“Sayang, akhirnya kita bertemu lagi!” tukas Harvey sambil menatap lurus pada Annelies.
“Sayang, aku sangat merindukanmu.” Samantha menyambar dengan suara yang dibuat imut.
Dia menghampiri Harvey dengan kening mengernyit. “Kau terluka? Apa yang terjadi padamu?”
Samantha menjulurkan tangan, hendak memeriksa luka di bibir dan sekitar pelipis Harvey. Namun, pria itu langsung menahan tangannya.
“Ini luka kecil saat dinas di luar kota. Aku sangat merindukanmu, Sayang,” balas Harvey yang lantas memeluk Samantha.
“Astaga, baru beberapa hari jauh dariku, kau langsung terluka. Aku mencemaskanmu,” sahut wanita itu menekuk bibirnya sedih.
Meski Harvey mendekap dan membelai punggung Samantha, tapi sorot matanya masih terpaku pada Annelies yang berada di belakang tunangannya. Tatapannya itu seolah membayangkan bahwa wanita yang dipeluknya adalah Annelies.
‘Kenapa luka Harvey sama persis dengan luka pria miesterius yang menemuiku di rumah sakit tadi malam?’ batin Annelies dengan manik gemetar. ‘Sial! Apa Harvey yang melakukannya?!’
Dirinya kian terbelalak saat Harvey tersenyum miring padanya. Itu membuat Annelies menguatkan dugaannya.
‘Aku akan mencari tahu. Tapi sebelum itu, aku harus keluar dari mansion ini dan menghindari Kak Logan!’ sambung Annelies membatin, lalu naik ke kamarnya di lantai atas.
Dia buru-buru mengemasi barang dan beberapa dokumen penting untuk pekerjaannya. Namun, tanpa diduga ada seseorang yang mengetuk pintu.
Annelies seketika tersentak begitu Harvey muncul di sana.
“Untuk apa kau ke sini?!” decaknya waspada.
“Apa kabar, Annelies?”
“Keluar!” sambar Annelies tegas, tapi Harvey justru berjalan mendekat.
Pria itu melirik barang-barang Annelies di koper, lalu berkata, “aku turut berduka atas kepergian Paman Feanton. Aku juga sedih mendengar kabarmu yang depresi sampai masuk rumah sakit jiwa.”
“Harvey, sebaiknya kau diam dan enyahlah. Aku tidak ada waktu meladenimu!” sahut Annelies memicing tajam.
“Annelies, aku tahu semuanya. Kau butuh calon suami ‘kan?” Harvey menyambar hingga membuat Annelies mengernyit.
Pria itu meraih tangan Annelies dan melanjutkan. “Paman Feanton mewariskan semuanya padamu, tapi kau harus menikah dalam waktu enam bulan ini untuk mengambil hak warismu. Bagaimana jika kau memilihku?”
Annelies sontak menghempas tangan Harvey, tapi pria itu semakin mengikis jarak hingga menghimpit Annelies di dinding. Tangannya membelai wajah Annelies seiring senyumnya yang menjijikkan. Dari jarak sedekat itu, Annelies bisa memastikan luka Harvey. Tidak salah lagi, itu luka karena perbuatannya!
Gigi wanita itu menggertak seraya mendengus, “ternyata itu kau! Kau mendatangiku di rumah sakit dan melecehkanku!”
Manik Harvey berubah selebar cakram, tapi itu tak menyurutkan senyum iblisnya.
“Annelies, kau sendiri tahu betapa aku mencintaimu sejak lama, bahkan ….”
Belum tuntas ucapan Hervey, tiba-tiba Annlies mendorongnya dan langsung melayangkan tamparan keras.
Namun, tanpa diduga, Samantha yang sejak tadi melihat mereka dari depan kamar, langsung masuk dan menggampar wajah Annelies dengan kencang.
“Jalang sialan! Beraninya kau menggoda tunanganku!” dengus Samantha penuh amukan.
