Kevin mengangguk paham, lalu tersenyum. “Gimana kafe hari ini? Ramai?”

“Lo bisa lihat sendiri lah gimana keadaanya. Zaman sekarang yang buka beginian enggak cuma satu. Saingan banyak banget, Vin. Kalau enggak kreatif dan pinter-pinter kitanya, sih bakal kalah saing.”

“Tapi, saya yakin kamu bisa, kok bersaing. Kamu cuma harus berjuang lebih keras lagi.”

“Ah, lo. Kayak bener aja kalau ngomong,” ucap Steven terkekeh-kekeh, lalu duduk di kursi di hadapan Kevin. “Jadi, gimana latihan karate lo?”

Kevin menggeleng. “Enggak ada yang berubah sama sekali. Saya pikir masuk ke sana bisa bantu semuanya jadi lebih baik. Eh, ternyata sama aja. Malah sekarang semakin buruk.”

“Hidup lo parah banget kayaknya. Masalah di mana-mana. Bisa enggak, tuh beresin satu-satu?” tanya Steven dengan nada bercanda. Akan tetapi, Kevin menganggap itu serius. Perkataan Steven ada benarnya. Bisakah dia menyelesaikan semuanya?

Dia menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari kepalanya. Sekarang, pertanyaan lain malah muncul tanpa permisi. “Steve, kamu belum menikah, kan?” tanya Kevin.

“Gila lo. Gue baru dua tiga, Mas Bro. Lo pikir gue cowok yang suka nikah muda?”

Mungkin memang benar, Steven bukan tipe lelaki seperti itu. Akan tetapi, bisa saja di usianya yang sudah dikatakan cukup itu, dia mulai ingin menikah. Bukankah dia lelaki normal yang mencintai wanita pada umumnya?

“Jadi, kenapa lo tanya gue nikah apa belum?”

“Saya kepikiran sesuatu. Ini soal hidup saya, Steve. Kamu tahu, kan saya masih sekolah. Tapi, orangtua saya sudah siapin seorang gadis dan menjodohkan saya dengan gadis itu.”

Steven sama sekali tidak terkejut. Resposnnya biasa saja. “Ya, baguslah. Lo jadi enggak susah cari calon kalau begitu. Lagian, buat anak orang kaya lo, hal kayak begitu udah wajar, kan?”

Pertanyaan Steven barusan membuat Kevin merengut kesal. Dia tidak suka jika Steven menganggapnya seperti itu. Seakan-akan Kevin memang tidak bisa melakukannya sendiri.

“Tapi, saya masih harus lulus SMA, masuk kuliah dan masih harus kerja. Apa enggak kecepetan kalau mereka jodohin kami sekarang?”

“Kan, mereka cuma ikat lo doang. Kalian bisa lakukan pendekatan dan komitmen,” ucap Steven sambil mengedikkan bahu enteng.

“Masalahnya bukan cuma itu, Steve.” Kevin menelan ludahnya dengan paksa, merasa sangat sulit meluncurkan cairan itu ke kerongkongannya. Sekarang, Kevin merasa tidak harus menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya kepada Steven. Siapa yang tahu reaksi Steven nanti akan bagaimana, kan/?

Mereka sama-sama diam dalam keheningan yang nyata. Steven tampak memiringkan kepalanya ke sebelah kanan, menunggu Kevin menyelesaikan ucapannya. Namun, sampai lonceng kembali berbunyi, lelaki berkacamata itu belum juga mengatakan apa pun.

Steven berdeham, lalu menoleh pada pelanggan baru yang langsung disambut oleh karyawannya.

“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Kevin lagi karena Steven tidak merespons ucapannya barusan.

“Udah, enggak usah banyak pikiran. Sekarang lo nikmatin hidup lo yang sekarang. Kalau bisa, lo pesen juga minuman, bukannya dateng menuhin kursi doang,” ucap Steven, lalu terbahak dan pergi meninggalkan kursinya untuk mengurusi pelanggan tadi.

Kevin mengembuskan lagi napasnya, lalu menarik menu di sampingnya.

*

Saat pulang, Kevin disuguhi kehadiran Audry yang sedang menunggunya di gerbang. Gadis itu melambaikan tangannya sambil tersenyum senang karena penantiannya sudah berakhir.

“Hai, Key. Kamu ke mana aja?” tanya Audry senang. Gadis itu selalu tampak energik dan ceria.

Kevin mendengus tidak senang saat Audry memanggilnya seperti itu, karena yang memanggilnya ‘Key’ hanya ibunya. Dia lalu melepas helm kuningnya dan menaruhnya di setang motor. “Kamu ngapain di sini? Ini, kan udah malam, Dy,” tanya Kevin, dia meraih kacamata di saku seragam dan memakainya.

