Beranda / Rumah Tangga / Suami Anak Mami / 6. Pagi yang Baru

Share

6. Pagi yang Baru

Penulis: Desy Relistia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-05 21:59:42

Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis.

"Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah.

Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya.

Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu.

"Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku.

"Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!"

"Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya.

"Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang."

"Alhamdulillah, syukurlah kalau gitu mas, ibu nggak sendirian!"

Mas Reihan hanya mengangguk menanggapinya.

"Emh, mas, kalau boleh tahu ibu tadi pesan apa? Kok sampai bisik-bisik segala?" tanyaku penasaran.

"Oh, itu! Ibu minta aku jangan terlalu baik dan perhatian sama kamu nanti kamu ngelunjak katanya!" ucap Mas Reihan datar seolah tanpa beban.

"APA MAS?" seruku dengan dada memanas. "Kok bisa ibu berpesan begitu?" Jelas, aku merasa ibu tak adil padaku.

"Kan kamu kalau takut, nggak akan berani bantah dan manut-manut aja! Nah ibu minta aku didik kamu jadi istri penurut!" jelasnya datar.

Dadaku langsung bergemuruh. Tak habis pikir dengan ibu mertuaku yang sampai hati punya pikiran seperti itu? Ibu kan perempuan, tidakkah ibu bisa peka dan mampu meraba perasaan sesama perempuan?

"Ibu kok tega sih, mas, bilang begitu?" sesalku kecewa setengah mati. Padahal baru saja aku bersimpati padanya.

"Udah biarin aja! Nanti lagi kalau ibu minta apa-apa sama kamu, kamu nurut aja. Kamu harus belajar buat bisa ambil hati ibu, Lin!"

Aku cemberut mendengar Mas Reihan lebih membela ibu dibanding aku. Padahal jelas-jelas disini aku yang jadi korban! Tapi sudahlah, kadang Mas Reihan sama ibu sama saja. Berdebat dengan mereka yang ada membuatku terlihat semakin salah.

* * *

Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Beres-beres rumah dengan semangat, masak dengan semangat, semuanya seperti aku melakukannya dengan senang hati. Tidak seperti saat di rumah ibu aku melakukannya karena ada rasa segan dan tak enak sama ibu.

"Ceria banget!" tanya Mas Reihan melihat wajahku sumringah seperti bunga yang baru mekar.

Aku hanya tersenyum lebar menjawabnya.

"Gitu dong, ceria! Aku jadi tambah semangat lihat kamu senyum!" ucap Mas Reihan jujur.

Mas Reihan tidak pernah menggombal. Apa yang diucapkannya selalu jujur menyampaikan isi hatinya. Bahkan Mas Reihan selalu jujur saat aku bertanya tentang apapun. Termasuk pertanyaan satu ini yang sering membuatku dongkol.

"Apa ibu tadi menjelekkan aku lagi, mas?"

"Iya, katanya kamu lelet dan agak telmi (telat mikir) kalau disuruh racik bumbu masak." ucapnya datar.

Aku cemberut dan dongkol.

"Ibu tadi ngomongin aku, mas?"

"Iya, katanya kamu lelet kalau beres-beres rumah dan masih kelihatan berantakan!" jawabnya jujur.

Aku cemberut lagi dan kesal.

"Ibu bilang apa, mas?"

"Jangan manjain kamu, nanti kamu manja dan ngelunjak! Sekarang aja ibu kasih tahu udah berani bantah!" jawab Mas Reihan apa adanya membuat dadaku kembang-kempis menahan emosi.

Mengingat kejujurannya yang terlalu apa adanya, aku jadi penasaran dan ingin bertanya lagi padanya, "Memang wajahku biasanya gimana, mas?"

"Cemberut, merajuk, atau nangis mulu. Pokoknya bikin aku kadang lihat kamu jadi badmood!"

"Yang benar, mas?" tanyaku merasa bodoh.

"Iya, aku lebih suka lihat wajah kamu yang ceria seperti sekarang!" ucapnya datar, tak ada maksud memuji, tapi sukses bikin hatiku melayang.

"Mas mau makan sekarang?"

"Boleh! Kamu masak apa?"

"Sop Iga!"

"Wah mantap, mau dong!"

"Raisa, sayang, ayo, makan sama-sama!"

