Share

4. Sebuah Keputusan

“Anak kurang ajar! Enggak tahu terima kasih!” Galang menyeret Kevin ke kamarnya, lalu mendorongnya kencang hingga tubuh Kevin terjerembab di dekat ranjang. Kacamatanya jatuh, tapi tidak sampai pecah.

“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Tapi, Ayah mau saya denger apa yang Ayah mau. Itu enggak adil!” ucap Kevin dengan nada tinggi. Dia tidak sadar sudah membentak ayahnya sendiri karena sudah kesal dengan sikap ayahnya yang selalu saja mengaturnya.

“Tutup mulutmu!” Galang mondar-mandir di pintu masuk, sesekali mengurut batang hidungnya sambil tangan satunya ditaruh di pinggangnya. “Kamu jadi cowok terlalu lembek. Masa maen futsal aja enggak bisa? Kamu udah nolak kesempatan dan bikin malu. Jangan malu-maluin Ayah begitu. Mau ditaruh di mana muka Ayah?” tanyanya.

Kevin menarik napas dalam-dalam. Ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya saat Galang mengatainya ‘cowok lembek’. Dia memang sadar diri, kok tidak suka olahraga dan menyukai hal-hal yang tidak biasa disukai lelaki pada umumnya. Namun, jika dikatakan lembek, dia tidak terima.

“Ayah cuma perlu denger apa yang saya mau. Saya hobi nyanyi, saya hobi membaca. Itu  enggak bikin kita rugi, kok. Apa itu salah?” tanya Kevin, lalu dia berdiri dan duduk di ranjangnya dengan mengepalkan kedua tangan erat-erat.

Galang tidak menjawab, merasa tidak mendapat jawaban apa pun untuk membalas pertanyaan Kevin barusan. Dia hanya mendengus kesal, lalu menutup pintu kamarnya dan dikunci dari luar.

“Kamu dihukum dua hari di kamar!” katanya sambil menutup pintu dengan kencang.

“Ayah enggak adil!” teriak Kevin.

*

“Sebenernya, apa yang salah sama anak kita?” tanya Galang sambil mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut. Lesti duduk di sampingnya sambil mengelus tangannya lembut.

Setelah pulang dari acara makan malam itu, mereka memutuskan untuk membahas soal anaknya yang terlihat semakin tidak wajar. Galang memerhatikan gerak-gerik Kevin yang tidak biasa. Anak lelakinya itu malah cenderung melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak perempuan.

Galang pikir, anak lelaki tidak membaca novel, tidak menulis cerita, tidak menyanyi dan lebih parahnya, Galang berpikir jika memainkan gitar sambil menyanyi tampak seperti seorang lelaki lembek.

“Biarin Kevin tumbuh sesuai bakatnya, Yah. Jangan paksa dia. Kan, Ibu sudah pernah bilang soal itu,” ucap Lesti. Dia sama seperti Galang, ingin yang terbaik untuk anak satu-satunya. Akan tetapi, memaksakan kehendak Kevin bukan apa yang diinginkannya. Dia juga tidak bisa menentang keputusan Galang.

“Itu karena kamu terlalu manjain dia. Sekarang dia malah susah diatur. Kamu lihat, kan di acara makan malam dia ngapain? Mau ditaruh di mana mukaku ini?” Galang menggeleng, merasa kepalanya semakin sakit.

“Tapi, Kevin benar, Yah. Dia bisa hidup sesuai apa yang dia sukai. Biarkan dia mengembangkan bakatnya.” Lesti mencoba berkata selembut mungkin, tidak ingin menambah rasa sakit di kepala Galang karena tingkah Kevin yang terus saja menolak apa yang dia pinta.

“Bakat apa? Apa yang dia bisa?” tanya Galang geram. Tangannya tidak bisa dia buat lemas, rasanya ingin menghantam sesuatu karena marah.

“Kevin punya suara bagus. Dia bisa menjadi penyanyi,” jawab Lesti.

“Aku akan masukkan dia ke pelatihan karate biar jadi lelaki tulen yang bisa jaga dirinya sendiri,” kata Galang.  “Seharusnya dia masuk sekolah futsal.Tapi, itu enggak cukup bikin dia jadi lelaki yang bisa mejnaga dirinya sendiri. Kamu tahu sendiri, kan apa yang dia lakukan di kam—”

“Saya enggak mau,” sambar Kevin dari arah kamarnya. Dia keluar dengan mencungkil kunci menggunakan alat pribadinya. “Cukup Ayah atur saya untuk sekolah di sekolah yang Ayah mau. Saya enggak mau melakukan apa yang Ayah atur,” tambahnya sambil berjalan ke arah ayah dan ibunya.