“Aku nunggu kamu. Dady juga ada di dalam. Om Galang udah nunggu kamu dari tadi,” jawab Audry semangat.

“Mau ngapain lagi?” tanyanya malas.

“Acara makan malam kayaknya,” jawab Audry, bahunya terangkat pelan, lalu matanya yang hitam cemerlang terarah pada tangan Kevin yang sekarang memegang sesuatu.

“Makan malam terus. Kalian enggak bosen?”

“Itu apaan? Boba buatku, ya?” tanya Audry, mengabaikan pertanyaan Kevin. Gadis itu lalu merebut kantong keresek di tangan Kevin dengan cepat. Isinya hanya minuman yang dia beli dari kafe Steven tadi. Niatnya, sih untuk diminum nanti malam.

“Eh—ah, udahlah.” Kevin mengibaskan tangannya, lalu masuk ke rumah dan disambut oleh kedua orangtuanya yang sedang berbincang dengan orangtua Audry.

Mereka serempak berdiri, lalu tersenyum pada Kevin. Galang mengangguk, menyambut kedatangan anak sematawayangnya dengan senang. Dia lalu menyuruh Kevin untuk memberi salam kepada kedua orangtua Audry.

“Kalian mau ke mana?” tanya Kevin setelah menyalami satu per satu dua pasang suami-istri itu.

“Kami mau mengadakan acara makan malam lagi, Key,” jawab Lesti sambil tersenyum.

“Makan malam lagi? Saya enggak bisa ikut, Bu. Masih banyak tugas,” balas Kevin, lalu melengos ke kamar tanpa pamit. Dia sudah sangat muak dengan keputusan orangtuanya yang selalu saja sesuka hati.

“Kevin,” panggil Galang. Dia bangkit dan mencekal tangan Kevin erat. “Mau ke mana kamu? Om Rendra sudah datang ke sini. Masa kamu mau pergi gitu aja?”

“Ayah, saya capek. Seharian ini saya belajar.  Lagian, buat apa acara makan malam sesering itu?” tanya Kevin kesal, tepat saat Audry masuk sambil menyesap minuman darinya tadi. “Besok saya masih harus latihan karate. Bukannya itu yang Ayah mau?”

Galang menekan amarahnya pada gigi gerahamnya yang dia tekan kuat-kuat. Tangannya yang tadi mencekal Kevin kini dia lepaskan dan menoleh pada Lesti yang sedang membalas tatapannya.

“Kamu bisa, kan menghargai kedatangan Om Rendra? Beliau sudah datang ke sini demi kamu. Demi kalian berdua,” ucap Galang berusaha lembut.

“Tapi, saya enggak pernah minta Om Rendra datang. Dan, soal perjodohan itu, saya enggak pernah memintanya. Kalian terlalu mengurusi hidup saya. Ayah enggak pernah memberi kebebasan buat saya,” kata Kevin dengan nada tinggi. Dan, detik itu juga pipinya sudah memerah karena Galang menamparnya dengan keras.

“Kurang ajar kamu! Ayah melakukan itu semua demi kebaikanmu!” bentak Galang.

Kevin meringis sambil menekan pipinya yang terus berdenyut nyeri. Dia sebisa mungkin untuk tidak menangis dan bersikap sok kuat. “Seharusnya Ayah mengerti situasi saya. Saya udah turuti apa yang Ayah mau dengan masuk latihan karate. Apa saya masih harus ikut perjodohan itu? Bahkan saya enggak mengenal siapa dia,” tunjuk Kevin pada Audry yang sekarang berhenti menyesap minumannya.

“Kevin!” bentak Galang dan siap menamparnya lagi. Namun, Rendra menahannya.

“Biarin dia pergi ke kamarnya, Lang. Jangan terlalu maksain dia,” ucap Renda merelai. Dia lalu menggiring Galang ke sofa dan mendudukkannya.

Dan, rencana makan malam itu harus batal karena Kevin mengacaukannya.

*

Saat pagi, Kevin tidak berinteraksi sama sekali dengan kedua orangtuanya. Dia pergi ke sekolah tanpa sarapan. Saat ibunya meneleponnya di jam istirahat, Kevin menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya karena merasa tidak ingin memberikan alasan apa pun kepada Lesti.

Hari-hari di sekolahnya semakin buruk karena hal itu. Dia hanya bisa pergi ke ruang musik dan memainkan gitarnya sendirian sampai jam pelajaran terkahir usai. Kevin bolos lagi dan dia siap dipanggil ke ruang BK jika terus melakukannya.

Sepulang sekolah, Kevin menghubungi sopir pribadinya dan menyuruhnya menjemput ke sekolah agar bisa langsung berangkat ke tempat latihan karate. Sekarang dia akan pamer kepada Henry tentang betapa kaya dirinya. Itu bukan sombong, tapi Henry sendiri yang ragu dan ingin melihatnya diantar oleh sopir pribadi.

