Share

7. Aku Memang Bukan Anakmu, Bu!

Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar.

Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip.

Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.

Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita.

Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya.

"Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu.

"Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.

Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima puluh empat tahun itu.

"Ada apa, Bu?" Romlah mengawali pembicaraan.

"Kenapa kamu berantem sama mbakmu? Malu dilihat tetangga, Rom?" Tanya Siti pelan.

Romlah diam, mencoba mencerna perkataan Siti. Dadanya akan terasa sesak ketika mengingatkan peristiwa pertengkaran itu.

"Mbak Yuli bercerita yang tidak-tidak tentang aku kepada Mas Agus, Bu," Menetes bulir bening dari mata Romlah yang sedari tadi sudah ia tahan.

"Yang tidak-tidak itu apa?" tanya Siti.

"Mbak Yuli bilang ke Mas Agus kalau aku selingkuh hingga aku hamil seperti sekarang ini," jelas Romlah, tangisnya tertumpah sudah.

"Kalau kamu nggak selingkuh, harusnya kamu nggak marah, Rom." Tanpa Siti sadari, perkataannya telah menyinggung perasaan Romlah.

"Jadi, Ibu juga tuduh aku selingkuh?!" Romlah berdiri dari tempat duduknya. Ia tak menyangka jika mertuanya akan berpikir hal yang sama dengan Yuli.

"Dengerin dulu, Rom." Siti berusaha menenangkan Romlah.

"Apa karena aku menantu di keluarga ini, jadi nggak ada yang percaya sama aku? Kalau kalian nggak suka sama aku, kenapa nggak kalian larang Mas Agus waktu mau lamar aku? Kenapa?" Tangisan Romlah semakin menjadi.

"Rom, jangan teriak-teriak ngomongnya, malu didengerin tetangga," Siti bangkit dan berusaha meraih tangan Romlah, tetapi Romlah justru menampik tangan mertuanya.

"Malu Ibu bilang? Aku ngomong kayak gini Ibu bilang malu? Apa kabar dengan anak Ibu yang udah fitnah aku! Apa nggak lebih memalukan!" emosi Romlah sudah tak bisa lagi dikontrol.

"Rom-,"

"Sekarang Ibu pulang aja, aku lagi pengen sendiri. Pulang Bu!" potong Romlah. Mertuanya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

Romlah menutup daun pintu dengan kuat, agar tak seorang pun dapat masuk ke dalam rumahnya. Ia juga melempar barang-barang yang ada di depannya. Pikirannya kacau, tak sanggup rasanya ia menanggung masalah ini sendirian.

Hatinya kalut, tatapannya tertuju pada sebuah pisau yang tergeletak di atas meja. Diambil pisau itu dan digenggam erat. Terlintas keinginan nekat untuk mengakhiri hidupnya. Bisikan demi bisikan seolah silih berganti menghampirinya.

Putus asa dan merasa tak lagi ada yang peduli kepadanya membuat Romlah gelap mata. Namun, niatnya ia urungkan karena teringat anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya.

Romlah menangis sejadi-jadinya. Menyesali kekonyolan yang hampir saja ia lakukan. Bisa-bisanya ia berpikir pendek. Ia lari ke kamar, dipeluknya tubuh mungil anak perempuannya

***

Sudah seminggu ini Romlah tak keluar rumah, dan kini ia merasa rindu dengan sahabatnya, Dewi. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi Dewi.

"Dew," teriak Romlah.

"Rom, ya ampun. Kangen aku," teriak Dewi. Diletakkan kembali sapu yang baru saja ia ambil.

Romlah duduk di bangku yang berada di bawah pohon mangga depan rumah Dewi. Dewi mengambil Riska yang berada di gendongan Romlah.

"Riska udah makan, Rom?" tanya Dewi.

"Udah, tadi. Fitri kemana?" Romlah celingukan mencari Fitri.

"Fitri lagi diajak bapaknya main ke rumah temannya," jawab Dewi.