“Denger, Kevin. Hidup kamu sudah Ayah atur sejak kamu kecil, bahkan sampai jodoh. Kami sudah menyiapkan seorang gadis buat kamu. Kamu sudah enggak bisa menolak. Ini semua demi kebaikan kamu. Ayah sama Ibu sayang sama kamu,” kata Galang, lalu berdiri dan siap mendekat ke arah Kevin. Namun, Kevin menahannya dengan lima jari yang dia angkat ke depan.

“Bu, saya sudah besar. Saya kelas sebelas dan udah bisa nentuin apa yang saya mau lakukan,” ucap Kevin lesu. Tatapannya tertuju pada Lesti yang juga menatapnya dengan sedih. “Ayah juga. Seharusnya Ayah paham apa yang saya inginkan. Kita sama-sama laki-laki.”

“Ayah akan denger apa yang kamu mau. Tapi, selama kamu bisa buktikan sama Ayah kalau kamu bisa menjadi lelaki yang bisa diandalkan.” Galang mendelik ke arah luka-luka yang ada di wajah Kevin. Lebam dan merahnya masih ada di beberapa bagian wajah Kevin. “Ayah tahu kamu bukan anak lelaki yang biasa berantem. Luka itu,” katanya sambil menunjuk.. “Bukti kalau kamu terlalu lembek jadi anak laki-laki. Kamu kalah dan dipukuli, kan?”

Hati Kevin seperti mencelus begitu saja. Perkataan Galang memang ada benarnya. Selama ini dia hanya bisa diam saat dikeroyok dan dihina oleh teman-temannya. Jika pun dia melawan, alih-alih memberikan balas dendam, dia habis dipukuli. Sekarang, memikirkannya membuat dia membenci dirinya sendiri.

Otaknya berputar sangat keras, mencari kata apa yang pas untuk membalas perkataan Galang barusan. Akan tetapi, sampai jarum jam di dinding rumahnya melewati angka sepuluh dua kali, dia masih belum menemukan apa pun.

“Itu enggak adil!” bentak Kevin, lalu dia kembali ke kamarnya.

“Apa kita enggak terlalu memaksanya?” tanya Lesti cemas. Akan tetapi, Galang hanya terdiam sambil mengurut pelipisnya yang terus berdenyut.

*

Beberapa hari Kevin tidak masuk sekolah. Dia merasa sangat frustrasi dengan keadaan. Teman-teman di sekolahnya memusuhinya dan anak-anak senior selalu mengatainya gay dan banci. Tidak ada satu pun pilihan yang membuatnya merasa harus kembali ke sekolah.

Lesti sudah berkali-kali membujuk Kevin untuk keluar kamar dan bertanya apa yang salah dengannya. Pagi ini, dia diizinkan masuk oleh Kevin dan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengobrol dengannya.

“Key, kamu ada masalah apa? Cerita sama Ibu,” kata Lesti lembut. Tangannya mengelus kepala Kevin yang tersandar pada bantal di ranjang. Kevin memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Namun, Kevin juga tahu jika ibunya tidak sebodoh itu. Kan, yang membukakan pintu untuk ibunya adalah dirinya.

Lesti mengembuskan napasnya pelan, lalu mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman, sebelum melanjutkan percakapan yang menurutnya sangat sensitif itu. “Kamu bisa cerita sama Ibu. Apa ini semua karena keputusan Ayah?”

Kevin terdengar mendengkur, tapi Lesti tidak percaya Kevin tidur begitu saja. Dia lalu menyuruh Kevin bangkit dan duduk bersamanya.

“Saya cuma sedih, Bu. Saya ngerasa semuanya enggak bisa dikontrol dan bikin saya ngerasa benci saya diri sendiri. Ayah juga benci saya karena enggak bisa jadi apa yang dia mau. Dan, saya ngerasa terlalu cengeng.” Kevin nyaris terisak karena rasa sakit yang terus berdenyut di dadanya.

Lesti menggeleng. “Enggak. Kamu jagoan Ibu. Kamu anak yang selalu Ibu bangga-banggakan. Siapa yang bilang kalau kamu cengeng?”

“Ayah,” jawab Kevin.

“Ayah bilang kamu lembek, kan? Bukan cengeng,” kata Lesti sambil terkekeh-kekeh, membuat Kevin merengut sebal.