“Motornya bagaimana?” tanya sopirnya sambil menunjuk Scoopy milik Kevin yang teronggok di parkiran.

“Simpen aja di sana, Mang. Nanti pulang diambil.”

Saat sampai di tempat latihan, Kevin langsung mencari di mana lokasi Henry. Entah mengapa, dia menjadi begitu bersemangat jika sudah dekat dengan Henry. Kevin merasa orang itu adalah satu-satunya malaikat di neraka yang harus ditempatinya ini.

“Aden mau Mamang tunggu? Atau mau diantar sampai ke dalam?” tanya Mang Kardi sambil membukakan pintu untuknya.

“Enggak. Enggak usah. Saya cuma mau nunggu temen aja, Mang. Mamang tunggu di sini sebentar sampai orang itu datang, ya. Nanti saya suruh pulang, deh.”

Mang Kardi mengangguk paham dan masuk kembali ke mobilnya tanpa basa-basi lagi. Dia menunggu sesuai arahan tuannya. Sementara Kevin berdiri di trotoar dekat gerbang masuk sambil celingukan. Dia mencari sosok Henry yang biasanya datang belakangan.

Tepat saat dia akan menoleh kembali ke mobilnya, seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan.

“Wah, kayaknya beneran dianter, nih,” kata Henry sambil menilik mobil starlet abu-abu milik Kevin dengan takjub. “Ini beneran mobil lo?” tanyanya.

“Secara teknis iya. Dan, itu di dalam sopir pribadi saya. Lihat, saya memang anak orang kaya kalau kamu masih enggak percaya ucapan saya kemarin,” jawab Kevin terkekeh-kekeh, merasa puas karena sudah membuat Henry takjub kepadanya.

“Oke, oke. Gue percaya sekarang. Mana bisa gue kayak begituan,” balas Henry sambil mengangguk.

Kevin menyuruh Mang Kardi pulang dan meminta agar tidak memberitahukan soal ini kepada kedua orangtuanya. Setelah sopir itu pergi, Kevin dan Henry masuk bersamaan ke area pelatihan.

Hari ini Henry memberitahu Kevin jika dia akan mengurusinya secara pribadi. Henry diberi tugas mengajarnya sampai bisa karena kemarin dia meminta izin pelatih untuk itu. Mendengar itu membuat Kevin semakin bersemangat berada di tempat latihan.

“Seruisan kamu yang bakal ngajar aku ke depannya?” tanya Kevin antusias, Henry sampai bisa melihat kobaran api di matanya saking bersemangatnya.

“Kalau lo enggak suka, gue bisa balik ngurusin cewek-cewek kemarin,” balas Henry enteng sambil mengedikkan bahunya pelan. Mereka masih melenggang ke arah bangunan kotak itu sambil berbincang ringan.

“Saya seneng kalau kamu yang jadi pelatihnya. Kan, kamu beda dari mereka,” ucap Kevin, tersenyum mengejek.

“Gue bisa jadi lebih ganas dari mereka. Lo mau?” tanya Henry sambil merangkul Kevin dengan tangan kirinya, mendekatkan wajah Kevin ke dadanya, lalu Henry menggosok puncak kepalanya dengan kepalan tangan. Perlakuan itu membuat Kevin menahan napas dan menelan ludahnya dengan cepat karena merasa hantaman di dadanya terasa secara mendadak.

Aroma body spray NFM menguar dari tubuh Henry. Lelaki itu sangat wangi, membangkitkan gairah dalam diri Kevin. Dia lalu mendorong Henry menjauh dan bersikap senormal mungkin layaknya teman yang merasa keberatan dipeluk seperti itu.

“Le-lepasin. Gerah, tahu!” kata Kevin sambil membetulkan kerah bajunya yang acak-acakan. Sementara Henry hanya terbahak melihat Kevin merengut sebal ke arahnya.

Akhirnya mereka sampai dan masuk ke ruang ganti bersama-sama.

Henry mengajari banyak hal kepada Kevin. Dimulai dari sejarah karate, apa saja yang harus disiapkan oleh seorang karateka dan mengarahkan Kevin pada posisi kuda-kuda yang benar.  Meski lambat, tapi lama kelamaan Kevin mulai merasa nyaman dengan latihan itu.

Saat jam istirahat, Kevin melipir lagi ke belakang gedung karena teman-temannya tidak ada yang mau mengajaknya makan bersama. Dia lalu membuka kotak bekal berisi roti tawar dan selai nanasnya. Tepat saat dia akan menyantapnya, Henry datang dan menyambar roti di tangannya dengan cepat.

