Share

3. Ngontrak Rumah

Gosip berhenti karena Mas Reihan pulang.

Aku berubah tegang dan Bi Irah langsung terdiam saat mendengar seseorang berdekhem mendekat.

"Loh, Mas Reihan sudah pulang?" tanyaku dengan senyuman cerah.

Meskipun Mas Reihan tak pernah bersikap manis padaku, apalagi pada saat ada ibu. Tetapi kehadiran Mas Reihan di rumah ini, membuatku merasa jauh lebih tenang.

"Iya, Lin! Ada hal penting yang mau aku bicarakan. Ibu kemana?"

"Ibu sedang ke pengajian." jawabku. "Mas Reihan mau makan?" tanyaku menawarkan.

"Tidak, Lin. Aku masih kenyang. Raisa tidur?"

"Iya, mas!"

Mas Reihan lalu sibuk bertelepon dengan serius saat seseorang menghubunginya.

"Lin, aku sepertinya harus ke kantor lagi! Ada yang harus aku urus. Aku di mutasi kerja ke cabang kantor lain tapi masih di kota ini, sih! Sepertinya setelah selesai urusan di kantor aku mau cari rumah dulu untuk kita kontrak sementara waktu."

"Apa mas?" tanyaku tak percaya dengan mata membola.

"Iya, kita akan mengontrak rumah, Lin! Aku akan cari rumah yang dekat kantor. Nanti setelah aku dapat yang cocok aku ajak kamu untuk melihat, kalau kamu juga cocok kita akan pindah kesana."

"Ya Allah, mas? Ini serius??" tanyaku tak percaya. Seperti mimpi indah di siang bolong.

"Iya, Lin! Akhirnya keinginanmu untuk kita hidup mandiri, bisa terkabul."

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, mas! Selamat juga atas keberhasilanmu, mas! Aku sangat bahagia dan bangga..." ucapku penuh haru. Aku bahkan memeluknya dengan mesra.

Mas Reihan tampak tersenyum senang. Ia lalu pamit setelah teleponnya kembali berdering memintanya segera kembali ke kantor.

Aku pun melepas kepergian Mas Reihan dengan senyum ceria. Tak hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Setelah tiga tahun membujuk Mas Reihan untuk tinggal berpisah dari rumah ibu, akhirnya Mas Reihan mau mendengarkan keinginanku.

"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah, Engkau telah menjawab doaku hari ini." ucapku sambil menangis dalam sujud syukur.

Aku bahkan berteriak girang, memeluk Bi Irah sambil menangis haru. Saking bahagianya, aku berjingkrak-jingkrak, menggenggam tangan Bi Irah yang sudah kuanggap sebagai keluargaku.

"Ya ampun, mbak! Pelan-pelan! Ada apa ini?" tanyanya heran melihatku bahagia seperti orang kesurupan.

"Astagfirullah, maaf, bi! Aku kelewat senang!" ujarku dengan sumringah. "Akhirnya, Mas Reihan mau cari rumah kontrakan, bi!"

"Alhamdulillah, syukur alhamdulillah, mbak! Bibi ikut senang, akhirnya Mbak Alin bisa lebih leluasa dan bahagia tinggal di rumah sendiri, mbak!"

"Iya, bi! Belum pindah aja aku sudah sebahagia ini, ya, bi!" kikikku malu-malu dengan tingkahku yang kekanakkan tadi.

"Ya, pasti, lah, mbak! Suami istri yang sudah menikah itu, pasti impiannya punya rumah sendiri. Lagipula lama-lama tinggal satu atap sama mertua sama ipar itu pasti nggak nyaman."

"Iya, betul, bi! Tapi aku baru mau ngontrak, bi, belum rencana beli rumah... masih harus menabung... apalagi aku nggak kerja...."

"Hush! Rezeki suami istri itu rezeki berdua, mbak! Meskipun Mbak Alin gak kerja, Mbak Alin berjuang di belakang layar, doain suaminya siang-malam biar pintu rezekinya terbuka lebar."

Aku tersenyum mendengar penuturan Bi Irah. "Terima kasih telah menghiburku, bi! Aku pasti bakalan kangen sama bibi...." ucapku membuat Bi Irah tersenyum seolah aku akan pergi jauh saja.

* * *

Malamnya, ibu menceramahiku panjang lebar hingga senyumku yang sepanjang hari ini mekar, layu seketika.

"Kamu sengaja, Lin? Mau ngontrak rumah buat jauhin Reihan dari ibu?" tanya ibu tanpa basa-basi, langsung menohok ke ulu hati.

"Bu! Aku kan udah jelasin, aku di mutasi kerja." jawab Mas Reihan berusaha jujur.

"Diam kamu, Reihan! Jangan sekalipun membela wanita ini di depan ibu kalau kamu gak mau jadi anak durhaka yang tega menyakiti hati ibumu!" pelotot ibu membuat Mas Reihan membisu dan mati kutu.

Aku sudah tak tahan lagi untuk tidak berlari menjauh dari hadapan ibu. Aku ingin menangis dengan keras, kenapa ibu sebenci ini sama aku? Apa salahku?

"Pokoknya ibu nggak setuju!" ucapnya sambil lalu.

"Tapi, bu! Aku sudah mengontrak rumahnya dan membayarnya untuk satu tahun!" timpal Mas Reihan jujur membuat ibu berbalik arah dengan emosi.

Ibu tampak tak mampu berkata-kata. Tatapan tajamnya beralih ke arahku. Aku sampai takut menatapnya hingga kutundukkan wajahku semakin dalam, berusaha menghindari tatapannya yang setajam silet.