“Ibu! Kalau Ibu datang cuma buat ngatain juga, mending Ibu keluar, deh!” seru Kevin sambil menaruh tangannya di pelipis, merasa kedutan di kepalanya semakin kencang.

“Iya, deh Ibu minta maaf. Tapi, Ibu serius. Sebenernya kamu ada masalah apa sampai enggak mau berangkat ke sekolah?”

Kevin mengdengus, lalu bangkit, mengubah posisinya senyaman mungkin agar bisa bercerita kepada Lesti tentang apa yang terjadi kepadanya.

“Saya kesel sama diri sendiri. Ayah bener, saya cuma lelaki lembek. Anak-anak di kelas ngatain saya banci hanya karena enggak bisa maen futsal. Apa itu masalah, Bu?” Tepat setelah perkataan itu, Kevin mendadak teringat soal orientasi seksualnya yang menyimpang. Apa dia juga harus mengatakan itu kepada ibunya? Bukankah ibu selalu bisa menerima kondisi anaknya?

“Banci menurut kamu, itu apa?” tanya Lesti sambil mengelus rambut Kevin.

Kevin menggeleng. Dia tidak bisa membedakannya. “Menurut Ibu?”

“Lelaki yang enggak bisa menjaga kehormatan wanita, lelaki yang hanya berani melawan wanita dan lelaki yang enggak tahu diri yang selalu mementingkan dirinya sendiri di atas penderitaan wanita. Semua itu adalah banci menurut Ibu,” jelas Lesti tersenyum, lalu mengelus lagi puncak kepala Kevin/ “Jadi, apa semua itu ada di kamu?”

Kevin kembali menggeleng. “Tapi, Ayah mau saya masuk pelatihan karate cuma gara-gara saya cowok lembek. Saya enggak pandai olahraga. Itu bukan yang Ayah mau,” kata Kevin.

Perkataan Kevin memang tidak salah. Lesti tahu betul apa yang diinginkan Galang dari rencananya memasukkan Kevin ke pelatihan karate. Akan tetapi, bukan berarti dia setuju jika Kevin adalah lelaki yang lembek.

“Sekarang, kamu pikirkan apa sisi baik dari rencana Ayah buat kamu?”

“Saya enggak tahu, Bu. Saya enggak suka sama keputusan Ayah.”

“Key,” ucap Lesti, lalu meraih kepala Kevin dan membiarkannya tertidur di pahanya. “Ini bukan soal apa yang kamu suka atau enggak suka. Tapi, ini semua soal apa yang kamu butuhkan. Ayah memberikanmu semua ini karena dia ingin apa yang terbaik buat kamu.”

Kevin tidak bisa berkata apa pun untuk merespons. Dia terpejam di atas paha Lesti sambil menarik napasnya dalam-dalam. Ingatan soal dua lelaki yang selalu mengejeknya terbayang di kepalanya. Ucapan Lesti barusan menyadarkannya dari sesuatu.

Jika dia masuk pelatihan karate, artinya Kevin bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak akan diganggu lagi oleh senior atau teman-temannya. Dan, itu artinya dia tidak akan dikatai banci lagi. Mendadak saja Kevin tersenyum senang.  Benar, ini adalah apa yang dibutuhkannya.

Ada rasa ingin memiliki yang tumbuh dalam diri Kevin. Ya, dia ingin memiliki semua kemampuan dan sanjungan itu mulai dari sekarang. Kevin tidak ingin dikatai banci lagi.

“Iya, Bu. Saya membutuhkannya,” ucap Kevin, dia lalu menegakkan tubuhnya dan mengepalkan satu tangannya sambil tersenyum senang. “Bantu saya bicara sama Ayah soal ini, Bu. Saya ingin masuk pelatihan karate,” lanjutnya.

Sekarang, Kevin bertekad ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan. Perkataan ayahnya terngiang di kepalanya. Galang bilang akan mendengarkan apa pun yang dikatakannya, selama Kevin sudah menjadi lelaki yang bisa diandalkan.

Siapa yang tahu, bukan, setelah dia masuk pelatihan, orientasi seksualnya akan kembali seperti semula. Dia akan menjadi lelaki maco yang menyukai gadis berpayudara besar. Bukan malah lelaki yang memiliki batang seperti dirinya.

Lesti mengangguk, lalu menyuruh Kevin untuk istirahat.

*

Kevin merasa sangat bahagia karena bisa melakukan makan malam bersama lagi dengan kedua orangtuanya. Itu adalah momen yang langka karena Galang selalu sibuk dengan urusan kerjanya. Terakhir mereka makan malam bersama pun saat acara bertemu dengan teman bisnis Galang malam itu.

