Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar.
Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip.Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita.Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima puluh empat tahun itu."Ada apa, Bu?" Romlah mengawali pembicaraan."Kenapa kamu berantem sama mbakmu? Malu dilihat tetangga, Rom?" Tanya Siti pelan.Romlah diam, mencoba mencerna perkataan Siti. Dadanya akan terasa sesak ketika mengingatkan peristiwa pertengkaran itu."Mbak Yuli bercerita yang tidak-tidak tentang aku kepada Mas Agus, Bu," Menetes bulir bening dari mata Romlah yang sedari tadi sudah ia tahan."Yang tidak-tidak itu apa?" tanya Siti."Mbak Yuli bilang ke Mas Agus kalau aku selingkuh hingga aku hamil seperti sekarang ini," jelas Romlah, tangisnya tertumpah sudah."Kalau kamu nggak selingkuh, harusnya kamu nggak marah, Rom." Tanpa Siti sadari, perkataannya telah menyinggung perasaan Romlah."Jadi, Ibu juga tuduh aku selingkuh?!" Romlah berdiri dari tempat duduknya. Ia tak menyangka jika mertuanya akan berpikir hal yang sama dengan Yuli."Dengerin dulu, Rom." Siti berusaha menenangkan Romlah."Apa karena aku menantu di keluarga ini, jadi nggak ada yang percaya sama aku? Kalau kalian nggak suka sama aku, kenapa nggak kalian larang Mas Agus waktu mau lamar aku? Kenapa?" Tangisan Romlah semakin menjadi."Rom, jangan teriak-teriak ngomongnya, malu didengerin tetangga," Siti bangkit dan berusaha meraih tangan Romlah, tetapi Romlah justru menampik tangan mertuanya."Malu Ibu bilang? Aku ngomong kayak gini Ibu bilang malu? Apa kabar dengan anak Ibu yang udah fitnah aku! Apa nggak lebih memalukan!" emosi Romlah sudah tak bisa lagi dikontrol."Rom-,""Sekarang Ibu pulang aja, aku lagi pengen sendiri. Pulang Bu!" potong Romlah. Mertuanya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.Romlah menutup daun pintu dengan kuat, agar tak seorang pun dapat masuk ke dalam rumahnya. Ia juga melempar barang-barang yang ada di depannya. Pikirannya kacau, tak sanggup rasanya ia menanggung masalah ini sendirian.Hatinya kalut, tatapannya tertuju pada sebuah pisau yang tergeletak di atas meja. Diambil pisau itu dan digenggam erat. Terlintas keinginan nekat untuk mengakhiri hidupnya. Bisikan demi bisikan seolah silih berganti menghampirinya.Putus asa dan merasa tak lagi ada yang peduli kepadanya membuat Romlah gelap mata. Namun, niatnya ia urungkan karena teringat anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya.Romlah menangis sejadi-jadinya. Menyesali kekonyolan yang hampir saja ia lakukan. Bisa-bisanya ia berpikir pendek. Ia lari ke kamar, dipeluknya tubuh mungil anak perempuannya***Sudah seminggu ini Romlah tak keluar rumah, dan kini ia merasa rindu dengan sahabatnya, Dewi. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi Dewi."Dew," teriak Romlah."Rom, ya ampun. Kangen aku," teriak Dewi. Diletakkan kembali sapu yang baru saja ia ambil.Romlah duduk di bangku yang berada di bawah pohon mangga depan rumah Dewi. Dewi mengambil Riska yang berada di gendongan Romlah."Riska udah makan, Rom?" tanya Dewi."Udah, tadi. Fitri kemana?" Romlah celingukan mencari Fitri."Fitri lagi diajak bapaknya main ke rumah temannya," jawab Dewi."Enak, ya, bisa gantian gitu jagain Fitrinya." Kesedihan tak dapat ditutupi oleh Romlah."Jangan gitu, lah. Jangan sedih terus, kasian Angga sama Riska, Rom," tutur Dewi."Tumben otakmu bener, Dew," ledek Romlah."Iya. Nggak ketemu kamu jadi bikin aku waras. Coba kalau bareng kamu terus, sinting pasti aku," gurau Dewi seraya menurunkan Riska dari gendongan."Tapi kamu cocoknya, sih, tetap sinting, Dew." Mereka berdua tertawa.Sepulang dari Rumah Dewi, ternyata Romlah telah ditunggu oleh mertuanya. Terlihat ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh ibu dari suaminya itu."Rom," panggil Siti."Ada apa, Bu?" ketus Romlah"Ada yang mau Ibu bicarakan," pinta Siti."Mau apa lagi, sih, Bu?" Romlah mulai tengah dengan kehadiran mertuanya."Ibu tahu kamu marah sama Yuli, tapi ada yang harus diluruskan," tegas Siti."Mau dibicarakan di sini atau di dalam?" Romlah membuka pintu.Tanpa menunggu jawaban, Siti pun masuk ke dalam rumah Romlah."Ada apa?" tanya Romlah mengawali pembicaraan."Ibu cuma mau tahu tentang kejelasan bapak dari bayi yang sedang kau kandung," jawab Siti."Kenapa? Mau kujelaskan seribu kali pun, Ibu akan lebih percaya sama Mbak Yuli, kan?" protes Romlah."Nggak gitu, Rom. Ibu cuma mau dengar dari mulut kamu. Ibu nggak mau menebak-nebak. Kalau itu anak Agus, ibu akan terima seperti Ibu menerima Riska dan Angga. Tapi, jika itu anak dari orang lain, lebih baik kamu berpisah dengan Agus," tegas Siti."Bu, dengar ya! Bayi ini anak Mas Agus, aku nggak pernah main curang sama lelaki mana pun. Tapi kalau Ibu masih nggak percaya, aku juga nggak maksa," terang Romlah."Tapi bukannya-,""Sudahlah, Bu. Jangan terlalu ikut campur urusanku dengan Mas Agus. Bukankah biasanya Ibu nggak pernah peduli dengan keadaanku sama anak-anak?" potong Romlah."Jangan gitu, Rom. Ibu hanya ingin yang terbaik buat anak-anak Ibu," Siti merasa tersindir dengan perkataan Romlah."Iya, Ibu hanya peduli dengan anak-anak Ibu, bukan dengan menantu Ibu," hardik Romlah."Ya sudah, jika kamu menganggap Ibu seperti itu, mudah-mudahan masalah ini cepat selesai." Siti beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari rumah Romlah.Romlah memang tak pernah Akur dengan Yuli. Begitu pun dengan mertuanya, ia tak pernah merasa dianggap. Bahkan, ketika dia atau anaknya sakit, mereka tak pernah sekalipun menjenguk.Tak ada pilihan lain untuk Romlah, selain tetap tinggal di rumah itu. Ibu Romlah hanyalah seorang janda dan kini tinggal di rumah kakak Romlah. Keluarga kakak Romlah terbilang cukup berada dan mampu jika harus menanggung biaya hidup Romlah dan anak-anaknya.Romlah enggan untuk meninggalkan suaminya karena cintanya yang begitu besar kepada Agus. Walaupun untuk bertahan, banyak sekali yang harus dikorbankan oleh Romlah.Akan tetapi kali ini Romlah bingung. Sekelilingnya sudah tak mendukung, bahkan suaminya sendiri pun sudah tak mempercayainya. Dalam benaknya terus berkeliling, entah sampai kapan ia sanggup dengan keadaan seperti ini."Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s