"KAMU!" teriak ibu histeris tiba-tiba. "INI SEMUA GARA-GARA KAMU!" tuduhnya lagi ke arahku dengan geram. Suara ibu sampai serak saat berteriak kepadaku.

Tubuhku bergetar ketakutan melihat ibu melotot seperti mau menelanku hidup-hidup. Beruntung Mas Reihan sigap memeluk ibu dari belakang agar menjauh dariku. Aku pun berlari menjauh sambil menangis setelah Mas Reihan mengisyaratkan dengan matanya agar aku segera pergi.

Aku mengunci pintu kamar dan memeluk Raisa yang terlelap dengan tubuh bergetar. Aku menangis sesenggukan saat kudengar teriakan ibu yang tak henti berteriak menyumpah-serapahiku.

"Dari dulu ibu gak pernah setuju kamu menikah dengan wanita miskin itu! Dia itu pakai guna-guna buat pelet kamu, Reihan! Dia hanya ingin menguasai harta kamu!" teriak ibu membuat mataku basah dan hatiku terluka.

"Kenapa kamu nggak mau nurut sama ibu? Menikahi anak gadis Haji Jazuli, Si Juragan Berlian, tetangga kita?"

"Bu! Aku nggak cinta sama si Putri yang gendut itu!"

"Tapi dia kaya raya, Reihan! Hartanya gak akan habis tujuh turunan. Gendut itu gampang tinggal disuruh diet. Tuh lihat, sekarang Si Putri sudah menikah bahkan suaminya langsung dibelikan mobil baru. Ibunya juga pamer sama ibu tadi di pengajian. Dia dihadiahi satu set perhiasan mewah oleh besannya. Bulan madu mereka bahkan umrah sama dua keluarga besar." Jelas ibu panjang lebar dalam satu tarikan nafas.

"Sementara Si Alina dan ibunya yang miskin itu, mereka malah terus mengemis minta dikasihani sama kamu! Boro-boro ngasih kamu hadiah mobil, bisanya cuma minta dan ngabisin duit kamu! Sekarang kamu lihat sendiri kan? Dia mulai berencana jahat. Dia mau jauhin kamu dari ibu! Biar dia bisa puas nikmatin uang jerih payah kamu sendirian!" cerocos ibu panjang lebar membuatku tak kuasa menahan sakit.Bu

Kuremas dadaku berkali-kali agar kuat. "Ibuku bahkan tak pernah meminta apapun pada Mas Reihan. Ibu tega sekali mengatakan sesuatu sejahat itu? Aku memang berasal dari keluarga miskin, bu! Jauh berbeda derajat keluargaku dengan ibu yang serba ada... tapi aku dan ibuku tidak pernah mengemis apapun pada Mas Reihan apalagi pada ibu...." belaku dalam hati.

Ku dengar Mas Reihan tengah berbicara dengan suara tetap lembut. Entah Mas Reihan mengatakan apa, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Lalu kudengar langkah ibu dan Mas Reihan menjauh dari depan kamarku. Sepertinya Mas Reihan berhasil menenangkan ibu.

"Mama? Mama nangis?" tanya Raisa yang tak kusadari terbangun dari tidurnya.

"Maafkan mama, sayang!" ucapku memeluknya penuh sayang. "Mama bangunin kamu tidur, ya?" tanyaku memaksakan tersenyum.

Namun mataku tidak bisa di ajak kompromi. Ia terus mengalirkan air dengan deras.

Raisa bahkan berinisiatif menghapus dua mataku yang terus-menerus basah. Sikap pedulinya membuatku terharu dan ingin memeluknya sekali lagi.

"Terima kasih, sayang!"

Raisa lalu tersenyum lucu, "Mama cantik kalau senyum!" ucapnya dengan bahasa cadel membuatku terhibur.

Kupeluk buah hatiku sekali lagi, dan menjawil hidung mancungnya dengan gemas.

"Mama jangan sedih! Nanti dadaku dan kepalaku pusing!" ucapnya cadel dengan mata berputar-putar menambah gemas raut wajahnya.

"Kok bisa?" tanyaku pura-pura heran.

"Hemh!" jawabnya dengan gaya lucu, mengangkat bahu dan kedua telapak tangannya bersamaan.

Aku pun tertawa melihat tingkah lucunya.

"Aku ingin nangis dan pusing kalau mama sedih!"

"Wah, masa?" tanyaku dengan ekspresi ingin tahu lebih jauh.

"Iya, tapi kalau mama senyum aku suka!" ucapnya dengan lucu.

Aku pun tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Mungkinkah ini alasan Raisa terus-menerus rewel saat hati dan jiwaku sedang tidak baik-baik saja? Saat aku bahagia sepanjang hari tadi, aku baru sadar, jika Raisa begitu ceria setelah bangun tidur tadi.

"Tuh kan, mbak! Kalau Mbak Alin bahagia, Non Raisa juga ceria!" ucap Bi Irah yang baru kupahami sekarang saat aku curhat pada Bi Irah tadi siang jika aku mulai lelah karena Raisa terus-terusan rewel.

"Ya jelas, rewel! Lah, mamanya juga dibuat nelangsa terus disini...."

Ku pikir Bi Irah menjawab asal tadi. Monologku dalam hati sambil menepuk jidat.

Aku pun mencium ubun-ubun kepala anakku sambil mendoakan yang baik-baik untuknya. Rasa sayangku kepadanya bertambah lagi ribuan persen. Bahkan saat aku terpuruk setelah harga diriku terinjak, aku masih bisa tersenyum dan terhibur berkat Raisa, anakku.

"Lin!"

Aku segera bergegas membuka kunci pintu.

"Maafkan, mas, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak!"

Rasanya duniaku benar-benar runtuh dalam sekejap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status