Share

6. Pertengkaran Besar

Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu.

"Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya.

"Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya.

"Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya.

"Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi.

"Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah.

"Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu.

"Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya.

"Jangan bohong! Jangan pikir karena aku jauh, jadi kamu bisa bohongi aku! Aku di sini nyari duit buat kamu sama anak-anak, tapi bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu!" hardik Agus.

"Mas, dengerin aku dulu. Aku nggak selingkuh! Sumpah demi Tuhan, aku nggak selingkuh, Mas! Ini anak kamu!" Romlah berusaha memberi penjelasan.

"Aku nggak percaya!"

"Dari mana Mas denger berita aku hamil? Dari Mbak Yuli?" cecar Romlah.

"Kamu nggak perlu tahu."

"Ok, aku anggep Mas dapat cerita dari Mbak Yuli. Mas tahu, kan, dari dulu Mbak Yuli nggak suka sama kita? Mbak Yuli nggak suka sama aku! Harusnya Mas lebih ngerti gimana watak Mbak Yuli!"

"Lalu apa hubungannya sama kehamilanmu? Kamu mau jelek-jelekin Mbak Yuli?" tuduh Agus.

"Mbak Yuli fitnah aku, Mas!" Air mata Romlah membanjir.

"Stop, Rom! Aku nggak percaya sama kamu! Jangan membuat cerita palsu untuk menutupi kesalahanmu!" pekik Agus.

"Ya udah kalo kamu lebih percaya sama omongan Mbak Yuli. Sepuluh tahun kita nikah, apa kamu pernah belain aku di depan keluarga kamu? Nggak pernah ‘kan! Kamu lebih percaya keluarga kamu dari pada istrimu!" Emosi Romlah kini memuncak.

Tak ingin pertengkaran semakin menjadi, Romlah menutup sambungan teleponnya. Dilempar benda pipih itu ke sembarang tempat.

Ia bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Ya, menurutnya dalang di balik semua ini adalah Yuli.

Digedor dengan keras pintu rumah Yuli. Rasa hormatnya kini telah hilang entah kemana. Tak dihiraukan lagi apa kata orang.

"Siapa, sih, bertamu ke rumah orang nggak sopan banget!" gerutu Yuli yang baru keluar dari dalam rumahnya.

"Keluar, Mbak!" teriak Romlah dari luar diiringi gedoran pintu yang semakin lama semakin menusuk telinga.

"Ada apa, sih?" tanya Yuli begitu pintu dibuka.

"Mbak Yuli yang ngadu ke Mas Agus tentang kehamilan ku, kan!" tegas Romlah. Jarinya menunjukan tepat di wajah Yuli.

"Iya, ada yang salah?" ketus Yuli. Kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Kenapa, Mbak bilang kalau aku selingkuh?" teriak Romlah hingga mengundang perhatian tetangga sekitar.

Beberapa orang bahkan telah mengerubungi Romlah dan Yuli.

"Loh, kalau kamu nggak selingkuh nggak mungkin kamu hamil, sedangkan Agus udah beberapa bulan nggak pulang!" kelakar Yuli.

Mendengar perkataan Yuli, tangan Romlah reflek menamparnya. Meninggalkan bekas merah dan rasa panas yang menjalar ke pipi kakak iparnya itu. Emosinya tak dapat lagi dibendung.

"Dijaga mulutnya, Mbak!" jerit Romlah.

Tak terima mendapatkan tamparan, Yuli pun menjambak rambut Romlah. Untung saja banyak tetangga yang datang dan melerai aksi perkelahian Romlah dan Yuli.

Yuli ditarik oleh suaminya agar masuk kedalam rumah, sedangkan Romlah dihalau oleh warga sekitar dan dibawa menuju rumahnya.

"Awas kamu, Mbak!" teriak Romlah sebelum akhirnya ia berada di dalam rumahnya.

Ditenggak habis segelas air putih yang diambilkan oleh tetangganya. Pikiran Romlah kacau. Bahkan ia tak mempedulikan Riska yang sendari tadi menangis.

