Share

5. Ajaib, Doaku Terkabul!

"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu.

"Aku belum siap-siap, mas!"

"Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan.

"Mau pergi, pah?"

"Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!"

"Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung.

"Ayo, nak! kita ganti baju dulu!"

* * *

"Mas Reihan, terima kasih, banyak!"

"Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..."

"Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!"

"Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup."

"Tidak perlu, mas!"

"Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran."

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!"

"Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia.

Mas Reihan terdiam seperti enggan menanggapinya bahkan sepanjang perjalanan kami pulang tak ada suara yang keluar darinya. Aku mencuri pandang ke arahnya sesekali dan kulihat Mas Reihan hanya sibuk menatap jalanan, fokus menyetir dengan kening berkerut.

Aku tahu Mas Reihan tak pernah berani menolak permintaan ibu. Sepertinya aku harus belajar untuk menerima takdirku tinggal satu atap selamanya dengan ibu mertuaku.

Aku menghela napas panjang saat kedua mataku kembali basah.

"Ya Allah, kuatkan aku! Kaulah pemilik setiap hati, tolong bukakan pintu hati suamiku agar mampu melihat lemahnya diriku di hadapan ibunya hingga aku merasa tertekan tinggal di rumahnya. Tolong, Ya Allah!" lirihku dalam doa yang ku gumamkan dalam hati. Selama ini tempatku bercerita hanya kepada Sang Pemilik Hati.

Aku tak berani bercerita pada ibu karena takut membuatnya sedih dan tak tenang berjauhan dariku. Ibu harus tahu kalau aku baik-baik saja dan aku tak salah pilih telah memilih Mas Reihan sebagai suamiku meski ibu terpaksa merestuinya.

Aku kembali menangis dalam diam. Mengingat setiap kali ibu berkata jika ia sebetulnya berat hati menerima lamaran Mas Reihan sebagai suamiku.

"Oh, Allah, apakah ini dosaku pada ibu karena sudah melawan restunya? Sehingga pernikahanku terasa seberat ini?" lirihku lagi sambil menatap jalanan malam dari kaca jendela mobil, memalingkan wajah dari Mas Reihan yang sebetulnya menyembunyikan air mataku yang mengalir diam-diam.

* * *

Setelah sarapan pagi, rumah kembali heboh dengan teriakan ibu. Ibu bahkan histeris di hadapanku sampai menunjuk-nunjukku dengan kasar.

Sambil menahan tangis, aku meminta Raisa yang tampak bingung dan ketakutan, bersembunyi di belakang tubuhku, untuk mencari Bi Irah di belakang dan pergi jajan.

"Bu, tenang, bu!" ucap Mas Reihan berusaha menuntun ibu agak menjauh dariku dan Raisa.

"Nenek kalau marah seram ya, ma?" lirihnya membuatku memaksakan senyum kepadanya sambil menghapus air mata di wajahku.

"Raisa jajan sama naik odong-odong dulu sama Bi Irah ya, sampai nenek berhenti marah!" pintaku jujur. Kepalang, Raisa sudah lihat neneknya marah-marah.

"Kenapa nenek marah sama mama? Aku jadi takut dan sedih. Nenek nggak boleh marahin mama!" ucapnya lugu membuatku terharu.

Kupeluk tubuhnya yang bergetar karena takut mendengar neneknya berteriak.

"ALINAA!!" teriaknya lagi memanggilku dengan tak sabar.

"Ayo, cepat! Bi Irah lagi jemur di belakang. Pergi ke tokonya lewat belakang aja ya, seram, nenek lagi marah kalau lewat depan!" bisikku membuat Raisa tertawa dan segera berlari tak sabar memanggil-manggil Bi Irah.

"ALINAA!! SINI KAMUU!!" dikte ibu tak sabar.

Aku bergegas mendekati ibu dan duduk di seberangnya.

"Kamu gak punya etika! Ibu lagi bicara malah sibuk ngobrol sama bocah kamu!"

"Dia anakku, bu! Cucu ibu. Tidak sepantasnya ibu marah di depan Raisa sampai dia ketakutan!"

"Oh! Sudah berani jawab ya, sekarang kamu! Bagus!" sinis ibu sambil bersedekap. "Reihan! Lihat dia! Gara-gara kamu mulai manjain dia, sudah gak hormat lagi sama ibu!"

"Bu!"

"REIHAN! Ibu gak sudi kalau kamu lebih bela dia daripada ibu? Mau jadi anak durhaka kamu? Kamu gak akan bisa masuk surga jika ibumu tidak ridho!" pelotot ibu membuat Mas Reihan tertunduk lesu.

"Astaghfirullahal'adzim!" aku hanya menggumamkan istighfar dalam hati berpuluh kali agar tidak terpancing untuk mendebat ibu.

"Dengar, Alina! Ibu gak mau lagi dengar kamu minta anak ibu pergi dari rumah ibu! Jangan kamu coba-coa pisahin ibu dari Reihan!"