Annelies memegangi pipinya yang berdenyut, lalu menyibak rambutnya yang berantakan di depan wajah.
“Kau buta?! Harvey yang masuk ke sini dan berusaha melecehkanku!” sambar Annelies berang.
Alih-alih percaya, Samantha malah menjambak rambut Annelies sampai wanita itu mendongak kesakitan.
“Lepaskan aku, Samantha!” decaknya dengan gigi terkatup, tapi keponakannya itu tak menggubris.
“Harvey tidak meladeni jalang sepertimu! Jelas kaulah yang menggodanya!” Samantha menarik rambut Annelies lebih kuat.
Annelies yang kesakitan pun barusaha membalas jambakan, tapi kuku tangannya tak sengaja mencakar wajah Samantha hingga berdarah.
“Argh!” Samantha sontak menjerit dan mendorong Annelies.
Sialnya, Annelies malah ambruk dan menghantam guci di nakas. Pecahan guci itu tak sengaja mengenai kaki Annelies hingga gelenyar merah mengalir dari betisnya.
“Argh … wajahku!” Samantha meraung kencang sambil memegangi pipinya yang berdarah.
Harvey yang sejak tadi diam, kini menghampiri Samantha. “Sayang, kau terluka.”
“Sayang, bagaimana ini? Ahh … sakit sekali.” Samantha mengerang.
Karena keributan itu, Logan dan istrinya-Grace, mendatangi kamar Annelies.
“Apa yang terjadi?!” decak Grace melotot tajam melihat kekacauan di sana.
Samantha berpaling dan mengadu, “Mommy! Lihatlah, Bibi Annelies menyerangku!”
Logan yang mendapati wajah putrinya terluka, langsung tercengang.
“Astaga, wajahmu terluka, Sayang. Bagaimana ini bisa terjadi?” tukas Grace yang lantas melirik Annelies jijik. “Kenapa wanita gila itu bisa kabur dari rumah sakit jiwa?!”
“Aku tidak tahu, Mommy. Tiba-tiba Bibi Annelies datang ke sini dan berusaha menggoda Harvey. Tapi saat aku memergokinya, dia malah menyerangku seperti hewan liar!”
Annelies menyeringai mendengar omong kosong Samantha yang berlebihan. Jelas sekali keponakannya itu yang memukulnya lebih dulu.
“Kau tertawa?” Logan mendecak dingin melihat senyum miring Annelies. “Kau tertawa setelah menyakiti putriku?!”
“Daddy, Bibi Annelies sangat berbahaya!” Samantha terus membakar amarah Logan.
“Kemarilah, jalang gila! Kau memang harus dikurung agar tidak menyerang orang!” Logan merengkuh tangan Annelies dan menariknya dengan kasar.
“Lepaskan aku, Kak Logan! Aku tidak gila!” sentak Annelies memberontak.
Logan menyeretnya keluar, tapi Annelies berpegangan kuat pada pintu dan menghempas tangan Logan agar melepasnya.
“Aku bilang lepas! Aku tidak gila! Kak Logan yang menjebakku masuk rumah sakit jiwa, agar bisa menguasai warisan Ayah ‘kan?!” dengus Annelies berapi-api.
Alih-alih membalas, justru tamparan keras yang melayang di wajah Annelies. Rasa perih yang berdenyut-denyut membuat pipinya merah, bahkan gelenyar darah merembes dari sudut mulutnya.
“Rupanya otakmu sudah membusuk, sampai tak bisa berpikir. Kau anak haram, memangnya pantas menerima warisan ayahku, hah?! Harusnya kau tahu diri, Annelies!” sambar Logan tajam.
Leher Annelies menegang, tapi dia dengan berani membantah, “memang Kakak sendiri layak? Ayah tidak percaya pada Kakak, dan malah mewariskan segalanya padaku … ugh!”
Belum tuntas ucapan Annelies, mendadak Logan mencengkeram lehernya dan mendorongnya hingga menatap pintu.
