Beranda / Rumah Tangga / Suami Anak Mami / 5. Ajaib, Doaku Terkabul!

Share

5. Ajaib, Doaku Terkabul!

Penulis: Desy Relistia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-14 19:52:14

"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu.

"Aku belum siap-siap, mas!"

"Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan.

"Mau pergi, pah?"

"Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!"

"Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung.

"Ayo, nak! kita ganti baju dulu!"

* * *

"Mas Reihan, terima kasih, banyak!"

"Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..."

"Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!"

"Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup."

"Tidak perlu, mas!"

"Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran."

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!"

"Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia.

Mas Reihan terdiam seperti enggan menanggapinya bahkan sepanjang perjalanan kami pulang tak ada suara yang keluar darinya. Aku mencuri pandang ke arahnya sesekali dan kulihat Mas Reihan hanya sibuk menatap jalanan, fokus menyetir dengan kening berkerut.

Aku tahu Mas Reihan tak pernah berani menolak permintaan ibu. Sepertinya aku harus belajar untuk menerima takdirku tinggal satu atap selamanya dengan ibu mertuaku.

Aku menghela napas panjang saat kedua mataku kembali basah.

"Ya Allah, kuatkan aku! Kaulah pemilik setiap hati, tolong bukakan pintu hati suamiku agar mampu melihat lemahnya diriku di hadapan ibunya hingga aku merasa tertekan tinggal di rumahnya. Tolong, Ya Allah!" lirihku dalam doa yang ku gumamkan dalam hati. Selama ini tempatku bercerita hanya kepada Sang Pemilik Hati.

Aku tak berani bercerita pada ibu karena takut membuatnya sedih dan tak tenang berjauhan dariku. Ibu harus tahu kalau aku baik-baik saja dan aku tak salah pilih telah memilih Mas Reihan sebagai suamiku meski ibu terpaksa merestuinya.

Aku kembali menangis dalam diam. Mengingat setiap kali ibu berkata jika ia sebetulnya berat hati menerima lamaran Mas Reihan sebagai suamiku.

"Oh, Allah, apakah ini dosaku pada ibu karena sudah melawan restunya? Sehingga pernikahanku terasa seberat ini?" lirihku lagi sambil menatap jalanan malam dari kaca jendela mobil, memalingkan wajah dari Mas Reihan yang sebetulnya menyembunyikan air mataku yang mengalir diam-diam.

* * *

Setelah sarapan pagi, rumah kembali heboh dengan teriakan ibu. Ibu bahkan histeris di hadapanku sampai menunjuk-nunjukku dengan kasar.

Sambil menahan tangis, aku meminta Raisa yang tampak bingung dan ketakutan, bersembunyi di belakang tubuhku, untuk mencari Bi Irah di belakang dan pergi jajan.

"Bu, tenang, bu!" ucap Mas Reihan berusaha menuntun ibu agak menjauh dariku dan Raisa.

"Nenek kalau marah seram ya, ma?" lirihnya membuatku memaksakan senyum kepadanya sambil menghapus air mata di wajahku.

"Raisa jajan sama naik odong-odong dulu sama Bi Irah ya, sampai nenek berhenti marah!" pintaku jujur. Kepalang, Raisa sudah lihat neneknya marah-marah.

"Kenapa nenek marah sama mama? Aku jadi takut dan sedih. Nenek nggak boleh marahin mama!" ucapnya lugu membuatku terharu.

Kupeluk tubuhnya yang bergetar karena takut mendengar neneknya berteriak.

"ALINAA!!" teriaknya lagi memanggilku dengan tak sabar.

"Ayo, cepat! Bi Irah lagi jemur di belakang. Pergi ke tokonya lewat belakang aja ya, seram, nenek lagi marah kalau lewat depan!" bisikku membuat Raisa tertawa dan segera berlari tak sabar memanggil-manggil Bi Irah.

"ALINAA!! SINI KAMUU!!" dikte ibu tak sabar.

Aku bergegas mendekati ibu dan duduk di seberangnya.

"Kamu gak punya etika! Ibu lagi bicara malah sibuk ngobrol sama bocah kamu!"

"Dia anakku, bu! Cucu ibu. Tidak sepantasnya ibu marah di depan Raisa sampai dia ketakutan!"

"Oh! Sudah berani jawab ya, sekarang kamu! Bagus!" sinis ibu sambil bersedekap. "Reihan! Lihat dia! Gara-gara kamu mulai manjain dia, sudah gak hormat lagi sama ibu!"

"Bu!"

"REIHAN! Ibu gak sudi kalau kamu lebih bela dia daripada ibu? Mau jadi anak durhaka kamu? Kamu gak akan bisa masuk surga jika ibumu tidak ridho!" pelotot ibu membuat Mas Reihan tertunduk lesu.

"Astaghfirullahal'adzim!" aku hanya menggumamkan istighfar dalam hati berpuluh kali agar tidak terpancing untuk mendebat ibu.

"Dengar, Alina! Ibu gak mau lagi dengar kamu minta anak ibu pergi dari rumah ibu! Jangan kamu coba-coa pisahin ibu dari Reihan!"

"Bu! Aku tidak ada niat mau pisahin Reihan dari ibu sama sekali.... sungguh, bu! Aku hanya...."

"Cukup Alina! Jangan membantah ibu!"

