POV Dina.
Aku tersentak kaget saat Kak Renata menyebutkan jumlah barang dan uang yang aku dan Ibu ambil dari butiknya.
Padahal aku hanya mengambil beberapa tas dan gaun saja. Dan Ibu pun sepertinya mengambil uang cash dibawah sepuluh juta saja. Aku tidak bisa diam saja kayak gini, aku harus membela diri dan ibu. kalau aku diam saja berarti aku membenarkan apa yang dikatakan istri kakakku ini.
"Kenapa sebesar itu jumlahnya, Kak? Aku hanya mengambil beberapa tas dan gaun saja, begitupun Ibu, beliau hanya mengambil gamis dan uang cash tidak mencapai sepuluh juta rupiah," kilahku panjang lebar.
"Kamu tahu nggak? Harga barang-barang yang kamu dan Ibu ambil per item nya berapa?" tanyanya dengan pongah.
"Em—Emh, anu … aku, gak tau," cicitku, akh si*lan kenapa aku terkesan takut dan gugup seperti ini.
"Tentu saja! dan sudah kuduga kamu tida
Kemarahan Bu tuti.Renata melihat kedatangan mertuanya dengan raut muka penuh amarah, namun dia harus tetap tenang. Ia sudah memperkirakan ini akan terjadi, dari saat tadi, Dina pergi setelah di usirnya."Bu," sapanya, sambil hendak meraih tangan Ibu mertuanya.Namun Bu Tuti malah menepis tangan Renata dengan tatapan yang seakan ingin memakan menantunya itu."Sok banget kamu ya, Rena! Baru punya toko baju beginian juga sudah semena-mena sama anakku!" ucapnya dengan nafas terengah-engah."Maksud Ibu?" ucap Renata dengan pura-pura tidak mengerti."Jangan pura-pura kamu, Rena! Sok pasang muka polos padahal kamu jahat. Sama adik ipar sendiri sampai tega mengusirnya, hanya gara-gara mengambil beberapa barang murahanmu!" ucapnya sambil mendengus sinis."Lantas, Ibu maunya bagaimana?" tanya Renata pada mertuanya.
Semburat jingga nampak indah terlihat di ufuk barat, perlahan tapi pasti dia akan tenggelam dan berganti hitam pekat gelapnya malam. Begitulah sang waktu bergulir tanpa bisa dicegah atau dihentikan semau kita. Karena setiap yang terjadi adalah takdir ketentuan dari sang Ilahi. Renata membuka matanya dan melihat sosok Doni, duduk di tepian tempat tidurnya, ternyata ia tertidur cukup lama sepulang dari butik tadi. "Mas, sudah pulang?" "Iya, kamu sakit, Ren?" ucap suaminya saat melihat wajah Renata yang pucat. "Nggak, Mas, mungkin karena aku bangun tidur," sahutnya "Syukurlah." Doni urung untuk menanyakan perihal aduan ibunya, melihat keadaan Renata yang sebegitu membuatnya iba. Ya … hanya iba yang tersisa dibenaknya, karena Renata kini bukan lagi prioritas baginya. Apakah masih ada cinta tersisa di hatinya? Tentu saja, t
Bianca baru saja turun dari pesawat, dia melangkah anggun dengan setelan baju kerjanya sebagai pramugari, tubuh tinggi yang langsing, ditunjang dengan wajah yang khas orang Indonesia dengan potongan hidung yang sedikit mancung tak mempengaruhi kecantikan wajahnya. Dia menarik kopernya sambil bersenda gurau dengan beberapa teman seprofesinya. Gadis-gadis Indonesia yang sangat mengagumkan, memanjakan para mata yang memandang, keindahan yang Tuhan berikan pada sebagian orang yang beruntung memiliki wajah yang rupawan dari sejak lahir. "Bi, kamu dijemput?" tanya Marsha teman seprofesinya. Saat dia melihat Bianca masih berdiri di pinggir jalan. "Nggak, naik taksi aja," jawabnya. "Bareng gue aja," tawarnya. "Rumah kita gak searah loh," ucap Bianca. "Akh elah, santai aja kali, gue dijemput Abang gue nih," ujar Marsha. "Bayar gak?" tanya Bi
Lia masuk kedalam bank, tempat dimana Doni bekerja, dia sudah tidak bisa lagi menunggu untuk mengetahui bagaimana kabarnya Doni, karena Lia belum bisa membeli handphone, akhirnya dia memberanikan diri untuk mendatangi tempat kerja lelaki tampan yang selama ini menghuni pikiran dan hatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" ucap Satpam ketika melihat kedatangan Lia. Lia pun tersenyum melihat Pak satpam dan bilang dia ingin bertemu dengan Doni, Pak Satpam pun bertanya lagi "Apakah sudah ada janji?" "Belum, pak," jawabnya, karena memang dia belum menghubungi Doni. "Tapi tolong ya, Pak, bilangin saya Lia Apriliani pengen ketemu sama beliau, ada hal sangat penting yang harus dibicarakan," tuturnya. "Baik, Mbak, tunggu disini sebentar ya, Saya akan masuk dan mengabarkannya pada Pak Doni," ucap Pak Satpam. Dia mengangguk dan mempersilahkan Pak satp
