Hatiku bukan hanya dilukai, tapi disayat-sayat sedemikian rupa hingga hancurnya tak bersisa. Hingga setiap bernafas pun, selalu terasa tercekat di tenggorokan. Tak ada lagi cinta yang tulus setelah kepergian Ayah dan Emak, bahkan kasih seorang Ibu kandung pun tak pernah kurasakan. Karena Tuhan lebih cepat memanggil beliau. Satu-satunya yang ku ingat dari Ibu, adalah pernah di ulang tahunku yang kelima, Ayah dan Ibu dengan bersamaan memberikan hadiah payung kecil, padahal mereka bekerja di tempat yang berbeda. Tapi entahlah hadiahnya bisa sama, namun karena aku memiliki dua payung, akhirnya kuberikan satu untuk sepupuku, payung yang Ibu berikan dengan motif bunga kecil-kecil, aku tak begitu menyukainya, aku memilih payung hadiah dari Bapak, dengan motif pelangi yang mencolok. Seandainya aku tahu itu adalah hadiah terakhirnya, aku tak mungkin memberikannya untuk adik sepupuku.
Takdir terasa sungguh kejam memperlakukanku, setelah Ibu meninggal, aku juga mal
Nah, siapa kira-kira yang DM? Ada yang tau 🤭
Dingin udara malam ini begitu menusuk ke tulang sumsumku, gelap pekat tanpa bulan atau bintang. Kususuri lorong rumah sakit ini,.untuk sekedar mencari kopi hangat yang mangkal di area depan rumah sakit. Malam ini aku tak bisa tidur, khawatir dengan kondisi ibuku yang masih terbaring lemah. Beliau terserang stroke tiba-tiba, sesaat setelah jatuh di kamar mandi, ibuku memang memiliki riwayat darah tinggi sejak dulu. Dan kabar inilah yang membuatku pulang dari luar negeri. Dan ku tekadkan untuk resign dari pekerjaan ku disana. Sebenarnya Ibu telah memintaku pulang sejak aku selesai kuliah, namun karena tawaran kerja dengan gaji menggiurkan, aku lebih memilih bertahan dan merayu Ibu untuk terus mendoakan kesuksesanku. Tanpa ku sadari sedewasa apapun aku, dimatanya, aku adalah anak lelaki yang selalu harus diingatkan dalam segala hal, hingga selama aku disana, ibuku tak pernah bosan mengirim vn lewat W* hingga 5-6 kali dalam sehari, dari mulai menyuru
Renata meng-klik profil yang mengirimkan DM itu, tapi nihil tak ada sedikitpun info siapa pemilik akunnya. Hanya saja yang memanggilnya chubby, cuma Bara, karena dia tahu, Renata paling marah kalau dikatakan seperti itu, apalagi kalau dikatakan gendutan, akan diajak duel pastinya. "Woy, ngelamun aja!" sentak Bianca yang tiba-tiba muncu "Astaghfirullah, kalau aku mati jantungan gimana?" ungkap Renat "Gak lah, gak mungkin! Wong, masih segar bugar begitu!" ejekny Renata memutar bola matanya dengan jengah, sedangkan Bianca hanya nyengir tanpa rasa bersala "Jadi ... kita akan kemana "Ke kantor pengacara," jawab Renata singka "Dah bulat? Siap berpisah?" ledek Bianc "Yup, makanya aku pake pengacara agak mahal dikit, biar dia yang urus jadi gak ada tahap mediasi-mediasi-an, dah malas aku ketemu manusia gak tah
Bara melangkahkan kakinya kedalam kantor Ferry, teman semasa kuliahnya di luar negeri, setelah mobil merah yang membawa Renata menghilang dari pandangan. Dengan sejuta tanya dalam hatinya "Ada apakah gerangan, sampai-sampai Renata mengunjungi kantor Advokat sehebat Ferry." "Ferry, ada, Mbak?" tanya Bara pada Winda. "Ada, Pak, mari saya antar," tawar Winda. "Gak usah! Saya masuk sendiri saja, Makasih ya," ucap Bara kemudian menuju keruangan kerja temannya. "Assalamualaikum," ucap Bara sambil nyelonong masuk. "Waalaikumsalam, selamat datang, Bos!" ucap Ferry seraya bangkit dan menyambut Bara, teman seperjuangan dulu. "Seperti yang terlihat," jawab Bara, sambil merentangkan tangannya. "Mari, mari duduk lah," ucap Ferry. "Jadi bagaimana tawaranku, Bro?" "Bukan menolak, Fe