"Bu! Aku tidak ada niat mau pisahin Reihan dari ibu sama sekali.... sungguh, bu! Aku hanya...."

"Cukup Alina! Jangan membantah ibu!"

"Kamu itu pakai guna-guna apa sampai Reihan tega mau pergi ninggalin rumah ibu demi kamu?"

"Astaghfirullah, bu! Bukannya ibu lebih paham perkara agama, bu? Kenapa ibu menuduhku dengan keji?" aku tak terima. Tuduhan ibu sudah kelewatan. Ku tatap Mas Reihan yang hanya diam tertunduk, tidak membelaku sama sekali.

"Kalau begitu tetap tinggal disini! Jangan jauhkan Reihan dari ibu!"

"Kenapa ibu bahas itu terus? Aku dan Mas Reihan disini, bu! Tidak kemana-mana. Rumah kontrakan yang sudah di bayar Mas Reihan pun aku bahkan belum melihatnya secara langsung, bu! Kami tetap disini demi menuruti keinginan ibu!" ucapku dengan kesal sampai tak sadar intonasiku meninggi.

"Reihan! Alina bahkan sudah kurang ajar, berani berteriak di depan wajah ibu! Kamu didik istrimu gimana, sih?" ucap ibu sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia lalu pergi meninggalkan kami berdua dengan hati dongkol.

"Mas, jelaskan!" tanyaku beralih padanya dengan tak sabar.

"Aku izin pada ibu untuk tinggal di rumah kontrakan kita hari ini. Tapi ibu tiba-tiba meledak...."

"Ya Allah, mas!" entah aku merasakan apa saat mendengarnya. Senangkah karena Mas Reihan telah berupaya untuk mengabulkan keinginanku untuk tinggal terpisah dengan ibu? Tapi hatiku yang masih dongkol dan juga ibu yang keras kepala dan egois membuat semua rasa senangku seolah menguap bahkan sebelum sampai ke hatiku.

"Kamu lihat sendiri kan, Lin? Gimana kerasnya ibu?"

"Iya, mas! Ya sudah, tidak perlu bahas rumah kontrakan lagi! ucapku setengah hati sambil lalu.

Jujur, aku masih kesal dengan Mas Reihan! Dia selalu mati kutu di hadapan ibu. Ibu juga, pendakwah tapi posesif banget sama Mas Reihan. Bukankah setelah menikah, seorang suami punya kewajiban untuk menggauli istrinya dengan baik? Menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk istri dan anak-anaknya? Sedangkan aku tertekan dengan sikap ibu disini. Andai ibu bersikap baik dan ramah kepadaku, mungkin aku akan bahagia dan tenang tinggal disini.

Kusentuh air yang terasa dingin ditanganku. Kubilas wajah, lengan sampai sikut, kepala, dan kakiku hingga terasa segar dan sejuk hingga ke hati. Ku gelar sajadah, menunaikan sunnah duha dua rakaat dan menangis dengan puas dalam sujud terakhirku. Mengadu kepada Tuhan, Sang Pemilik Hati.

* * *

Hari-hari berlalu. Mas Reihan akhirnya sakit, ibu pun sibuk hilir mudik ke kamarku untuk merawatnya. Ibu tidak mengizinkan aku sama sekali mendekatinya kecuali saat malam atau saat ibu pergi ke pengajian.

Tiga hari Mas Reihan terbaring di tempat tidur dan ibu lah yang sibuk merawatnya. Sebetulnya aku merasa menjadi istri yang tidak tahu diri, suami sakit, ibu mertua yang sibuk mengurusnya. Tapi ya sudahlah, itu keinginan ibu dan ibu selalu melotot jika aku bertanya pada Mas Reihan jika ia perlu sesuatu atau ingin dibuatkan sesuatu.

Ajaib. Doaku hari ini terkabul. Tanpa hujan tanpa angin, setelah Mas Reihan sedikit membaik dan kembali masuk kerja, ibu mengizinkan kami pindah ke rumah kontrakan kami.

Aku bahkan berterima kasih berkali-kali pada ibu, tak peduli dengan tatapan sinis ibu jika dia mengizinkan pindah bukan karena aku tapi demi kebaikan putra kesayangannya agar tidak capek di perjalanan dari tempat kerja ke rumah.

"Janji ya, tiap kamu libur kerja pulang dan nginap disini!"

"Iya, bu! Insya Allah!"

"Ingat juga, pesan ibu!"

"Pesan ibu? Yang mana?" tanya Mas Reihan tampak bingung.

"Yang itu!" jawab ibu menatapku dengan sinis, seolah aku tak boleh tahu tentang isi pesannya.

Ibu lalu berbisik di telinga Mas Reihan sambil menatapku tajam. Membuatku curiga jangan-jangan isi pesannya membahas tentang aku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status