“Katakan sekali lagi, maka aku akan membunuhmu!” Logan mengancam tegas.
“Surat wasiat Ayah tidak bisa berbohong!” sahut Annelies dengan manik gemetar.
Alis Logan menyatu dan membalas, “persetan dengan surat wasiat! Kau tidak akan mampu memenuhi syarat pernikahan di surat wasiat itu, karena akan membusuk di rumah sakit jiwa!”
“Aku bisa! Aku sudah punya calon suami dan kami akan menikah!” sahut Annelies dengan gigi terkatup.
“A-apa kau bilang?!”
“Aku yang akan membawa keranjang ini untuk Bibi Cloe!” Gadis kecil itu berujar tegas. Dia berbalik, bermaksud pergi. Tapi Ditrian langsung menahan bahunya, hingga anak perempuan tadi berhenti. “Aku yang melihatnya lebih dulu. Jadi berikan padaku!” tukas Ditrian dengan tekanan di akhir katanya. Lawan bincangnya menoleh dan lantas membantah, “kau tidak dengar? Keranjang bunga untuk anak perempuan. Memang kau perempuan?!”Tangannya menepis pegangan Ditrian, lalu mengamati anak laki-laki itu sambil tersenyum miring. “Yah … karena kau merengek terus, kau memang mirip anak perempuan,” ujarnya yang lantas menyodorkan keranjang bunga itu. “Ambillah kalau kau mau!”Alih-alih meraihnya, Ditrian justru bungkam seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ya, dia pernah melihat Dan Theo melakukan itu saat bicara dengan bodyguardnya.“Anak kecil, siapa namamu?” Ditrian bertanya penasaran.“Hah! Anak kecil?!” Gadis tadi menyahut sambil merapatkan alis. “Aku saja lebih tinggi darimu. Beraninya
“Hah!” Annelies bergegas mendorong Dan Theo agar menjauh darinya. Meski gerakan itu tiba-tiba, tapi Dan Theo bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tak sampai terhuyung. ‘Aish!’ Pria tersebut mendesis dalam batin sambil mengusap dagunya. “Ada apa dengan wajah Mommy? Apa Mommy sakit?” Ditrian bertanya dengan polosnya saat mengamati ekspresi buncah sang ibu. Annelies seketika mengubah iras mukanya. Dia tersenyum, sambil membenarkan posisi dasi kupu-kupu kecil yang berada di kerah putranya. “Mommy tidak apa-apa, Ian,” tukas Annelies yang kini berjongkok setinggi putranya. “Oho … putra Mommy sangat tampan dengan pakaian ini!” Ya, bocah lima tahun itu memang tampak menawan. Terlebih caranya melirik dan berucap sangat mirip Dan Theo. Sungguh menggemaskan. Tangan mungil Ditrian menjulur, coba memeriksa kening Annelies di hadapannya. “Tubuh Mommy tidak panas. Mommy tidak demam,” katanya. Sial, tindakan anak laki-laki itu benar-benar di luar bayangan Dan Theo. Dia yang sejak tadi me
***San Carlo, musim semi.“Dan Theo, lihat aku. Apa gaun ini cocok untukku?” Annelies bertanya sambil menyelipkan anakan rambut ke telinga.Sang suami yang tengah menata dasi di depan cermin, lantas mengangkat pandangan. Dari pantulan kaca, jelas sekali istrinya tampak memesona. Tapi perhatian pria itu seketika terganggu, saat mengamati belahan dada Annelies yang terpampang jelas.“Ini gaun karya Fashion Designer terkenal Jenny Shu. Aku beruntung bisa mendapatkan edisi terbatas dari koleksi ‘Cinta Musim Panas’ ini!” sambung Annelies masih menantikan pendapat suaminya.Dan Theo menarik seringai tipis, lalu menimpali pelan. “Jenny Shu, ya? Sepertinya aku harus mendatangi Fashion Designer itu dan mengajarinya cara membuat pakaian dengan benar!”