Bianca sangat cemas ketika mengetahui, pembukaan Renata begitu lambat, saat dia menanyakannya pada suster jaga yang tadi didalam memeriksa sahabatnya itu. "Tenang saja, Mbak, semua juga ada waktunya, sudah biasa begini mah," ungkap wanita berseragam putih itu dengan santai. "Tapi dia kesakitan loh, Sus!" tegas Bianca sudah tak tahan lagi melihat Renata mengerang kesakitan. "Renata juga, kenapa harus memilih rumah sakit ini sih, dia mampu membayar berapapun di rumah sakit sebelumnya, tapi pas mau lahiran malah memilih disini tempat yang tak pernah dikunjunginya," sungutnya. "Neng, apakah, sebaiknya kita memberitahu, Den Doni?" tanya Bik Sumi sambil mengelus tangan majikannya. "Engga … jangan, Bik, jangan sampai Doni tahu," tegas Renata. ”Bianca mana, Bik?" tanya Renata. "Barusan keluar, nyari suster kali," sahut Bik Sumi, hatinya mera
Di ruangan berdinding putih itu, Renata sedang berjuang antara hidup dan matinya. Menikmati setiap prosesnya untuk melahirkan anak pertamanya. "Dorong lagi, Bu, sedikit lagi, Ayo!" ucap dokter itu, dengan penuh semangat. "Tarik nafas, lalu buang." ucapnya. Renata berhenti mengejan, tubuhnya lemas terasa tak bertulang. "Ayo! Semangat! tinggal sedikit lagi! Tarik nafas, lalu buang, tarik nafas, lalu buang!" titah dokter perempuan itu. "Bun, cara tarik nafas, bagaimana? Rena lupa," lirihnya, sambil mendongak memandang wajah teduh Ibu sahabatnya. Bunda Hani hanya diam dan menatap lekat manik mata sayu, wanita muda dalam pelukannya. Sungguh dia shock berada dengan Renata saat ini, hingga bibirnya kelu, tak mampu menjawab pertanyaan wanita malang itu, namun demi kemanusiaan, dirinya nekat menemani sahabat putrinya itu. Renat
Hari ini Renata sudah diperbolehkan pulang, Bunda Hani mengajaknya untuk ikut ke Bogor, dengan banyak pertimbangan Renata pun menyetujuinya. Untuk tinggal sementara dengan keluarga sahabatnya itu. Mobil merah milik Bianca, melaju membelah jalanan. Hanya dengan waktu tempuh kurang dari tiga jam, mereka sudah sampai di kediaman pak Harun. "Ren, Namanya siapa bayi imut ini?" tanya Bianca, sambil jarinya tak henti mengelus pipi anak Renata. "Annisa Kania Putri, gimana?" tanya Renata sambil tak lepas matanya memandang bayi yang telah dilahirkannya dua hari lalu. "Waah, cantik namanya!" seru Bunda Hani yang tiba-tiba datang ke kamar tamu. "Gimana, Bun?" tanya Renata. "Bagus, Bunda suka! Sini, Nak, Oma gendong," ucap Bunda Hani seraya meraih bayi Annisa yang sedang dipangkuan Bianca. "Oma," panggil anak lelaki berkaos biru.
Orang-orang mulai berdatangan, anak yatim-piala juga sudah duduk berjejer. Baby Annisa begitu lucu dan menggemaskan dengan drees berwarna pink muda, membuat Renata terus saja menciuminya, Bunda Hani dan Pak Harun sudah nampak bagai couple yang tak terpisahkan, dengan busana bertema putih. Renata pun tampak cantik dan berkelas dengan gamis putih, model outer di bagian depan dilengkapi manik-manik warna abu dan Payet indah dibagian leher, pasmina putih yang dililitkan, menambah kesan elegan, penampilan Renata sore ini. Ela menatap tajam Renata yang sedang tersenyum bahagia menggendong anaknya, saat dilihat sekelilingnya sibuk, dia melangkah menuju kamar Renata yang terbuka lebar. "Kamu, jadikan pulang ke Tangerang hari ini?" tanyanya dengan ketus. "Besok pagi, Mbak," jawab Renata sambil menatap heran ke arah Ela. "Baguslah, biar Gias bisa main lagi sama Oma Opanya!" ujarnya sambil terseny
Sesampai di rumahnya, Lia disambut oleh suara gemericik air dari arah dapur. Berbagai hidangan tersedia di meja, sedangkan suaminya terlihat sedang mencuci piring. Pantas saja salamnya tadi tidak dijawab oleh Ahmad, ternyata pria itu sibuk di dapur, sedangkan Alvin terlihat nyenyak dikamarnya. Tanpa menyapa suaminya, lalu ia masuk ke kamarnya. Lia membuka ponsel yang tadi dibelikan oleh Doni, pria tampan yang kini jadi penghuni hatinya. Langsung saja dia kirim beberapa chat, namun sampai sepersekian menit, tak jua menjadi centang biru. Akhirnya dia menekan tanda panggil dan menempelkan ponselnya ke telinga. Yang terdengar hanya nada sambung yang tak jua berubah suara, bahkan ini panggilan untuk yang ke 4 kalinya, namun Doni tetap tak mengangkatnya. Akhirnya Lia menyerah dan meletak ponselnya di nakas. ¯¯¯¯¯ Semua masakan sudah siap, cucian piring pun beres, Ahmad tersenyum bangga melihat sekeliling dapur yang sudah rapi, ki