“Wah, enggak ngajak-ngajak, nih. Udah mulai belagu nih anak,” ucap Henry, lalu melahap roti itu dalam sekali suap, membuat Kevin merengut sebal dan melempar Henry dengan tutup kotak bekalnya.

“Aih. Kenapa kamu ambil jatah makan saya? Emang kamu enggak bawa bekal?” tanya Kevin kesal. Roti di kotaknya tinggal dua dan dia langsung menutup kotak itu dengan kedua tangannya. Takut kalau-kalau Henry akan menyambarnya lagi.

“Ya, bawa, sih. Tapi, kan gue juga pengin coba makanan orang kaya,” jawabnya sambil menjilati jemarinya yang terkena tetesan selai kuning tadi.

“Berhenti bawa-bawa status, deh. Saya enggak suka kalau harus dibanding-bandingin kayak begitu, Henry. Kita ini sama.”

“Oke, oke. Gue yang salah. Sori.”

Detik berikutnya Kevin mengangguk dan membuka kedua tangannya, lalu menaruh kotak itu di atas batu besar yang jadi alasnya duduk. Kevin lalu tersenyum dan menyuruh Henry duduk di sampingnya.

“Saya masih punya dua roti. Kamu habiskan satu dan sisanya buat saya. Sini,” ajaknya yang langsung diangguk setuju oleh Henry.

“Lo asik juga diajak ngobrol. Gue jadi heran, kenapa orang-orang pada malas deket sama lo,” ucap Henry dengan nada bertanya kepada dirinya sendiri, membuat Kevin yang tengah mengunyah rotinya menoleh dengan tatapan sedih.

Kevin menelan rotinya dengan cepat, lalu menaruh sisanya di kotak. “Mungkin karena saya berpenampilan culun dan enggak bisa bersikap kayak cowok normal lainnya.”

Henry mengernyit. “Lo enggak normal?”

Pukulan kencang mendarat di bahu Henry, lalu Kevin menggeleng dan menjawab lagi. “Bukan begitu maksudnya. Saya enggak gagah dan maco kayak kamu. Lihat saya,” pinta Kevin sambil mulai berdiri dan menunjukkan penampilan dari atas sampai bawahnya dengan tangan. “Mana ada orang yang mau maen sama cowok cupu kayak saya? Udah enggak bisa olahraga, pakai kacamata pula.”

Henry menggeleng, lalu ikut berdiri. “Buktinya gue mau,” balasnya. “Fisik bukan jadi penentu buat gue cari temen. Selama doi asik dan bisa bikin gue nyaman, kenapa enggak? Lagian, lo enggak jadi masalah buat gue dengan penampilan kayak begitu,” lanjutnya sambil mengedikkan bahu enteng dan menilik penampilan Kevin dari atas sampai bawah.

Mendenagr itu membuat hati Kevin terenyuh. Baru kali ini ada orang yang berkata seperti itu kepadanya. Dia sudah tahu, sejak awal Henry itu memang orang yang baik. Sekarang, dia semakin yakin akan hal itu.

“Lagi-lagi kamu bikin saya merasa aman,” ucap Kevin pelan.

“Bagus. So, kita bisa jadi teman ke depannya. Kalau ada apa-apa, lo bisa bilang sama gue. Jangan sungkan hanya karena lo harus andalin gue di setiap masalah lo!” seru Henry sambil merangkul Kevin. Mereka berdua berdiri di atas batu besar di belakang bangunan. Angin sore itu berembus pelan di sela-sela helai rambut mereka.

“Tapi, kita baru aja kenal dan jadi teman. Kenapa kamu begitu peduli?”

Henry melepas rangkulannya, memutar bola matanya cepat, lalu menjitak Kevin dengan kepalan tangan kirinya kencang. “Lo masih tanya aja soal itu. Gue udah bilang karena lo asik orangnya dan bisa bikin gue nyaman deket bareng lo.”

Rasanya pipi Kevin memerah sekarang. Entah kenapa, perkataan Henry barusan membuatnya salah tingkah. Dia merasa perlakuan Henry dan Steven kepadanya sama saja. Namun, Henry memberikan sesuatu yang lain untuknya. Rasa aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya membangkitkan lagi gairah yang selama ini di tahan kuat-kuat.

“Trims,” ucap Kevin.

“Malam ini lo enggak ada acara, kan? Kalau gue ajak ke kost-an gue buat nginep, lo mau?” tanya Henry sambil mulai duduk lagi di atas batu dan memghabiskan sisa roti milik Kevin.

Sejenak Kevin terdiam, tampak menimbang. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk. “Oke. Saya mau. Kita bisa ngobrol banyak hal, kan di sana?”

“Lo mau ngobrol sampe mulut lo berbusa, gue layanin. Oke, ya. Jadi, sore ini lo pulang bareng gue ke kost-an,” kata Henry sambil tersenyum yang diangguki oleh Kevin pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status