Laki-laki berkacamata hitam itu menepuk pundak Doni yang sedang berbicara dengan Lia. "Bara? Ya, kamu Bara-kan?" tanya Doni antusias. Mereka berpelukan. "Kemana aja lu, Bro?" tanya Doni. "Aku baru pulang, Don, Biasa orang susah cari sesuap nasi," ucapnya berkelakar. "Mana no W*, lu?" tanya Doni. Mereka bertukar nomor telepon. "Ini siapa? Bini, Lo?" tanya Bara. "Kenalkan, ini Lia, temen gue," ucap Doni. "Temen apa demen?" tanya Bara dengan menyelidik dan tatapan tak percaya. Sedangkan Lia hanya menunduk tak berani menatap kearah Bara. Doni hanya tertawa, lalu mereka berpisah dan berjanji akan ngopi bareng pada minggu depan. Bara memperhatikan Doni dan Lia, sungguh jomplang, pikirnya, dia menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya body shaming pada perempuan yang di bawa
Sepulang mengantar Renata, Bianca melajukan mobilnya kearah pom bensin. Penuh dan antri, andai saja ada celah untuknya mundur, pasti Bianca akan putar balik, namun dia sudah masuk dan terhalang mobil di belakangnya. Antrian yang membentuk setengah lingkaran membuat penglihatannya sedikit samar, saat dia melihat mobil Doni di antrian depan, dengan kaca yang terbuka. "Ya … itu Doni, namun dia kok, asik ngobrol? Bianca semakin menyipitkan matanya agar bisa lebih jelas dengan apa yang dilihatnya itu. Tidak salah lagi, itu Doni tapi dengan siapa? Hati Bianca riuh mempertanyakan itu. Tiba-tiba Bianca mengingat apa yang dilihatnya sebulan lalu di cafe. "Hari ini kamu gak akan lolos Don! akan ku buat perhitungan denganmu," geramnya. Bianca, tidak jadi mengisi bensin, dia langsung tancap gas mengejar mobil Doni yang terlihat berhenti di lampu merah. Bi
Sepulang makan siang di mall tadi, pikiranku terus saja dihuni oleh Bara. Lelaki yang delapan tahun silam membuatku patah hati dan hampir depresi. Bagaimana tidak! Saat aku menjadikannya sebagai duniaku, dengan tanpa dosa dia pergi tiba-tiba. Bahkan butuh waktu bertahun-tahun untukku memulihkan hati ini, tapi hari ini, luka yang telah lama aku kubur, seakan muncul kembali dan kian menyegar. Bara … kenapa kita harus bertemu lagi? Kenapa aku masih saja menyimpanmu di lubuk hatiku yang terdalam, tanpa aku menyadarinya. Dreeet … dreeet … dreeet Lampu hijau diponselku menyala berkedip-kedip. Dan saat kubuka ternyata pesan Whatswebnya Mas Doni. Seketika amarah dan sakit hati datang bersamaan. Melihat bagaimana intimnya chat antara Lia dan Mas Doni. Ku kira, suamiku telah memutuskan wanita itu, sebulan ini sikapnya manis dan hangat padaku, hingga desakan Bianca pun mampu
Doni geram sekali pada Bianca, karena telah menyerang dan menghinanya di kantor, sudah tentu karyawan lain mendengar apa yang Bianca ucapkan. "Huft … dia menarik nafas panjang, mencoba menetralkan kekesalannya." Jam menunjukkan pukul 16.00 wib. Sudah waktunya dia pulang, lelaki berkemeja warna putih itu, tergesa-gesa membereskan barang-barangnya. Lalu keluar dengan memberi tahu Santi, bahwa dia pulang cepat karena gak enak badan, padahal pekerjaannya belum semua selesai. Doni memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, pesan di notifikasi ponselnya sudah beruntun, Lia membombardirnya dengan chat W*, karena sejak tadi Doni mengabaikannya. Dia menekan klakson beberapa kali, Mang Ujang yang sedang sholat Ashar pun, dengan terpaksa membatalkannya. Lelaki paruh baya itu berlari sambil masih mengenakan sarung dan peci. Dia membuka gerbang rumah Renata. "Maaf, Pak, saya sedang sholat," uc