“Heuh? Kau bilang apa?” Annelies mengernyit karena tak mendengar kata-kata Dan Theo dengan jelas.Sang suami kini berbalik. Dia mendekati Annelies dengan raut wajah datar. Irisnya mengamati Annelies dari atas sampai bawah dengan serius.“Gaunnya
Dan Theo meraih tangan Annelies sembari berujar, “kau akan tau setelah melihatnya, istriku.”Dia pun menarik Annelies mangkir dari belakang vila Serena itu. Annelies jadi kian penasaran sebab Dan Theo membawanya keluar area vila.“Dan Theo, sebenarnya kita mau ke mana?” Annelies bertanya sambil membenarkan cardigannya yang melorot.Sang suami yang melihatnya jadi menghentikan langkah. Dia membantu wanita itu merapikan pakaiannya yang tipis. Dia menilik sampai ke kaki istrinya dan menyadari bahwa Annelies hanya mengenakan sandal rumah.Tanpa menjelaskan tempat tujuannya, Dan Theo malah berbalik lalu berjongkok di depan Annelies.“Naiklah, istriku,” katanya yang bermaksud menggendong Annelies ke punggungnya.“Aku bukan anak kecil!” sahut sang wanita tersenyum miring.Akan tetapi Dan Theo tetap mempertahankan posisi itu, hingga membuat Annelies naik ke punggungnya.“Jangan bilang aku berat!” Annelies mendecak sebelum suaminya tersebut protes.Dan Theo tersenyum miring, lalu menimpali, “si
“Istriku.” Dan Theo memanggil selaras dengan langkahnya yang kini mendekati Annelies.Tangannya merengkuh pinggang wanita itu, lalu bertanya, “kau menyukainya? Karena waktunya singkat, kami hanya menata lampu-lampu yang sudah ada.”Annelies memindai sekitar, sepasang manik hazelnya berbinar melihat beberapa lampion berbentuk panjang khas Ceko yang terpajang di beberapa pagar. Ada juga yang menggantung di dekat taman. Sungguh, tempat itu semakin memukau dan suasana pun berubah hangat.“Sangat indah, suamiku.” Annelies membalas saat menoleh pada Dan Theo.“Setiap akhir musim panas, ada festival delle Lanterne. Orang-orang Ceko akan menerbangkan lampion seperti itu di pinggir pantai.” Serena yang berada di belakang, kini buka suara.Annelies beralih menatapnya, sembari bertanya, “benarkah? Aku baru mendengarnya, Ibu.”“Ya, sebab itu Ibu selalu menyiapkan banyak lampion saat mendekati hari festival. Kalian beruntung datang sebelum akhir musim panas. Nanti kita semua bisa datang ke festiv
“Kaelus? Apa yang terjadi pada wajahnya?” Cloe berujar dengan alis bertaut. Annelies yang mengerti kecemasannya pun mundur, seraya berkata, “kalian bicaralah, kami akan masuk dulu.”Begitu lawan bincangnya mengangguk, Annelies dan yang lainnya beranjak ke dalam vila. Serena berjalan di depan sambil menggendong Ditrian.Tapi saat tiba di dekat pintu, dia lantas bicara pada anak buahnya, “tambah penjagaan di vila ini, terutama malam hari!”“Baik, Ketua!” balas anteknya sigap. Sementara di luar, Cloe menghampiri Kaelus dengan iras muka cemasnya. “Kau terluka?” katanya saat berhenti di hadapan pria tersebut.Bukannya menimpali dengan ucapan, Kaelus justru memeluk Cloe dengan hangat. Dekapannya semakin erat seakan menyalurkan seluruh rindu yang tertahan berbulan-bulan.“Kaelus, kau dengar aku? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wajahmu jadi seperti ini?” tukas Cloe lagi.“Ehei … kita baru bertemu, tapi kau sudah mengomeliku?” sahut pria itu protes.Cloe mengembuskan napas panjang, tang