Tak ada yang berani bertanya penyebab pertengakaran Romlah dan Yuli. Mereka hanya sesekali saling berbisik. Seorang Ibu berinisiatif membawa keluar Riska, agar Ibunya dapat lebih cepat menenangkan diri.

Tangis Romlah tak juga berhenti. Keputus-asaan menghampiri dirinya. Kini tak ada lagi alasan ia mempertahankan rumah tangganya. Setelah sekian lama bertahan diantara ipar dan mertua yang tak menyukainya, akhirnya kini ia nyaris menyerah. Suami yang ia bangga-banggakan ternyata kini tak lagi membelanya dikala Yuli menejelek-jelekan dirinya.

Setelah dirasa cukup tenang, beberapa tetangga mulai pulang kerumahnya masing-masing. Ibu Ida--tokoh yang disegani warga- menawari Romlah untuk menginap di rumahnya, tetapi Romlah menolaknya.

"Ibu pulang dulu ya, Neng. Kalau dirasa ada yang ingin dibicarakan sama Ibu, datang aja ke rumah," pamit Bu Ida.

Kini tinggallah Romlah dan anak-anaknya. Dipandangi wajah Angga dan Riska bergantian. Rasa sesak terasa, ketika mengingat lagi pengorbanan yang ia lakukan untuk rumah tangganya.

Tangan Romlah terasa perih karena terkena kuku Yuli. Namun, rasa perih itu tak sebanding dengan perih hati Romlah. Ia benar-benar merasa sendiri menanggung beban ini.

Pagi hari setelah Angga berangkat ke sekolah, Romlah memutuskan untuk mendatangi rumah Ibu Ida. Sepanjang malam memikirkan hubungannya dengan Agus, juga soal fitnah yang disebabkan oleh Yuli, membuat dadanya sesak. Ia bingung harus bercerita kepada siapa, lalu teringat olehnya tawaran Ibu Ida semalam.

"Assalamualaikum," ucap Romlah sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam. Eh, Neng Romlah, masuk, yuk," ajak Bu Ida.

Mereka masuk ke dalam, lalu duduk di sebuah sofa empuk yang berwarna hitam. Tak lama, seorang wanita paruh baya datang membawakan minuman.

Selain disegani, Ibu Ida termasuk salah satu orang terkaya di desa ini. Suaminya mempunyai beberapa mini market yang tersebar di beberapa daerah. Anak Bu Ida hanya ada satu, dan tengah menempuh pendidikan di pondok pesantren yang terletak di pusat kota.

Setelah berbasa-basi, Romlah pun menceritakan semua permasalahan yang akhir-akhir ini menimpanya. Mulai dari kehamilan yang tak terduga, tentang fitnah Yuli, juga tentang suaminya yang lebih percaya kepada keluarganya.

"Sabar, Neng. Ini hanya ujian untuk rumah tangga kalian,” tutur Ibu Ida setelah Romlah selesai bercerita.

"Tapi, aku udah nggak kuat, Bu. Rasanya aku pengen pisah aja sama, Mas Agus," keluh Romlah, ia menahan air matanya yang sedari tadi ingin menetes.

"Dipikirin lagi, Neng. Anak-anakmu masih kecil. Mereka masih butuh sosok ayah. Sekarang kamu masih emosi, coba nanti dipikirin lagi, ya. Saran Ibu, lebih baik dibicarakan dulu baik-baik dengan Agus. Jika setelah dijelasin, Agusnya tetep memihak kepada keluarganya, baru boleh kamu ambil keputusan," saran Bu Ida. Gaya bicara Ibu Ida yang hangat membuat Romlah teringat ibunya yang berada jauh di seberang.

Walaupun belum mendapat solusi atas permasalahannya, Romlah sudah cukup merasa lega. Ia sangat bersyukur karena masih ada orang yang peduli dengan dirinya.

Sedikit banyak, Romlah menyerap apa yang disarankan oleh Bu Ida tadi. Menjelaskan sekali lagi pada suami yang jauh di sana bahwa tak ada pengkhianatan di antara mereka. Namun, jika Agus tetap tak mempercayai dirinya, apa boleh buat? Maka keputusan besar akan diambil oleh Romlah walau itu hal yang berat untuknya, dan untuk keluarga kecilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status