"Enak, ya, bisa gantian gitu jagain Fitrinya." Kesedihan tak dapat ditutupi oleh Romlah.

"Jangan gitu, lah. Jangan sedih terus, kasian Angga sama Riska, Rom," tutur Dewi.

"Tumben otakmu bener, Dew," ledek Romlah.

"Iya. Nggak ketemu kamu jadi bikin aku waras. Coba kalau bareng kamu terus, sinting pasti aku," gurau Dewi seraya menurunkan Riska dari gendongan.

"Tapi kamu cocoknya, sih, tetap sinting, Dew." Mereka berdua tertawa.

Sepulang dari Rumah Dewi, ternyata Romlah telah ditunggu oleh mertuanya. Terlihat ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh ibu dari suaminya itu.

"Rom," panggil Siti.

"Ada apa, Bu?" ketus Romlah

"Ada yang mau Ibu bicarakan," pinta Siti.

"Mau apa lagi, sih, Bu?" Romlah mulai tengah dengan kehadiran mertuanya.

"Ibu tahu kamu marah sama Yuli, tapi ada yang harus diluruskan," tegas Siti.

"Mau dibicarakan di sini atau di dalam?" Romlah membuka pintu.

Tanpa menunggu jawaban, Siti pun masuk ke dalam rumah Romlah.

"Ada apa?" tanya Romlah mengawali pembicaraan.

"Ibu cuma mau tahu tentang kejelasan bapak dari bayi yang sedang kau kandung," jawab Siti.

"Kenapa? Mau kujelaskan seribu kali pun, Ibu akan lebih percaya sama Mbak Yuli, kan?" protes Romlah.

"Nggak gitu, Rom. Ibu cuma mau dengar dari mulut kamu. Ibu nggak mau menebak-nebak. Kalau itu anak Agus, ibu akan terima seperti Ibu menerima Riska dan Angga. Tapi, jika itu anak dari orang lain, lebih baik kamu berpisah dengan Agus," tegas Siti.

"Bu, dengar ya! Bayi ini anak Mas Agus, aku nggak pernah main curang sama lelaki mana pun. Tapi kalau Ibu masih nggak percaya, aku juga nggak maksa," terang Romlah.

"Tapi bukannya-,"

"Sudahlah, Bu. Jangan terlalu ikut campur urusanku dengan Mas Agus. Bukankah biasanya Ibu nggak pernah peduli dengan keadaanku sama anak-anak?" potong Romlah.

"Jangan gitu, Rom. Ibu hanya ingin yang terbaik buat anak-anak Ibu," Siti merasa tersindir dengan perkataan Romlah.

"Iya, Ibu hanya peduli dengan anak-anak Ibu, bukan dengan menantu Ibu," hardik Romlah.

"Ya sudah, jika kamu menganggap Ibu seperti itu, mudah-mudahan masalah ini cepat selesai." Siti beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari rumah Romlah.

Romlah memang tak pernah Akur dengan Yuli. Begitu pun dengan mertuanya, ia tak pernah merasa dianggap. Bahkan, ketika dia atau anaknya sakit, mereka tak pernah sekalipun menjenguk.

Tak ada pilihan lain untuk Romlah, selain tetap tinggal di rumah itu. Ibu Romlah hanyalah seorang janda dan kini tinggal di rumah kakak Romlah. Keluarga kakak Romlah terbilang cukup berada dan mampu jika harus menanggung biaya hidup Romlah dan anak-anaknya.

Romlah enggan untuk meninggalkan suaminya karena cintanya yang begitu besar kepada Agus. Walaupun untuk bertahan, banyak sekali yang harus dikorbankan oleh Romlah.

Akan tetapi kali ini Romlah bingung. Sekelilingnya sudah tak mendukung, bahkan suaminya sendiri pun sudah tak mempercayainya. Dalam benaknya terus berkeliling, entah sampai kapan ia sanggup dengan keadaan seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status