"Oke, mama!" jawab Raisa yang tengah anteng mewarnai buku bergambarnya yang baru.

Aku pun menyendokkan nasi ke piring suamiku dan ke piringku. Aku selalu makan sepiring berdua dengan Raisa.

Aku tersenyum tanpa henti, hampir empat tahun aku menanti momen indah seperti saat ini. Bertiga di meja makan, suami dan anakku lahap menikmati masakanku dan berceloteh sambil tertawa riang. Oh, indahnya... mimpiku yang sederhana akhirnya terwujud saat ini dan aku sangat bahagia.

"Emh!" seru Mas Reihan dan juga Raisa hampir bersamaan.

"Kenapa mas?"

"Aneh!" serunya sambil tertawa.

"Asin banget!" ungkap Raisa.

Aku pun penasaran mencobanya. Perasaan tadi rasanya udah pas, cuma waktu aku tambahin merica, tak sengaja kebanyakan jadi terpaksa kutambahkan gula cukup banyak buat ngurangin rasa pedasnya. Eh, malah rasanya berubah manis. Terus kutambahkan garam dan bumbu kaldu agak banyak untuk mensiasatinya.

"Asin! Aneh!" seruku lagi dengan kening berkerut. Lidahku bahkan terasa masih kesat saking asinnya masakanku yang rasanya berubah nano-nano. Jauh dari rasa khas sop iga yang enak buatan ibu mertua.

"Maaf, mas!" kataku dengan rasa bersalah.

"Iya, nggak apa-apa! Makanya kamu harus mau belajar masak sama ibu!" sarannya membuatku cemberut. 'Bisa nggak sih mas, jangan bahas ibu dulu untuk saat ini?' kesalku dalam hati.

Tapi Mas Reihan membuatku terharu, ia tetap memakannya meskipun rasanya aneh dan keasinan. Raisa bahkan tidak mau memakannya lagi. Dia memintaku menggorengkan telor pecah (telor mata sapi setengah matang yang bisa ia pecahkan kuning telurnya)  untuk sarapannya.

Melihat ekspresi wajah Mas Reihan yang meringis menahan asin berkali-kali membuatku merasa bersalah.

"Udah mas, jangan dimakan lagi! Ini kan nggak enak!" ucapku merasa tak enak hati.

Mas Reihan hanya tersenyum, mencegah tanganku menarik piringnya hingga ia melahap habis semua nasi.

"Makasih ya, Lin! Besok-besok kurangin garamnya sama di-pas-in rasanya he... he... "

"Iya, mas! Nanti aku masak yang enak buat kamu. Aku kapok ngeracun kamu makanan 'aneh' lagi!" timpalku membuat Mas Reihan tertawa.

"Nanti kamu nggak usah masak, besok pagi aja! Buat makan malam aku bawain, ya?"

"Iya, mas! Makasih, ya!"

"Raisa, papa kerja dulu, ya!" pamitnya sambil melambaikan tangan pada Raisa.

"Hati-hati, mas!" pesanku sambil mengecup punggung tangannya dan melepas kepergiannya di pintu.

"Dadah, papa!" teriak Raisa sambil melambaikan tangannya.

Aku lantas menuntun Raisa ke ambang pintu, melambaikan tangan sekali lagi kepada Mas Reihan yang makin menjauh dari pekarangan rumah bersama roda besi yang ia kemudikan.

Desy Relistia

Hai Readers, jangan lupa vote dan kasih dukungan lewat komentar ya! Jejakmu di komentar sangat berarti sebagai penyemangat ribuan ide brilian di kepala author. Thank you, yaa ^;^

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Anak Mami   31. Maaf, Bu!

    "Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"

  • Suami Anak Mami   30. Terulang Lagi

    Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya

  • Suami Anak Mami   29. Kegelisahan

    Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta

  • Suami Anak Mami   28. Gugurkan!

    "MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan

  • Suami Anak Mami   27. Kamu Hamil Anak Siapa?

    Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer

  • Suami Anak Mami   26. Cemburu

    "Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah

  • Suami Anak Mami   25. Bertahan Karena Allah

    "Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi

  • Suami Anak Mami   24. Tak Ada yang Benar-Benar Peduli Padaku

    Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka

  • Suami Anak Mami   23. Aku yang Salah dan Bodoh

    "Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status