"Kamu itu pakai guna-guna apa sampai Reihan tega mau pergi ninggalin rumah ibu demi kamu?"

"Astaghfirullah, bu! Bukannya ibu lebih paham perkara agama, bu? Kenapa ibu menuduhku dengan keji?" aku tak terima. Tuduhan ibu sudah kelewatan. Ku tatap Mas Reihan yang hanya diam tertunduk, tidak membelaku sama sekali.

"Kalau begitu tetap tinggal disini! Jangan jauhkan Reihan dari ibu!"

"Kenapa ibu bahas itu terus? Aku dan Mas Reihan disini, bu! Tidak kemana-mana. Rumah kontrakan yang sudah di bayar Mas Reihan pun aku bahkan belum melihatnya secara langsung, bu! Kami tetap disini demi menuruti keinginan ibu!" ucapku dengan kesal sampai tak sadar intonasiku meninggi.

"Reihan! Alina bahkan sudah kurang ajar, berani berteriak di depan wajah ibu! Kamu didik istrimu gimana, sih?" ucap ibu sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia lalu pergi meninggalkan kami berdua dengan hati dongkol.

"Mas, jelaskan!" tanyaku beralih padanya dengan tak sabar.

"Aku izin pada ibu untuk tinggal di rumah kontrakan kita hari ini. Tapi ibu tiba-tiba meledak...."

"Ya Allah, mas!" entah aku merasakan apa saat mendengarnya. Senangkah karena Mas Reihan telah berupaya untuk mengabulkan keinginanku untuk tinggal terpisah dengan ibu? Tapi hatiku yang masih dongkol dan juga ibu yang keras kepala dan egois membuat semua rasa senangku seolah menguap bahkan sebelum sampai ke hatiku.

"Kamu lihat sendiri kan, Lin? Gimana kerasnya ibu?"

"Iya, mas! Ya sudah, tidak perlu bahas rumah kontrakan lagi! ucapku setengah hati sambil lalu.

Jujur, aku masih kesal dengan Mas Reihan! Dia selalu mati kutu di hadapan ibu. Ibu juga, pendakwah tapi posesif banget sama Mas Reihan. Bukankah setelah menikah, seorang suami punya kewajiban untuk menggauli istrinya dengan baik? Menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk istri dan anak-anaknya? Sedangkan aku tertekan dengan sikap ibu disini. Andai ibu bersikap baik dan ramah kepadaku, mungkin aku akan bahagia dan tenang tinggal disini.

Kusentuh air yang terasa dingin ditanganku. Kubilas wajah, lengan sampai sikut, kepala, dan kakiku hingga terasa segar dan sejuk hingga ke hati. Ku gelar sajadah, menunaikan sunnah duha dua rakaat dan menangis dengan puas dalam sujud terakhirku. Mengadu kepada Tuhan, Sang Pemilik Hati.

* * *

Hari-hari berlalu. Mas Reihan akhirnya sakit, ibu pun sibuk hilir mudik ke kamarku untuk merawatnya. Ibu tidak mengizinkan aku sama sekali mendekatinya kecuali saat malam atau saat ibu pergi ke pengajian.

Tiga hari Mas Reihan terbaring di tempat tidur dan ibu lah yang sibuk merawatnya. Sebetulnya aku merasa menjadi istri yang tidak tahu diri, suami sakit, ibu mertua yang sibuk mengurusnya. Tapi ya sudahlah, itu keinginan ibu dan ibu selalu melotot jika aku bertanya pada Mas Reihan jika ia perlu sesuatu atau ingin dibuatkan sesuatu.

Ajaib. Doaku hari ini terkabul. Tanpa hujan tanpa angin, setelah Mas Reihan sedikit membaik dan kembali masuk kerja, ibu mengizinkan kami pindah ke rumah kontrakan kami.

Aku bahkan berterima kasih berkali-kali pada ibu, tak peduli dengan tatapan sinis ibu jika dia mengizinkan pindah bukan karena aku tapi demi kebaikan putra kesayangannya agar tidak capek di perjalanan dari tempat kerja ke rumah.

"Janji ya, tiap kamu libur kerja pulang dan nginap disini!"

"Iya, bu! Insya Allah!"

"Ingat juga, pesan ibu!"

"Pesan ibu? Yang mana?" tanya Mas Reihan tampak bingung.

"Yang itu!" jawab ibu menatapku dengan sinis, seolah aku tak boleh tahu tentang isi pesannya.

Ibu lalu berbisik di telinga Mas Reihan sambil menatapku tajam. Membuatku curiga jangan-jangan isi pesannya membahas tentang aku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Anak Mami   31. Maaf, Bu!

    "Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"

  • Suami Anak Mami   30. Terulang Lagi

    Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya

  • Suami Anak Mami   29. Kegelisahan

    Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta

  • Suami Anak Mami   28. Gugurkan!

    "MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan

  • Suami Anak Mami   27. Kamu Hamil Anak Siapa?

    Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer

  • Suami Anak Mami   26. Cemburu

    "Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah

  • Suami Anak Mami   25. Bertahan Karena Allah

    "Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi

  • Suami Anak Mami   24. Tak Ada yang Benar-Benar Peduli Padaku

    Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka

  • Suami Anak Mami   23. Aku yang Salah dan Bodoh

    "Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status