Steik yang sudah dihidangkan di piring putih itu masih belum disantap oleh Kevin, dia hanya memotongnya kecil-kecil, lalu memainkannya. Matanya yang cokelat madu terus mengerjap di balik kacamata beninnya.

Sejak tadi, Galan seperti mengabaikannya, membuat Kevin semakin merasa canggung. Malam ini dia ingin membicarakan soal pelatihan karate yang waktu pernah dibahas oleh ibunya.

Kevin berdeham pelan, membuat kedua orangtuanya menoleh bersamaan kepadanya. “Ayah, terima kasih karena mau meluangkan waktu bersama kami,” ucap Kevin, lalu menaruh kedua alat makannya. “Saya senang.”

Galang belum menjawab, dia meraih gelas dan meneguk airnya dalam sekali napas. “Makanlah yang banyak. Kita jarang-jarang punya waktu kayak begini,” katanya. Kevin mengangguk setuju, lalu menoleh pada Lesti yang tersenyum ke arahnya.

“Ayah, ada yang ingin saya bicarakan,” ucap Kevin canggung. Dia merasakan atmosfer kecanggungan yang pekat di seklilingnya. “Ini soal pelatihan karate. Setelah dipikir-pikir, enggak ada salahnya saya ikut pelatihan itu. Ayah bener, saya butuh itu buat kehidupan saya,” lanjutnya sambil meraih sendok dan garpunya lagi.

Mendengar itu Galang tersenyum, lalu menaruh dua alat makannya dan menarik selembar tisu. “Besok kita langsung datang ke pelatihan. Ayah akan temani kamu daftar,” ucapnya.

“Terima kasih, Ayah.”

Galang menoleh pada ponselnya yang berkedip dan berbunyi. Dia lalu mengangkat sebuah panggilan, tampak serius berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Itu membuat Kevin merasa kesal karena siapa pun yang menelepon, telah menginterupsi momen kebersamaan keluarganya.

“Teman Ayah sudah di jalan,” kata Galang, lalu menaruh ponselnya di meja.

“Mereka jadi datang, Yah?” tanya Lesti. Seakan-akan dia sudah tahu soal itu, membuat Kevin seperti orang tolol yang tidak tahu apa-apa.

“Mereka siapa, Bu?”

“Teman Ayah. Mereka datang sebentar lagi dan bergabung bersama kita.”

“Bukannya ini acara keluarga kita, Bu?”

Lesti menggeleng. “Ini memang acara keluarga, tapi melibatkan dua keluarga. Harusnya mereka datang sejak tadi. Tapi, teman Ayah harus mengurusi sesuatu dulu. Jadi, mereka telat.”

Selama menunggu, hati Kevin semakin dibuat dongkol. Dia pikir, acara makan malam ini khusus untuk keluarga kecilnya. Akan tetapi, ayah dan ibunya sudah merencanakan ini di belakangnya. Entah apalagi yang akan mereka bahas kali ini.

Kevin lalu pamit untuk bermain ponsel lebih dulu, dia melipir ke dekat pagar yang menjadi pembatas restauran dan jurang yag menampilkan pemandangan kota malam hari. Ada begitu banyak cahaya yang membuat malam semakin indah dan tampak romantis.

Dia meraih ponselnya dan menelepon Steven. Kedekatan mereka sudah mulai terjalin. Hari itu, sebelum pulang Kevin meminta kontak Steven untuk jaga-jaga jika dirinya membutuhkan Steven sebagai penasihatnya. Ternyata, kontak itu memang berguna sekarang.

Telepon tersambung dalam beberapa detik, lalu Steven mengangkat panggilannya.

“Yo, Kevin. Ada apa malam-malam nelepon? Jangan bilang lo kangen gue?” tanyanya terkekeh-kekeh.

“Enggak. Dih, malas banget saya harus kangen kamu,” jawab Kevin, dia juga sama terkekeh-kekeh, lalu menyudahinya dengan cepat. “Ada yang mau saya bahas. Sori kalau saya selalu bikin kamu repot,” kata Kevin.

“Basa-basi aja, deh lo. Kan, gue udah bilang, kalau ada apa-apa terbuka aja. Kita udah jadi temen kali, Vin.”

Kevin mengangguk, meskipun Steven tidak bisa melihatnya. Dia lalu menarik napasnya pelan sambil menatap pemandangan di hadapannya. “Ini soal sesuatu yang enggak saya sukai waktu itu. Maksudnya, saya baru aja mengambil keputusan buat ikut ke pelatihan karate. Gimana menurut kamu?”

