Dadaku perih melihat senyuman sebelah ibu yang tampak jelas diwajahnya. Itu seperti isyarat yang terang jika ibu bahagia di atas penderitaanku.
"Sampai kapanpun, kau tak akan bisa mengalahkan posisi ibu di hati Reihan, Alina!" Ibu seolah berkata begitu dengan bahasa tubuhnya padaku.
Harga diriku rasanya benar-benar terhempas di hadapan ibu. Pertahananku untuk berdiri tegar rasanya runtuh setiap kali Mas Reihan membentakku dan menghinaku di depan ibu.
Setelah puas meluapkan amarahnya padaku, Mas Reihan kembali ke kamarnya, melanjutkan tidurnya yang terganggu.
Melihat anaknya telah menghilang dari hadapan, ibu buru-buru menurunkan Raisa dan bersikap kembali acuh meskipun Raisa merengek masih ingin di gendong olehnya.
"Nenek harus pergi! Ada pengajian. Raisa jangan rewel! Pusing nenek denger kamu nangis terus. Kasian papa kamu tidurnya keganggu."
Aku buru-buru meraih anakku dan memeluknya. Mataku kembali mengembun, menyaksikan keinginan anakku untuk memeluk neneknya ditolak terang-terangan di depan mataku.
"Cukup ibu membenciku saja. Tolong jangan benci Raisa!" keluhku dalam hati. "Meski terlahir dari rahim wanita yang ibu benci, dia cucu pertama ibu. Darah daging Mas Reihan, anak kesayangan ibu!"
* * *
Hidupku di rumah ibu mertua begitu tertekan. Awal-awal sebelum menikah, aku yang memang tidak bekerja selalu dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan rumah yang semuanya di bebankan padaku. Beruntung, suamiku yang akhirnya melihatku kelelahan mengurus rumah sendirian juga Raisa yang masih bayi akhirnya meminta Bi Irah kembali bekerja di rumah ibu setelah ibu memintanya berhenti sebab sudah ada aku yang menghandle urusan beres-beres rumah.
"Ngapain kamu suruh Bi Irah kerja di rumah ini lagi? Kan udah ada Alina! Sayang tahu uangnya Reihan, mending kamu tabung daripada buat gaji pembantu."
Aku yang mendengarnya hanya bisa tertunduk sedih. "Ya Allah, ibu menganggapku sebagai pengganti Bi Irah selama ini?"
"Kasian Alina sampai sakit, bu! Dia kelelahan ngurus Raisa sendirian."
Aku sangat berterima kasih pada Mas Reihan karena telah membelaku di hadapan ibu.
Ibu lalu menghentakkan kakinya dan beranjak meninggalkan kami dengan wajah kesal. Bahkan berhari-hari ibu mendiamkan Mas Reihan hingga aku menangis saat mendengar penuturan jujur Mas Reihan jika ibu marah padanya, tak sudi jika dirinya lebih berpihak padaku dengan membelaku.
"Astaghfirullah! Ibu kekanak-kanakkan sekali." aku hanya bisa beristighfar dalam hati.
Setelah kejadian itu, Mas Reihan tak pernah membelaku lagi di hadapan ibu.
"Kak, tolong setrikain bajuku! Aku buru-buru mau ngampus! Bi Irah lagi bantuin ibu masak!"
Aku menatapnya kesal dan tidak menjawabnya. "Tidak lihat apa, Ren! Raisa lagi nangis? Kamu kan bisa setrika bajumu sendiri!" tolakku sedikit kesal.
Rena langsung menghentakkan kakiknya dengan wajah jutek.
Aku yang masih kerepotan menenangkan Raisa yang tengah rewel, rasanya ingin meledak saat ibu yang tengah bercelemek datang bersama Rena dan menegurku. Rena pasti membumbui ucapannya saat mengadu pada ibu.
"Alina! Kamu semenjak ada Bi Irah jadi manja banget. Sudah berasa jadi tuan putri sekarang? Gak mau bantuin ibu masak, gak mau beres-beres rumah, juga gak mau bantuin adikmu yang cuma minta tolong sedikit!" tuduh ibu dengan sinis. Mata melototnya sudah tampak seperti hendak menelanku.
Aku yang sudah lelah efek begadang semalaman karena Raisa terus rewel, rasanya semakin terbakar emosi. Daripada aku kelepasan berkata kasar, aku berusaha menarik napas agar tetap diam.
Kulihat bibir Rena terangkat sebelah dengan jelas.
"Lagian tuh Raisa perasaan rewel terus, sih!" sinis Rena.
"Lah, ibunya aja yang gak becus momong anak! Ibu aja dulu punya anak dua gak pakai pembantu masih bisa urus rumah dan yang lainnya. Ini yang kerjaannya di rumah cuma urus anak sambil ongkang-ongkang kaki, nenangin anaknya nangis aja gak bisa!" sinis ibu sambil mendelik tajam.
"Iya ya, bu! Parah banget! Kak Lina emang tuan putri, Bu. Putri Lilin!" sindirnya sambil terkikik meremehkan. "Kerjaannya cuma sibuk ngurus anak sendiri sama dirinya sendiri."
Aku mendelik kesal, buru-buru pergi menghindari mereka sambil menggendong Raisa yang masih saja menangis.
Semenjak sering di bentak oleh Mas Reihan dan diceramahi ibu mertua, hidupku rasanya bertambah stress setelah mengurus Raisa yang sering rewel sendirian. Mentalku rasanya melemah hingga kehilangan kemampuan untuk membalas sikap kasar mereka semua terhadapku meskipun sangat ingin melakukannya.
"Ya Allah, aku hanya bisa mengadu kepadamu!"
Setelah rumah sepi. Aku yang sudah lapar dari tadi akhirnya berani keluar kamar setelah memastikan ibu dan Rena pergi.
Aku membuka tudung saji dan bersyukur masih ada dua potong tempe goreng dan sepotong tahu yang tersisa untukku. Aku buru-buru mengambil nasi dalam jumlah banyak untuk kumakan lagi nanti.
Sikap ketus ibu padaku selalu membuatku tak nyaman bahkan untuk pergi ke dapur mengambil sepiring nasi pun aku selalu merasa tak enak hati apalagi saat ada ibu di dapur.
"Loh, Mbak Alina baru mau sarapan?" tanya Bi Irah mengagetkanku. Dia tampak habis menjemur pakaian dengan membawa keranjang pakaian yang telah kosong.
"Iya, Bi! Raisa baru saja tidur. Aku baru sempat mau makan." ucapku sambil tersenyum.
Bi Irah tiba-tiba menggenggam tanganku yang tampak bergetar setelah memindahkan tempe dan tahu ke piring nasiku.
"Sabar ya, mbak!" hiburnya tiba-tiba, membuat air mataku seketika tumpah.
Bi Irah lalu bergegas membuka pintu lemari rak piring dan membawa sekotak tupperware yang terbungkus keresek hitam dengan rapi.
Aku bingung melihatnya saat Bi Irah membukakannya untukku dan menyendokkan tiga potong daging rendang ke piringku.
"Bibi tak sengaja mendengar ucapan Bu Haji Romlah saat memberitahu Non Rena rendangnya disembunyikan dan berpesan jangan sampai Mbak Alin tahu."
Aku tersenyum miris, "Aku tahu, bi! Ibu sering menyembunyikan makanan enak dariku. Tapi aku juga tak berani menyentuhnya jika ibu tak ridho aku menyantapnya!"
"Ya Allah, Mbak Alin!" Bi irah mengusap matanya yang tampak basah. "Mbak Alin kan bagian dari keluarga ini, tentu yang ada di rumah ini, Mbak Alin berhak. Apalagi yang membiayai dapur ini tetap mengepul adalah Mas Reihan, suami Mbak Alina. Andai Mas Reihan tahu, ibunya memperlakukan mbak seperti ini, dia pasti tak terima, mbak..."
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Bi Irah tidak tahu saja bagaimana suamiku bersikap kepadaku. Meski ibunya yang salah, Mas Reihan akan tetap membelanya dan melimpahkan kesalahan padaku.
"Dan andai ibu Mbak Alina tahu bagaimana besannya memperlakukan mbak....." ucap Bi Irah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menangis mendengar nama ibu disebut. Seketika terbayang wajah ibu yang teduh yang selalu lembut dan memanjakanku.
"Dia kan guru ngaji ya, bu! Kok gitu amat sih, kelakuannya!" gosip Bi Irah.
Aku hanya tersenyum mendengarnya, "Hush, tak baik, Bi, menggosipkan orang!"
"Bukan gosip, bu! Ini fakta!" timpalnya ikutan kesal.
"Itu berarti ghibah, bi! Nanti amal kebaikan bibi di tukar tambah sama keburukuan ibu, loh!"
"Ih, amit-amit, Gusti! Gak mau bibi nanggung dosa berat nyakitin hati menantunya!" ucap Bi Irah spontan membuatku tersenyum, sedikit terhibur.
"Ya sudah, jangan, bi! Biarkan saja! Allah tidak tidur, biarkan Allah yang membalasnya."
"Ya Alloh, mbak! Hati mbak terbuat dari apa, sih? beruntung banget Mas Reihan punya istri sebaik dan sesabar mbak yang bisa tahan menghadapi mertua macam nenek sihir!"
Aku tertawa mendengarnya. "Bibi belum tahu saja keburukan aku yang banyak mengeluh!" jawabku merendah.
"Ekhem!"
"Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"
Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya
Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta
"MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan
Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer
"Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah
"Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi
Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka
"Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b