“Ngapain lo masuk karate? Mau balas dendam sama mereka yang suka bikin muka lo babak belur?”

“Enggak ada salahnya, kan?” tanya Kevin, merasa itu memang tidak salah.

“Apa keputusan ini sesuai hati lo? Gue cuma enggak mau lo ambil keputusan karena terpaksa, Vin.”

“Awalnya, sih. Tapi, saya mulai mikir ini yang terbaik. Kan, kalau saya bisa jaga diri sendiri, enggak akan nyusahin orang lain juga. Selain itu ….” Kevin menjeda ucapannya, lalu menelan ludahnya pelan. “Saya pengin jadi sepertimu. Kamu gagah dan pemberani, Steve.”

Steven malah terbahak mendengarnya, menganggap jika Kevin terlalu polos dan lucu. Dia lalu mengatakan apa pun keputusannya, selama itu muncul dari hati sendiri tidak akan masalah. Percakapan pun dihentikan karena Kevin harus kembali ke kedua orangtuanya.

Saat kembali, dia disuguhkan pemandangan mengejutkan. Teman ayahnya ternyata membawa seorang gadis cantik seusianya. Mendadak saja Kevin merasa tidak enak hati. Tadi ibunya bilang pertemuan ini melibatkan dua keluarga.

“Kevin, duduk di situ!” pinta Lesti sambil menunjuk kursi di dekat gadis berambut pirang panjang bergelombang. Tanpa basa-basi Kevin duduk dan bungkam.

“Maaf karena kami terlambat,” kata lelaki berjas biru tua sambil menoleh kepada Kevin. “Anakmu ganteng juga, Lang. Dulu Kevin masih sering ingusan.”

“Iya. Sekarang dia udah gagang mirip ayahnya,” timpal Galang berbasa-basi, membuat Kevin muak. Padahal selama ini Galang menganggap Kevin lelaki lembek. Mana ada gagah seperti dirinya?

Percakapan pun berlanjut pada hal-hal kecil sambil menyantap hidangan kedua yang diantar pelayan. Kevin duduk sambil terus berbalas pesan dengan Steven. Dia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis di sampingnya.

Gadis itu mengernyit. “Hai. Dady sering cerita soal kamu. Namaku Audry. Salam kenal, Kevin.” Audry menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman. Namun, Kevin mengabaikannya.

“Kamu udah tahu soal itu?” tanya Audry lagi, berusaha memancing obrolan dengan Kevin. Tampaknya pertanyaan barusan sukses membuat Kevin penasaran dan bertanya balik.

Itu apa?”

“Mau ngobrol sebentar sambil kenalan? Kita di sini udah kayak nyamuk yang enggak dianggap. Aku mau ajak kamu ke sana,” kata Audry sambil menunjuk ke arah pagar yang tadi Kevin datangi. “Kita bisa ngobrol santai.”

“Oke.”

“Jadi, mereka punya rencana sendiri,” kata Audry saat mereka berjalan menjauh setelah pamit kepada orangtua masing-masing. Gadis bermata hitam bulat besar itu menaruh kedua tangannya di belakang sambil terus menggoyangkan kepalanya ke kanan-ke kiri.

“Saya enggak paham apa yang kamu bicarakan sejak tadi. Kamu pikir aku detektif yang bisa cari tahu kode-kode cewek?” ucap Kevin jengkel.

“Ya, maaf. Aku pikir kedua orangtua kamu udah kasih tahu kamu.”

“Nah, kan. Kamu mulai lagi. Jadi, soal apa?”

“Ke sini, deh.” Audry mengajak Kevin ke pagar pembatas, lalu menunjuk pemandangan di hadapannya. “Mereka berniat menjodohkan kita. Dady bilang, ini semua demi bisnis mereka. Ayahmu dan Dady-ku mau perusahaan mereka semakin besar dengan menjalin pernikahan politik.”

“Hah? Apa?” Kevin seperti tersedak ludahnya sendiri setelah mendengar ucapan Audry barusan.

“Awalnya aku enggak terima, sih. Tapi, setelah lihat kamu, aku pikir hidupku akan bahagia. Aku jadi mau dijodohin sama kamu,” kata Audry terkekeh-kekeh. Matanya yang bulat besar tertutup rapat oleh selaput matanya yang menyipit.

“Gila!” ucap Kevin, lalu berbalik dan mendatangi kedua orangtuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status